Pengikut

Jumat, 04 November 2011

BHL : Pengingkaran Terhadap Hak Atas Upah Layak

Kehadiran usaha perkebunan memang membuka lapangan kerja dan disisi lain menjadi primadona bagi pemilik modal dan pemerintah untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.  Dampak langsung dari kehadiran perkebunan adalah munculnya kesempatan kerja. Penyerapan tenaga kerja pada sektor perkebunan dan industri turunannya menghasilkan angka yang cukup besar dibandingkan dengan industri lainnya. Pesatnya perkembangan usaha perkebunan memang memberikan keuntungan yang sangat besar bagi segelintir orang, tetapi di sisi lain ‘keuntungan besar” itu tidak terlihat dalam realitas kehidupan buruh kebun itu sendiri. Peningkatan produksi dan keuntungan perkebunan dari waktu ke waktu tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan buruh.
Perusahaan perkebunan selalu memiliki strategi dalam rangka memaksimalkan keuntungan dengan mengurangi tanggungjawabnya. Informalisasi tenaga kerja merupakan salah satu strategi yang dikembangkan oleh perusahaan perkebunan untuk meminimalisir tingkat pengeluaran.. Hal ini  merupakan bagian dari perusahaan perkebunan untuk mengelak dari berbagai biaya ketenagakerjaan. Bentuk yang dikembangkan antara lain mengatur sistem kerja buruh yang berdampak pada kecilnya upah dan hubungan kerja yang bersifat fleksibel seperti buruh harian lepas, buruh kontrak, buruh borongan, maupun buruh tetap (SKU) yang bekerja dengan target kerja yang sangat tinggi.
Informalisasi tenaga kerja yang menjadi kecenderungan tersebut memunculkan persoalan perlindungan tenaga kerja, tidak saja dalam hal perlindungan upah, tetapi juga jaminan kerja, kesehatan dan hak-hak normatif lainnya. Dalam konteks peraturan ketenagakerjaan disebutkan bahwa pengusaha wajib mengikutsertakan semua tenaga kerja harian lepas, tenaga kerja borongan dan tenaga kerja kontrak dalam Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja kepada Badan Penyelenggara (Bab II, Pasal 2). Namun, realitas menunjukkan bahwa buruh harian lepas, buruh kontrak atau buruh borongan tersebut tidak pernah memperoleh perlindungan sosial secara formal. ILO mendefenisikan buruh-buruh tersebut sebagai pekerja yang tidak dilindungi secara sosial.
Berkaitan dengan status kerja, penggunaan buruh dengan status kerja harian, borongan atau kontrak berdampak pada pengurangan biaya ketenagakerjaan yang harus dikeluarkan perusahaan. Sementara itu, resiko kerja yang ada tetap dibebankan pada buruh. Selain itu, penyediaan alat kerja dan alat pelindung kerja dibebankan kepada buruh tersebut yang tentunya ini sangat membebani dan mengurangi jumlah pendapatan yang seharusnya diterima.
Hasil investigasi menunjukkan selain penggunaan buruh tetap (SKU), perkebunan juga memakai buruh dengan status harian (BHL), borongan atau kontrak. BHL tidak memiliki ikatan dan kepastian kerja. Ikatan kerja berlangsung bersifat sementara dan berakhir setelah  target terpenuhi sesuai keinginan majikan  dan harus diperbaharui setiap waktu dengan perjanjian baru. Dalam membuat perjanjian kerja BHL umumnya bersifat individual berhubungan langsung dengan mandor sehingga majikan (perusahaan) terhindar dari kewajiban sosial  dan ikatan formal.
Jenis pekerjaan yang harus dipenuhi oleh BHL sama dengan buruh tetap, namun sistem kerja dan pengupahannya berbeda dengan buruh SKU. Sistem pengupahan BHL adalah bentuk pengupahan berbasis eksploitasi. Sistem pengupahan BHL tidak terdapat imbalan dalam bentuk upah pokok yang tetap, tetapi disesuaikan dengan peraturan perusahaan.
Dari hasil investigasi diperoleh data bahwa besar upah BHL berada di kisaran Rp 15.000-Rp 32.000. Upah BHL sebesar Rp 15.000 ditemukan di PT Socfindo Bangun Bandar dan PT Indah Pontjan ( Serdang Bedagai). Upah BHL sebesar Rp 25.000 ditemukan di PT Lonsum Gunung Melayu (Asahan) dan besar upah diatas Rp 30.000 ditemukan di PT Lonsum (Langkat). Di PT LNK Gohor Lama Langkat, besar upah BHL disesuaikan dengan hasil yang diperoleh setiap harinya. BHL di perusahaan ini menerima Rp 50 dari setiap 1 kg sawit yang dipanennya. Setiap hari, rata-rata hasil panen yang bisa dihasilkan BHL sekitar 1 ton dengan pembatasan hari kerja 14 hari. Bila dihitung, gaji tertinggi yang bisa diperoleh BHL di perusahaan ini adalah Rp 50.000 x 14 hari = Rp 700.000.
Diluar BHL, beberapa perkebunan juga melegalkan penggunaan buruh kontrak. Buruh kontrak disini adalah orang yang dipasok oleh mandor atau buruh SKU sendiri untuk mengerjakan pekerjaan harian. Rata-rata upah buruh outsourcing sebesar Rp 15.000/hari. Buruh outsourcing biasanya mengerjakan pekerjaan harian seperti menunas, membibit  dan bahkan memanen. Buruh outsourcing yang mengerjakan pekerjaan memanen dapat ditemukan di PT BSP Kuala Piasa Estate dengan upah sebesar Rp 200/janjang.
Selain BHL dan buruh kontrak, ditemukan juga buruh yang pekerjaannya mengutip berondolan yang lazim disebut tukang berondol. Tukang berondolan ini umumnya adalah isteri dari SKU Pemanen. Beberapa perusahaan mewajibkan pemanen membawa tukang berondol seperti PT Lonsum Turangie Estate-Langkat, PT Lonsum Rambung Sialang dan PT Sulung Laut-Serdang Bedagai. Rata-rata upah yang diterima tukang berondol sebesar Rp 15.000-Rp 20.000/hari. Namun demikian terdapat juga sistem pengupahan tukang berondol berbasis hasil yang diperolehnya. Seperti di PT Lonsum  Gunung Melayu-Asahan dimana upah tukang berondol dihargai Rp 169.5/Kg dan di PT Sulung Laut dimana upah tukang berondol dihargai Rp 2.500/goni.
Penggunaan buruh BHL memberikan keuntungan yang sangat besar bagi perusahaan perkebunan. Keuntungan yang diperoleh perusahaan tersebut dalam bentuk pengurangan biaya produksi. Perusahaan perkebunan tidak perlu mengeluarkan berbagai jenis jaminan sosial karena resiko kerja sepenuhnya ditanggung pihak buruh. Buruh tidak memperoleh tunjangan dan jaminan perlindungan kerja apapun selain upah. Hubungan kerja lepas ini menyebabkan kemampuan buruh untuk menegosiasikan kepentingannya menjadi rendah.
            Informalisasi hubungan kerja yang diterapkan perusahaan perkebunan untuk memaksimalkan keuntungan yang diperoleh menyebabkan terjadinya pengurangan upah buruh dalam jumlah yang sangat besar. Akibatnya buruh perkebunan tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Di sisi lain, kesehatan dan tingkat pendidikan anak buruh juga menjadi tidak terjamin. Dalam konteks yang lebih luas, informalisasi ini tidak pernah diawasi oleh pemerintah.
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia telah menetapkan bahwa buruh berhak menerima upah yang layak  untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Konstitusi juga menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja selanjutnya disebutkan juga bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.

Tidak ada komentar: