Pengikut

Rabu, 08 Maret 2017

Ketika Perkebunan Sawit Merampas Kehidupan Perempuan



Sejak tahun 2000 luas perkebunan sawit semakin meningkat. Pembukaan perkebunan sawit secara massif dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pasar internasional. Indonesia sendiri telah menargetkan produksi CPO sampai 40 juta ton /tahun pada tahun 2020[1]. Badan Pengelolaan Dana Perkebunan (BPDP) sendiri mencanangkan Visi Sawit Indonesia 2045 dengan salah satu target, produksi CPO hingga 60 juta ton per tahun[2].  Sementara itu, konsumsi dunia terhadap minyak sawit setiap tahun terus meningkat dan diperkirakan akan mencapai 50 juta ton pada tahun 2030. Pertumbuhan pasar ini kemudian memacu produksi kelapa sawit di Asia Tenggara yang memang memiliki iklim yang sesuai.

Saat ini Indonesia memiliki 15,9 juta hektar perkebunan kelapa sawit, dengan rencana ekspansi mencapai sekitar sekitar 20 juta hektar lahan, yang telah dialokasikan – tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Massifnya ekspansi perkebunan sawit didukung oleh 2 faktor utama, upah buruh dan sewa lahan yang murah. Di sisi lain, pemerintah Indonesia terus memberikan fasilitas penunjang seperti peraturan perundangan yang menarik, pinjaman lunak, land amnesty dan insentif fiskal.

Industri kelapa sawit memberikan kontribusi besar terhadap negara. Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan, minyak sawit merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar di Indonesia dengan nilai Rp 250 triliun setiap tahunnya[3].  Kelapa Sawit menjadi komoditas andalan bagi Indonesia, hal ini terbukti dari produk-produk turunan kelapa sawit yang memberikan kontribusi ekspor sebesar 75% dari sektor non migas. Diluar itu, kehadiran perkebunan kelapa sawit menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar[4].

Cerita sukses Indonesia sebagai produsen terbesar sawit dunia dengan perhitungan keuntungan besar yang diperoleh melalui penjualan minyak sawit tidak diikuti oleh kisah sukses yang sama untuk masyarakat lokal, masyarakat adat dan buruh. Malah, pengembangan dan perluasan perkebunan berdasarkan sistem saat ini menyebabkan pemiskinan, pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan dan konflik – terutama terkait lahan.

Ekspansi perkebunan kelapa sawit telah menimbulkan banyak implikasi, terutama potensi terjadinya realokasi besar-besaran peruntukan lahan dan sumberdaya. Selain akan menimbulkan perubahan bentang alam, ekspansi perkebunan skala besar juga menimbulkan perubahan struktur perekonomian lokal dan regional, serta perubahan sumber penghidupan masyarakat lokal, terutama komunitas lokal dan adat yang selama ini tergantung pada hutan, termasuk didalamnya perubahan dari petani menjadi tenaga upahan. Proses ekspansi juga telah mengakibatkan munculnya berbagai konflik sosial, terutama yang berkaitan dengan konflik lahan, yang tidak jarang juga menimbulkan munculnya kekerasan

Perampasan tanah kehadiran investasi yang membutuhkan tanah skala luas memicu perubahan kontrol atas tanah. Kehadiran perkebunan ini sebagaimana dikatakan memperoleh dukungan besar dari negara. Jelas, kekuasaan yang timpang menyebabkan satu pihak (masyarakat) harus kehilangan akses terhadap sumber daya.
 “Kalau saya, 15 tahun tak pernah lagi garap sawah. Itu sejak PT sawit ada, tidak bisa tanam lagi. PT bangun kanal 8 meter dalamnya, lebar juga, dibikin tanggul juga”, kata Sri Yani. Sri Yani adalah salah seorang perempuan warga desa Belanti, kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.

Biasa dapat 6 ton per hektar, tapi sekarang cuma dapat 25 kaleng saja (200 Kg). Banyak warga karena tak bisa lagi itu ditanam, mandah cari kerja di tempat lain. Ada yang mandah ke Palembang jadi kuli, ke Riau atau ke Jambi nebang kayu”, kata Kas, 35 tahun, warga desa SP Padang, kabupaten OKI, Sumatera Selatan. “Kalau perempuan disini, sejak sawah banjir, banyak juga yang jadi kuli di PT Cinta Manis (perkebunan tebu), upahnya 30 ribu satu hari. Kalau ada yang manggil kita kerja, kalau gak ada yang manggil, kita jadi upahan di sawah orang”, lanjut Kas.

Hasil investigasi yang dilakukan Sawit watch pada akhir 2016, terdapat ribuan hektar lahan persawahan yang tak bisa dikelola karena banjir. Menurut warga, banjir terjadi sejak perkebunan sawit di wilayah mereka membangun tanggul dan kanal. Kondisi ini sudah terjadi sejak tahun 2008.

Perampasan lahan oleh korporasi sawit dan kehadiran perkebunan sawit sangat jelas berdampak pada hilangnya basis produksi perempuan dan mengubah kaum perempuan dari produsen pangan menjadi pembeli pangan atau menjadi tenaga upahan yang dibayar murah.  Pola hidup dan kebiasaan-kebiasaan  sebagai produsen pangan terdistorsi  menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, yakni tempat kerja. Perempuan yang menjadi tenaga upahan harus menyesuaikan diri dengan standar rutinitas, pola kerja, mekanisme kerja yang telah ditetapkan dan diawasi secara sepihak oleh perkebunan.

Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan perempuan yang bekerja di perkebunan sawit seringkali dianggap tidak ada, padahal proses produksi sangat dipengaruhi oleh keberadaan perempuan yang bertugas menyemprot atau membantu panen. Perempuan tidak dianggap sebagai buruh perusahaan, sehingga tidak mendapatkan hak-hak yang selayaknya didapatkan.


Perempuan : Menjadi Buruh Hantu Permanen
Besarnya penerimaan negara dari industri sawit, keuntungan yang diperoleh perkebunan sawit[5] dan tingginya permintaan pasar internasional tidak memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan buruh. Pada tahun 2010 misalnya, dimana pada saat itu harga jual minyak sawit mencapai US$1.100 per ton, tapi buruh perkebunan sawit tetap berada dalam kondisi memprihatinkan. Dari penelitian yang dilakukan Sawit Watch terungkap adanya praktek mirip kerja paksa di perkebunan sawit, minimnya fasilitas air bersih dan kesehatan, informalisasi hubungan kerja khususnya terhadap buruh perempuan serta pelibatan isteri dan anak bekerja tanpa dibayar[6].


Buruh perempuan di perkebunan sawit bekerja di bagian pemupukan, penyemprotan, perintis (pembabat), cuci karung pupuk, menjaga Tempat Penitipan Anak, perawatan jalan dan wilayah sekitar barak. Diluar itu, buruh perempuan terlibat dalam pekerjaan memanen, namun tidak menerima upah. Di perkebunan kelapa sawit, mulai dari membuka lahan hingga panen, perempuan mengerjakan 15 dari 16 jenis kegiatan. Hal ini belum dihitung berat ringannya serta lama waktu kerja setiap kegiatan yang dilakukan perempuan[7].

Beberapa perkebunan menetapkan kebijakan mewajibkan buruh pemanen membawa isteri ke ancak (tempat kerja). Bila buruh pemanen tidak membawa isteri, buruh dinyatakan mangkir atau mandor akan mendatangkan kernet yang upahnya harus dibayar sendiri oleh buruh pemanen bersangkutan.

Di PT SLM Kalimantan Tengah misalnya, target kerja buruh pemanen untuk tahun tanam 2004 sebanyak 180 janjang (TBS). Perusahaan tersebut menetapkan 180 janjang ini harus dibagi oleh pemanen dan isterinya. Biasanya pemanen 100 janjang dan isterinya 80 janjang, pekerjaan memanen tetap dilakukan suami, sementara isteri mengutip berondolan, merapikan pelepah, memindahkan TBS ke Tempat Penampungan Hasil. Perusahaan hanya membayar upah suami, sementara isteri tidak. Praktek yang sama juga ditemukan di beberapa perkebunan sawit di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Isteri buruh tidak memiliki hubungan kerja dengan perusahaan  namun terpaksa ikut bekerja demi mencapai target kerja suami dan praktek ini berlangsung bertahun-tahun. Bila satu orang buruh pemanen bekerja untuk 2,5-3 hektar, maka bisa dibayangkan berapa jumlah perempuan yang bekerja tanpa upah di perkebunan sawit di Indonesia. Sawit Watch menyebut buruh tanpa perikatan kerja dan upah ini dengan istilah “buruh hantu”.

Perempuan : Menjadi Buruh Harian Lepas Permanen
Salah satu aspek menggambarkan informalisasi hubungan kerja di perkebunan sawit di Indonesia adalah praktek kerja buruh harian lepas (BHL). Terdapat 3 jenis pola perikatan kerja BHL diperkebunan yaitu : Pertama, perikatan permanen (kontrak tahunan), dimana sistem dan beban kerja BHL sama dengan buruh tetap, namun hari kerja dibatasi dibawah 20 hari. Kedua, perikatan semi permanen (kontrak/borongan). Dalam pola ini, kepastian kerja tergantung pada ada tidaknya “pekerjaan” dengan jam kerja, upah dan target ditentukan perkebunan. Ketiga, outsourcing baik resmi dan tidak resmi. Mayoritas buruh yang bekerja dalam status seperti ini adalah perempuan.

Di perkebunan sawit, buruh tanpa jaminan kepastian ini jumlahnya massif, biasanya berhubungan dengan pekerjaan pemupukan dan penyemprotan dan mayoritas adalah perempuan. Beberapa perkebunan yang teriindikasi menggunakan pola ini seperti PT LNK di Sumatera Utara, PT HMBP, PT SLM dan PT KSI di Kalimantan Tengah, PT HHM dan PT MM di Kalimantan Timur dan PT Ma di Sulawesi Barat. Di perkebunan sawit yang dimaksud, ditemukan buruh perempuan berstatus BHL yang masa kerjanya diatas 5 tahun.

Bekerja dengan Racun
Menyemprot, pekerjaan yang dilakukan oleh buruh perempuan. Mayoritas dari buruh penyemprot ini berstatus BHL. Gramoxone, Glifosat, Rhodiamine dan Roundup adalah produk yang digunakan dalam proses kerja. Perusahaan tidak menyediakan informasi tentang potensi dampak dan bahaya dari pestisida yang digunakan, juga tidak memberikan pelatihan tentang bagaimana menggunakan pestisida secara tepat dan cara untuk menghindari bahaya kesehatan. Akibatnya, buruh perempuan yang bekerja sebagai penyemprot rentan mengalami kecelakaan kerja atau mengalmi penyakit akibat kerja seperti gangguan pernafasan, tangan terbakar, pusing, mata kabur bahkan buta. Di PT SPMN, ditemukan 3 orang buruh penyemprot yang mengalami gangguan dibagian mata (terancam buta) akibat terkena percikan Gramoxone.

Memupuk, jenis pekerjaan lain yang dilakukan buruh perempuan. Seorang buruh pemupuk diharuskan menghabikan rata-rata 13-15 karung setiap harinya,  dimana 1 karung pupuk beratnya 50 kilogram. Buruh pemupuk melakukan pemupukan dengan cara menggendong goni (atau menggunakan alat kerja  tambahan seperti ember namun  disediakan sendiri oleh buruh) langsung menaburkan pupuk di sekeliling pohon sawit  dengan tangan telanjang tanpa menggunakan sarung tangan.


Mr (47 tahun), seorang buruh pemupuk PT HHM, Kalimantan Timur. Sebagaimana buruh lainnya, ia sudah harus berada di lapangan pada pukul 07.00. Pada pukul 06.00, ia dan anggota kelompok lainnya diabsen. Pukul 07.00, ia sudah mulai bekerja sampai pukul 13.00 atau 13.30. Sebagaimana buruh pemupuk lainnya, ia harus mengikat ember yang berisi 15 kilogram pupuk diatas perutnya. Ember tersebut disandangkan ke badannya dengan tali yang disediakan perusahaan. Bila pupuk dalam ember tersebut habis, pemupuk harus kembali lagi ke lokasi pengisian pupuk terdekat dan mengisi sendiri embernya. Ia mengatakan 1 karung pupuk itu biasanya dihabiskan dalam 3 kali gendongan. Jadi target kerjanya yang 16 karung, dihabiskan paling sedikit dalam 48 kali gendongan.


Pemerintah Indonesia perlu secepatnya mengeluarkan kebijakan moratorium pembukaan perkebunan sawit. Disisi lain, konflik-konflik yang terjadi antara komunitas dengan korporasi diselesaikan dengan mengedepankan kepentingan rakyat atas wilayah kelolanya. Pemerintah Indonesia perlu menata sistem perburuhan yang menempatkan buruh sebagai subjek yang hidup layak. Dalam kerangka peningkatan kesejahteraan buruh, pemerintah perlu mengeluarkan regulasi dalam rangka perbaikan dan perlindungan  buruh perkebunan sawit, utamanya menghentikan informalisasi hubungan kerja. 

Sumber : 
http://sawitwatch.or.id/2017/03/ketika-perkebunan-sawit-merampas-kehidupan-perempuan-part-1-pendahuluan/ 
http://sawitwatch.or.id/2017/03/ketika-perkebunan-sawit-merampas-kehidupan-perempuan-part-2/

Tidak ada komentar: