Pengikut

Senin, 07 November 2011

Upah Minim Buruh Harian Lepas Pemanen Di Perkebunan

Riset sederhana ini dilakukan untuk melihat seberapa besar upah yang diterima buruh harian lepas pemanen di beberapa perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara. Dari hasil investigasi diperoleh data bahwa besar upah BHL berada di kisaran Rp 15.000-Rp 32.000. Upah BHL sebesar Rp 15.000 ditemukan di PT Socfindo Bangun Bandar, PT Indah Pontjan ( Serdang Bedagai), besar upah Rp 25.000 ditemukan di PT Lonsum Gunung Melayu (Asahan) dan besar upah diatas Rp 30.000 ditemukan di PT Lonsum (Langkat). Di beberapa perusahaan, dapat ditemukan sistem pengupahan berbasis tahun tanam. Misalnya di PT Sulung Laut (Serdang Bedagai) dimana besaran upah yang diterima BHL Pemanen ditentukan seberapa besar hasil yang diperolehnya dengan perhitungan  : tahun tanam 1997, upah Rp 100/janjang; tahun tanam 2000, upah Rp 115/janjang; tahun tanam 2003 dan 2006, upah Rp 55/janjang; tahun tanam 2004, upah Rp 120/janjang dan berondolan upah Rp 2500,- per goni. Rata-rata upah yang diterima BHL Pemanen hanya sekitar Rp 400.000-Rp 500.000/bulan. Di PT LNK Rayon Gohor Lama, BHL Pemanen menerima Rp 50 dari setiap 1 kg sawit yang dipanennya. Rata-rata BHL Pemanen hanya menerima upah sebesar Rp 400.000-Rp 600.000 setiap bulan.
Besaran upah yang diterima buruh masih harus dikurangi biaya penyediaan alat kerja dan alat perlindungan kerja.

Penyediaan Alat Kerja dan Alat Pelindung Kerja Penyediaan Alat Kerja
Dikaitkan dengan hubungan kerja antara buruh dan perusahaan, perusahaan diwajibkan menyediakan fasilitas yang diperlukan oleh buruh. Namun hasil investigasi yang dilakukan menunjukkan bahwa tidak semua perkebunan menyediakan segala keperluan kerja yang dibutuhkan buruh. Kondisi ini umumnya dialami oleh buruh pemanen yang harus menyediakan sendiri alat kerja dan alat pelindung kerja. Kondisi yang sama juga dialami oleh buruh berstatus BHL dan outsourcing.Dari investigasi yang dilakukan di beberapa perusahaan perkebunan tersebut, diperoleh data perusahaan juga tidak melengkapi semua alat pelindung kerja yang diperlukan buruh baik berstatus SKU, BHL maupun outsourcing. Alat pelindung kerja ini harus disediakan sendiri oleh buruh dengan biaya sendiri. Rata-rata biaya yang harus dikeluarkan buruh BHL untuk keperluan alat kerja dan alat pelindung kerja mencapai Rp 150.000-Rp 180.000 setiap bulannya.

Upah yang diterima BHL paling rendah ditemukan di PT LNK Rayon Gohor Lama Langkat, dimana BHL pemanen hanya menerima sekitar Rp 260.000 setiap bulannya. Kondisi yang hampir sama dapat dilihat di PT Sulung Laut, dimana BHL pemanen hanya memperoleh upah rata-rata Rp 442.200/bulan. Investigasi yang dilakukan, rata-rata pengeluaran buruh setiap bulannya mencapai Rp 1.100.000 (konsumsi keluarga, pendidikan anak, sandang dan sebagainya. Untuk mensiasati kekurangan ini, buruh terpaksa mengambil pilihan mengurangi kualitas menu dan gizi makanan sehari-hari. Dengan upah yang minimal, mie instan, kangkung, gori, genjer dan  telur menjadi menu rutinitas menu sehari-hari buruh. Hasil investigasi yang dilakukan terhadap menu makanan sehari-hari buruh perkebunan PT BSP Kuala Piasa Asahan diperoleh data bahwa menu rutin sehari-hari buruh di perusahaan tersebur adalah mie  instan. Menu tersebut menjadi keharusan yang harus dipilih untuk mengurangi uang keluar akibat rendahnya upah yang diterima.
Untuk menambah pemasukan, isteri-isteri buruh ikut membantu suaminya bekerja di kebun sebagai ‘menol’ (sebutan untuk  Buruh perempuan yang berstatus BHL) dengan Upah per hari sebesar Rp. 15.000,- (lima belas ribu rupiah).

Keterbatasan upah juga menyebabkan buruh perkebunan tidak bisa menyekolahkan anaknya ke jenjang yang tinggi. Survey yang pernah dilakukan pada tahun 2010 di beberapa perusahaan perkebunan di Langkat, Serdang Bedagai dan Asahan memperoleh data bahwa mayoritas buruh perkebunan hanya bisa menyekolahkan anak hanya sampai jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Upah murah  menjadi faktor utama yang menyebabkan sebagian besar anak-anak buruh perkebunan tidak mampu mengecap pendidikan yang layak. Seperti yang disampaikan oleh Wagiman, buruh perkebunan di Serdang Bedagai “Saya tidak tahu mau berbuat apa, Upah hanya cukup untuk makan, tidak cukup untuk untuk biaya pendidikan anak-anak. ”Kalau anak-anak minta uang untuk keperluan sekolah, ya harus ngutang”, katanya.
Selain mengurangi kualitas menu konsumsi keluarga, pilihan lain yang sering diambil buruh adalah bekerja mocok-mocok atau mandah ke perkebunan lain. Pilihan mandah ini sering diambil oleh buruh BHL PT LNK Langkat yang sering mandah kerja ke daerah Riau dan Aceh.

Tidak ada komentar: