Pengikut

Senin, 15 Oktober 2012

Reduksi Upah Buruh Perkebunan


Sejarah pengupahan di Indonesia telah menunjukkan bahwa kualitas upah buruh dari waktu ke waktu mengalami degradasi. Pada jaman Orde Lama, selain menerima upah dalam bentuk nominal, buruh juga masih menerima tunjangan natura guna menjamin pemenuhan kebutuhan fisik buruh dan keluarganya. Pasca perubahan politik 1965, kebijakan upah murah dijadikan sebagai penarik investasi asing masuk ke Indonesia.
Pemerintah Orde Baru merubah sistem pengupahan berbasis kebutuhan pokok  kembali pada sistem pengupahan berbasis eksploitasi  sebagaimana dipraktekkan oleh kolonialisme. Pemerintah Orde Baru merumuskan sistem pengupahan dengan  konsep upah minimal. Selain itu merombak sistem pengupahan buruh melalui mekanisme “moneterisasi upah”. Pemerintah menetapkan bahwa upah buruh dibayar dalam bentuk uang, sementara tunjangan lainnya seperti yang dikenal dengan istilah catu 11 pada jaman orde lama dicabut.
Kehadiran usaha perkebunan memang membuka lapangan kerja dan disisi lain menjadi primadona bagi pemilik modal dan pemerintah. Namun, peningkatan produksi dan keuntungan yang diperoleh perkebunan tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan buruh. Upah layak sebagai salah satu indikator kesejahteraan buruh masih tetap menjadi persoalan utama yang dihadapi buruh perkebunan.
Informalisasi hubungan kerja dan pemindahan tanggungjawab dari perusahaan disatu sisi telah memberikan keuntungan maksimal bagi perusahaan. Namun disisi lain, menimbulkan  persoalan dalam hal perlindungan upah, jaminan kerja, kesehatan dan hak-hak dasar lainnya. Informalisasi hubungan kerja dan pemindahan tanggungjawab ini menjadi faktor-faktor yang mereduksi upah buruh. Upah minim yang diterima buruh sebagai akibat tindakan reduksi yang dilakukan perusahaan menyebabkan buruh perkebunan tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak.
Berkaitan dengan status kerja, penggunaan buruh dengan status kerja harian, borongan atau kontrak berdampak pada pengurangan biaya ketenagakerjaan yang harus dikeluarkan perusahaan. Sementara itu, resiko kerja yang ada tetap dibebankan pada buruh. Selain itu, penyediaan alat kerja dan alat pelindung kerja dibebankan kepada buruh tersebut yang tentunya ini sangat membebani dan mengurangi jumlah pendapatan yang seharusnya diterima. Buruh perkebunan sebenarnya memiliki hak akan upah setara untuk pekerjaan yang sama. Hak ini termuat dalam Konvensi ILO No.100 tentang Kesetaraan Upah yang diratifikasi menjadi UU No.80/1957, UU No.39/1999, pasal 38 tentang HAM dan Pasal 2 Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM). Namun realita di lapangan menunjukkan hal yang sebaliknya.
Selain upah murah, buruh perkebunan juga menerima perlakuan tertentu yang pada akhirnya mengurangi  (reduksi) besaran upah riil yang diterima. Reduksi upah dilakukan melalui potongan denda, penyediaan alat kerja dan alat pelindung kerja, serta penyediaan fasilitas pondok (rumah) buruh. Potongan denda dikenakan perusahaan terhadap buruh yang dinilai melakukan pelanggaran. Besar denda ini merupakan keputusan sepihak perusahaan, tanpa pernah melibatkan buruh. Umumnya potongan tidak tetap melalui denda ini dikenakan pada buruh pemanen.
Penerapan denda merupakan salah satu bentuk dominasi represif yang dilakukan perusahaan terhadap buruh. Adanya denda ini mengkondisikan buruh bekerja dalam tekanan yang sangat besar akan terjadinya kesalahan. Kesalahan yang dilakukan akan menyebabkan pengurangan upah yang diterimanya. Ancaman denda tersebut “mengarahkan” buruh bekerja hati-hati tanpa melakukan kesalahan dan disisi lain target tercapai.
Diluar itu, penerapan denda ini merupakan strategi perusahaan untuk mengurangi biaya produksi (politik produksi). Perusahaan akan mengalami kerugian bila buruh melakukan kesalahan dalam proses produksi. Kerugian itu dapat berupa target produksi yang tidak tercapai yang berimplikasi pada keharusan penambahan waktu atau biaya untuk mengganti waktu yang telah terpakai. Untuk mengantisipasi kerugian tersebut, perusahaan menerapkan denda sehingga dengan demikian target kerja bisa tercapai dan kerugian waktu dan biaya bisa ditekan.
Dikaitkan dengan hubungan kerja antara buruh dan perusahaan, perusahaan diwajibkan menyediakan fasilitas yang diperlukan oleh buruh. Namun kenyataan menunjukkan bahwa bahwa tidak semua perkebunan menyediakan segala keperluan kerja yang dibutuhkan buruh. Kondisi ini umumnya dialami oleh buruh pemanen yang harus menyediakan sendiri alat kerja dan alat pelindung kerja. Kondisi yang sama juga dialami oleh buruh berstatus BHL dan outsourcing. Selain alat kerja, beberapa perusahaan perkebunan juga mengharuskan buruh menyediakan sendiri alat pelindung kerjanya.
Beberapa perkebunan memang menyediakan fasilitas pondok (perumahan) bagi buruh, namun kondisi pondokan tersebut tidaklah layak huni. Selain tidak layak huni, buruh juga masih dibebankan dengan biaya penyediaan listrik dan air bersih. “Pondok kami itu terbuat dari papan, luasnya kira-kira 4 x 10 meter gitu. Perusahaan memang menyediakan listrik dan air. (Iuran) Listrik kami dipotong setiap bulannya, air dijatah hanya 4 jerigen setiap hari. Ada juga dikasi perusahaan mesin, tapi kalau rusak, perusahaan tidak mau tahu dan kalau dilaporkan maka proses perbaikannya lamban”, demikan menurut seorang buruh.
Kondisi ini akan sangat kontradiktif bila dibandingkan dengan Hak Atas Pemukiman yang layak yang dimuat dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekosob. Sebagaimana dijelaskan dalam Kovenan Hak Ekosob, pemukiman layak tidak ditafsirkan hanya dengan penyediaan tempat berteduh semata. Pemukiman yang layak harus mempunyai fasilitas tertentu yang penting bagi kesehatan, keamanan, kenyamanan dan pemenuhan gizi. Semua yang berhak atas pemukiman yang layak harus mendapatkan akses yang berkelanjutan atas sumber daya alam serta sumber daya umum, air minum yang aman, energi untuk memasak, pemanas ruangan dan penerangan, sanitasi dan fasilitas untuk mencuci, sarana penyimpanan makanan, tempat pembuangan sampah, saluran pembuangan dan pelayanan-pelayanan darurat.
Untuk SKU, besaran upah maksimal yang diterima buruh setiap bulannya berada di kisaran Rp 1.200.000-Rp 1.335.000. Untuk BHL dan outsourcing, besaran upah yang diterima berada dikisaran Rp 600.000-Rp 1.100.000. Besar upah ini merupakan upah maksimal yang diterima buruh tanpa dikenai potongan sanksi kerja dan sudah termasuk premi yang diperolehnya. Rata-rata pengeluaran buruh setiap bulannya mencapai Rp 1.300.000 (pengeluaran rutin). Bila dikurangi dengan biaya penyediaan alat kerja, alat pelindung kerja dan fasilitas pondokan, sudah pasti upah yang diterima secara riil menjadi semakin berkurang (tidak cukup). Untuk mensiasati kekurangan ini, buruh terpaksa mengambil pilihan mengurangi kualitas menu dan gizi makanan sehari-hari.
Keterbatasan upah juga menyebabkan buruh perkebunan tidak bisa menyekolahkan anaknya ke jenjang yang tinggi. Survey yang dilakukan pada tahun 2011 di beberapa perusahaan perkebunan di Langkat, Serdang Bedagai dan Asahan memperoleh data bahwa mayoritas buruh perkebunan hanya bisa menyekolahkan anak hanya sampai jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Kondisi demikian bertentangan dengan pasal 13, Hak Atas Pendidikan Kovenan Internasional tentang Hak Ekosob. Pasal ini berhubungan dengan hak atas pendidikan dalam keseluruhan dimensinya. Kovenan mensyaratkan agar negara mengambil langkah-langkah yang terinci guna memenuhi kewajiban ini. Fakta bahwa mayoritas buruh perkebunan hanya bisa menyekolahkan anak sampai jenjang pendidikan SMP merupakan bukti lain tindakan pembiaran negara yang melegitimasi kondisi diatas.
Dalam konteks yang lebih luas, informalisasi dan pemindahan tanggungjawab ini tidak pernah diawasi oleh pemerintah. Hak buruh atas upah layak direspon pengusaha dengan memberlakukan berbagai peraturan yang semakin memberatkan buruh. Realitas ini menunjukkan bahwa kondisi demikian disengaja oleh pemerintah untuk mengakomodir kepentingan pengusaha perkebunan (investasi).
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia telah menetapkan bahwa buruh berhak menerima upah yang layak  untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Konstitusi juga menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja selanjutnya disebutkan juga bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
Implikasi dari aturan ini adalah adanya kewajiban perkebunan untuk memberi upah yang layak bagi buruh. Disisi lain, perkebunan juga memiliki kewajiban untuk menyediakan segala keperluan buruh dalam konteks hubungan kerja seperti jamsostek, alat kerja, alat pelindung kerja dan fasilitas pondokan yang layak bagi hidup sehat. Tentu, merupakan kewajiban negara untuk memastikan apakah hak-hak ini diterima oleh buruh. 

Tidak ada komentar: