Pengikut

Minggu, 26 Maret 2017

MP3EI : Perampasan Ruang Kelola Rakyat



Pemerintah Indonesia pada 20 Mei 2011 menerbitkan Peraturan Presiden No. 32 tahun 2011 tentang Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. MP3EI merupakan sebuah rencana pembangunan ekonomi Indonesia yang dirancang untuk mempercepat pengembangan berbagai program pembangunan, terutama dalam mendorong peningkatan nilai tambah sektor-sektor unggulan ekonomi, pembangunan infrastruktur dan energi, serta pembangunan SDM dan IPTEK.



Ambisi yang hendak dicapai pemerintah dengan meluncurkan program MP3EI ini  adalah penempatan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan per kapita yang berkisar antara USD 14.250-USD 15.500 dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USD 4,0-4,5 triliun. Perkiraan pertumbuhan ekonomi riil diproyeksikan sebesar 6,4-7,5 % pada periode 2011-2014, dan sekitar 8,0-9,0 % pada periode 2015-2025. Pertumbuhan ekonomi tersebut akan dibarengi oleh penurunan inflasi dari sebesar 6,5 % pada periode 2011-2014 menjadi 3,0 % pada 2025. Kombinasi pertumbuhan dan inflasi seperti itu dipercaya mencerminkan karakteristik negara maju.



Untuk mencapainya, pemerintah Indonesia akan melakukan tiga visi penting, yaitu: Pertama; Peningkatan nilai tambah dan perluasan rantai nilai proses produksi serta distribusi dari pengelolaan aset dan akses (potensi) SDA, geografis wilayah, dan SDM, melalui penciptaan kegiatan ekonomi yang terintegrasi dan sinergis di dalam maupun antar-kawasan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Kedua; Mendorong terwujudnya peningkatan efisiensi produksi dan pemasaran serta integrasi pasar domestik dalam rangka penguatan daya saing dan daya tahan perekonomian nasional. Ketiga; Mendorong penguatan sistem inovasi nasional di sisi produksi, proses, maupun pemasaran untuk penguatan daya saing global yang berkelanjutan, menuju innovation-driven economy.



Proyek perencanaan pembangunan seperti MP3EI merupakan bagian dari upaya untuk memperdalam “integrasi dan kerjasama ekonomi antar negara Asia secara umum”. Dasar pemikiran utama dari model integrasi ekonomi untuk Asia ini bertumpu pada teori mengenai Geografi Ekonomi Baru (Krugman 1991; 2010) untuk melakukan reorganisasi spasial dan membentuk ulang geografi ekonomi baru dalam rangka memperlancar interaksi dan aliran kapital, barang dan tenaga kerja untuk aktivitas produksi-konsumsi. Asumsi dasar dalam kerangka Geografi Ekonomi Baru ini adalah untuk melahirkan model-model potensi aglomerasi produksi-konsumsi di luar model demand-supply konvensional, seperti model "pusat-pinggiran" yang baru, eksternalitas positif, pembesaran Produk Domestik Bruto (PDB) antar wilayah, serta berbagai perluasan ekonomi sebagai efek dari aglomerasi, maupun memecah hambatan bagi proses aglomerasi.



Kerangka pikir GEB ini kembali digaungkan oleh laporan Bank Dunia (2009), World Development Report, tahun 2009 yang bertajuk “Reshaping Economic Geography”. Laporan Bank Dunia ini berupaya untuk menginvestigasi relasi antara pertumbuhan makro ekonomi dengan pembentukan-ulang geografi pada umumnya dan pembangunan regional. Laporan Bank Dunia ini memiliki konsep dasar bahwa reorganisasi dan penataan geografi yang tepat dapat meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya produksi dan transaksi, serta meningkatkan pertumbuhan.



            Desain MP3EI pada dasarnya merupakan suatu reorganisasi spasial dan produksi ekonomi ruang. Hal itu dapat dibaca dengan menggunakan analisis sirkuit kapital yang diajukan oleh David Harvey. Sirkuit kapital terdiri dari sirkuit primer, sirkuit sekunder dan sirkuit tersier. Sirkuit primer merupakan sirkuit produksi dan konsumsi yang saling berhubungan. Sirkuit primer ini pada gilirannya berhubungan ke sirkuit sekunder dimana surplus kapital dilempar dalam bentuk pembangunan kembali kapital terpasang (fixed capital) dan dana konsumsi (consumption fund) yang keduanya difasilitasi dan dimediasi oleh pasar kapital (finansial) dan peranan negara. Selain ke sirkuit sekunder, pengalihan surplus kapital ini juga mengarah pada sirkuit tersier dalam bentuk belanja-belanja sosial dan riset atau pengembangan. Analisis sirkuit kapital semacam itu dapat menjelaskan desain utama dalam framework MP3EI yang meliputi: pembangunan ekonomi melalui penciptaan koridor (berada dalam sirkuit primer); penguatan konektivitas nasional (berada dalam sirkuit sekunder); penguatan kapasitas sumberdaya manusia dan ilmu pengetahuan dan teknologi (berada dalam sirkuit tersier).   



Dalam kerangka semacam itu, maka MP3EI tak lain adalah suatu produksi ekonomi ruang. Dalam gagasan Harvey, produksi ekonomi ruang adalah sesuatu yang melekat dalam proses akumulasi kapital. Pertukaran barang, jasa dan tenaga kerja selalu melibatkan perubahan lokasi. Pertukaran tersebut juga selalu menciptakan suatu gerak spasial yang saling bertemu sehingga menciptakan geografi manusia yang khas. Munculnya pembagian desa dan kota juga sebagai akibat dari hal ini. Aktivitas kapitalis karenanya selalu menghasilkan pembangunan geografis yang tak seragam. Dorongan kompetisilah yang menyebabkan kapitalis mengejar keuntungan kompetitif dengan memanfaatkan struktur dan keuntungan spasial dan karenanya selalu tergerak untuk untuk mencari lokasi-lokasi yang menguntungkan dimana biaya lebih rendah atau tingkat laba lebih tinggi.



Dalam menghadapi situasi kompetitif semacam itu, maka berbagai cara harus dilakukan para kapitalis agar kekuatan monopolinya tetap bekerja dan awet. Menurutnya, ada dua langkah penting yang pada umumnya dilakukan oleh para kapitalis: Pertama, melakukan sentralisasi kapital secara massif dengan berupaya mendominasi kapital finans, memperkuat posisi pasar, memperbesar skala produksi ekonomis (economy of scale), maupun proteksi terhadap keunggulan teknologi. Kedua, melakukan “anihilasi ruang melalui waktu”. Untuk membuat gerak lancar atas ruang, maka yang dibutuhkan adalah membangun infrastruktur fisik tertentu di dalam ruang tersebut, seperti membangun industri transportasi, komunikasi, rel, jalan raya, pelabuhan, bandara, jaringan kabel dan lain sebagainya untuk mempercepat aliran kapital.



Pendeknya, keuntungan spasial memainkan peranan yang sama dengan keuntungan teknologis. Penjelasan semacam ini diutarakan oleh teoretisi “lokasi klasik”, yang menyatakan bahwa pada akhirnya aktivitas kapitalis dalam penciptaan ekonomi ruang akan menciptakan kesimbangan spasial (spatial equlibrium) di dalam lanskap geografis, yang ditandai oleh tingginya pertumbuhan, padat investasi dan keuntungan, serta lancarnya lalu lintas barang dan buruh.



Namun, keseimbangan spasial di dalam aktivitas kapitalis itu tidak akan pernah terbentuk, karena proses akumulasi kapital akan selalu berekspansi dan selalu mengganggu tendensi terjadinya keseimbangan itu. Perilaku kompetitif akan menciptakan pergerakan terus-menerus dan menciptakan suatu instabilitas yang kronis, karena kapitalis selalu berebut mendapatkan lokasi-lokasi yang lebih istimewa dan kompetitif. Produk akhir dari kompetisi semacam ini adalah munculnya kapitalisme monopoli atau oligopoli. Ringkasnya, menurut Harvey “ketegangan antara kompetisi dan monopoli, antara konsentrasi dan pemecahan, antara menetap dengan bergerak, antara dinamisme dan inersia, dalam berbagai skala aktivitas pada gilirannya akan menciptakan lanskap geografis baru yang bisa memfasilitasi aktivitasnya di suatu waktu dan untuk kemudian dihancurkannya dan dibangun suatu lanskap baru agar kehendak untuk melakukan akumulasi kapital tanpa henti dapat terus berlangsung”. Proses ini merupakan suatu proses penciptaan ekonomi ruang  yang agregat akhirnya adalah suatu penghancuran kreatif atas tanah (creative destruction on the land) secara terus menerus.



Penghancuran kreatif atas tanah selalu diawali dengan proses perubahan kontrol atas tanah. Salah satu hal penting yang harus dilihat dalam konteks MP3EI ini adalah bagaimana kontrol dan penguasaan atas tanah berubah sebagai akibat dari hadirnya kapital yang bekerja di pedesaan. Perubahan semacam itu pada umumnya diakibatkan oleh perubahan dalam land property relations yang dipicu oleh suatu kebijakan atau ketiadaan kebijakan. Hal lain yang harus diperhatikan adalah perubahan tata guna tanah. Arah perubahan tata guna tanah sebagai konsekuensi perubahan kontrol atas tanah ini diarahkan pada perubahan tata guna tanah dari pangan ke non-pangan. Perubahan tata guna tanah ini memiliki dampak dan konsekuensi yang beragam pada mata pencaharian (livelihood) masyarakat setempat.



Perubahan kontrol atas tanah ini dapat dilihat pada pembangunan beberapa proyek besar di Sumatera Utara dalam skema MP3EI. Rencana pembangunan pelabuhan baru di desa Tanjung Rejo, Percut Sei Tuan sebagai bagian Kawasan Ekonomi Khusus guna mendukung MP3EI sebagai contoh telah merubah kontrol rakyat atas tanah. Pembangunan pelabuhan baru ini telah menyebabkan berubahnya peta kepemilikan tanah dan meningkatnya alih fungsi lahan. Di wilayah yang merupakan areal persawahan di desa tersebut marak terjadi praktek jual beli tanah (sawah). Disisi lain, rencana pembangunan pelabuhan ini memberi dampak buruk terhadap nelayan tradisional di desa Percut yaitu semakin jauhnya wilayah tangkapan ikan (perampasan ruang ekonomi).



Perubahan kontrol atas tanah dan perampasan ruang kelola rakyat juga terjadi di sekitar Pelabuhan Kuala Tanjung, Batubara, salah satu proyek yang masuk dalam skema MP3EI. Observasi yang dilakukan menemukan fakta bahwa pesisir pantai telah dikapling-kapling oleh korporasi besar dengan tembok tembok tinggi dengan  tiadanya akses masuk bagi masyarakat umum. Diluar itu, kawasan yang dulunya areal pertanian telah berganti kepemilikan dan menjadi kawasan bisnis. Sebelum pembangunan pelabuhan raksasa tersebut, praktek jual beli tanah telah berlangsung.



Hal yang sama dapat dilihat di lokasi pembangunan bandara internasional Kuala Namu. Sampai saat ini sekitar 40 kepala keluarga, masih bertahan di sekitar bandara karena ganti rugi yang tidak adil. Diluar itu, masyarakat desa Telaga Sari Tanjung Morawa menyatakan penolakannya atas rencana eksekusi tanah mereka yang akan dijadikan jalan arteri menuju Kuala Namu. Regulasi-regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk menyokong pelaksanaan MP3EI telah menyebabkan konflik. Masyarakat dipaksa menerima akibat implementasi MP3EI yaitu penggusuran dan perampasan tanah.



Disisi lain, pembangunan Bandara Kuala Namu akan memunculkan pusat-pusat investasi (penciptaan ruang ekonomi berbasis kapital yang terkoneksi sebagaimana dasar dari MP3EI) seperti industri perhotelan, pemukiman, perdagangan, pertokoan dan investasi lainnya yang merubah tata guna lahan. Tentu saja, penciptaan ruang ekonomi ini hanya bisa dilakukan investor besar dengan dukungan regulasi. Pada tahapan inilah, praktek jual beli tanah yang pada akhirnya merubah kontrol atas tanah dan perampasan tanah terjadi.



Perampasan ruang kelola rakyat pada akhirnya akan memposisikan rakyat pada kelas yang lemah dan tanpa alat produksi. Dalam konteks ini, masyarakat pemilik tanah yang berubah menjadi tenaga upahan merupakan sumber  tenaga kerja murah yang sangat dibutuhkan pasar. Perampasan ruang kelola rakyat secara drastis telah mengubah dinamika struktur agraria dan perubahan pedesaan. Proses yang secara luas terjadi di pedesaan adalah terjadinya gelombang akumulasi  agraria yang memberikan kekuasaan penuh pada kapital domestik dan korporasi internasional. Salah satu bentuk perubahan mencolok saat ini dimana kelas pekerja di pedesaan dan sektor pertanian dengan cepat menghadapi kondisi mata pencaharian yang semakin merosot dan memburuk akibat alih fungsi lahan sebagai akibat industrialisasi.



Penciptaan ruang ekonomi baru adalah sisi lain dari perampasan ruang kelola rakyat. Perampasan ruang kelola rakyat juga adalah kata ganti dari pelucutan rakyat dari faktor-faktor produksi kebutuhan hidup mereka. Perampasan ruang dilihat dalam kerangka bagaimana sarana penghidupan sosial dan sarana produksi ditransformasikan menjadi kapital dan produsen langsung (rakyat) ditransformasi menjadi buruh upahan. Penciptaan ruang ekonomi untuk akumulasi kapital pada kenyataannya justru memperburuk penderitaan rakyat.

Rabu, 08 Maret 2017

Ketika Perkebunan Sawit Merampas Kehidupan Perempuan



Sejak tahun 2000 luas perkebunan sawit semakin meningkat. Pembukaan perkebunan sawit secara massif dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pasar internasional. Indonesia sendiri telah menargetkan produksi CPO sampai 40 juta ton /tahun pada tahun 2020[1]. Badan Pengelolaan Dana Perkebunan (BPDP) sendiri mencanangkan Visi Sawit Indonesia 2045 dengan salah satu target, produksi CPO hingga 60 juta ton per tahun[2].  Sementara itu, konsumsi dunia terhadap minyak sawit setiap tahun terus meningkat dan diperkirakan akan mencapai 50 juta ton pada tahun 2030. Pertumbuhan pasar ini kemudian memacu produksi kelapa sawit di Asia Tenggara yang memang memiliki iklim yang sesuai.

Saat ini Indonesia memiliki 15,9 juta hektar perkebunan kelapa sawit, dengan rencana ekspansi mencapai sekitar sekitar 20 juta hektar lahan, yang telah dialokasikan – tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Massifnya ekspansi perkebunan sawit didukung oleh 2 faktor utama, upah buruh dan sewa lahan yang murah. Di sisi lain, pemerintah Indonesia terus memberikan fasilitas penunjang seperti peraturan perundangan yang menarik, pinjaman lunak, land amnesty dan insentif fiskal.

Industri kelapa sawit memberikan kontribusi besar terhadap negara. Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan, minyak sawit merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar di Indonesia dengan nilai Rp 250 triliun setiap tahunnya[3].  Kelapa Sawit menjadi komoditas andalan bagi Indonesia, hal ini terbukti dari produk-produk turunan kelapa sawit yang memberikan kontribusi ekspor sebesar 75% dari sektor non migas. Diluar itu, kehadiran perkebunan kelapa sawit menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar[4].

Cerita sukses Indonesia sebagai produsen terbesar sawit dunia dengan perhitungan keuntungan besar yang diperoleh melalui penjualan minyak sawit tidak diikuti oleh kisah sukses yang sama untuk masyarakat lokal, masyarakat adat dan buruh. Malah, pengembangan dan perluasan perkebunan berdasarkan sistem saat ini menyebabkan pemiskinan, pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan dan konflik – terutama terkait lahan.

Ekspansi perkebunan kelapa sawit telah menimbulkan banyak implikasi, terutama potensi terjadinya realokasi besar-besaran peruntukan lahan dan sumberdaya. Selain akan menimbulkan perubahan bentang alam, ekspansi perkebunan skala besar juga menimbulkan perubahan struktur perekonomian lokal dan regional, serta perubahan sumber penghidupan masyarakat lokal, terutama komunitas lokal dan adat yang selama ini tergantung pada hutan, termasuk didalamnya perubahan dari petani menjadi tenaga upahan. Proses ekspansi juga telah mengakibatkan munculnya berbagai konflik sosial, terutama yang berkaitan dengan konflik lahan, yang tidak jarang juga menimbulkan munculnya kekerasan

Perampasan tanah kehadiran investasi yang membutuhkan tanah skala luas memicu perubahan kontrol atas tanah. Kehadiran perkebunan ini sebagaimana dikatakan memperoleh dukungan besar dari negara. Jelas, kekuasaan yang timpang menyebabkan satu pihak (masyarakat) harus kehilangan akses terhadap sumber daya.
 “Kalau saya, 15 tahun tak pernah lagi garap sawah. Itu sejak PT sawit ada, tidak bisa tanam lagi. PT bangun kanal 8 meter dalamnya, lebar juga, dibikin tanggul juga”, kata Sri Yani. Sri Yani adalah salah seorang perempuan warga desa Belanti, kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.

Biasa dapat 6 ton per hektar, tapi sekarang cuma dapat 25 kaleng saja (200 Kg). Banyak warga karena tak bisa lagi itu ditanam, mandah cari kerja di tempat lain. Ada yang mandah ke Palembang jadi kuli, ke Riau atau ke Jambi nebang kayu”, kata Kas, 35 tahun, warga desa SP Padang, kabupaten OKI, Sumatera Selatan. “Kalau perempuan disini, sejak sawah banjir, banyak juga yang jadi kuli di PT Cinta Manis (perkebunan tebu), upahnya 30 ribu satu hari. Kalau ada yang manggil kita kerja, kalau gak ada yang manggil, kita jadi upahan di sawah orang”, lanjut Kas.

Hasil investigasi yang dilakukan Sawit watch pada akhir 2016, terdapat ribuan hektar lahan persawahan yang tak bisa dikelola karena banjir. Menurut warga, banjir terjadi sejak perkebunan sawit di wilayah mereka membangun tanggul dan kanal. Kondisi ini sudah terjadi sejak tahun 2008.

Perampasan lahan oleh korporasi sawit dan kehadiran perkebunan sawit sangat jelas berdampak pada hilangnya basis produksi perempuan dan mengubah kaum perempuan dari produsen pangan menjadi pembeli pangan atau menjadi tenaga upahan yang dibayar murah.  Pola hidup dan kebiasaan-kebiasaan  sebagai produsen pangan terdistorsi  menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, yakni tempat kerja. Perempuan yang menjadi tenaga upahan harus menyesuaikan diri dengan standar rutinitas, pola kerja, mekanisme kerja yang telah ditetapkan dan diawasi secara sepihak oleh perkebunan.

Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan perempuan yang bekerja di perkebunan sawit seringkali dianggap tidak ada, padahal proses produksi sangat dipengaruhi oleh keberadaan perempuan yang bertugas menyemprot atau membantu panen. Perempuan tidak dianggap sebagai buruh perusahaan, sehingga tidak mendapatkan hak-hak yang selayaknya didapatkan.


Perempuan : Menjadi Buruh Hantu Permanen
Besarnya penerimaan negara dari industri sawit, keuntungan yang diperoleh perkebunan sawit[5] dan tingginya permintaan pasar internasional tidak memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan buruh. Pada tahun 2010 misalnya, dimana pada saat itu harga jual minyak sawit mencapai US$1.100 per ton, tapi buruh perkebunan sawit tetap berada dalam kondisi memprihatinkan. Dari penelitian yang dilakukan Sawit Watch terungkap adanya praktek mirip kerja paksa di perkebunan sawit, minimnya fasilitas air bersih dan kesehatan, informalisasi hubungan kerja khususnya terhadap buruh perempuan serta pelibatan isteri dan anak bekerja tanpa dibayar[6].


Buruh perempuan di perkebunan sawit bekerja di bagian pemupukan, penyemprotan, perintis (pembabat), cuci karung pupuk, menjaga Tempat Penitipan Anak, perawatan jalan dan wilayah sekitar barak. Diluar itu, buruh perempuan terlibat dalam pekerjaan memanen, namun tidak menerima upah. Di perkebunan kelapa sawit, mulai dari membuka lahan hingga panen, perempuan mengerjakan 15 dari 16 jenis kegiatan. Hal ini belum dihitung berat ringannya serta lama waktu kerja setiap kegiatan yang dilakukan perempuan[7].

Beberapa perkebunan menetapkan kebijakan mewajibkan buruh pemanen membawa isteri ke ancak (tempat kerja). Bila buruh pemanen tidak membawa isteri, buruh dinyatakan mangkir atau mandor akan mendatangkan kernet yang upahnya harus dibayar sendiri oleh buruh pemanen bersangkutan.

Di PT SLM Kalimantan Tengah misalnya, target kerja buruh pemanen untuk tahun tanam 2004 sebanyak 180 janjang (TBS). Perusahaan tersebut menetapkan 180 janjang ini harus dibagi oleh pemanen dan isterinya. Biasanya pemanen 100 janjang dan isterinya 80 janjang, pekerjaan memanen tetap dilakukan suami, sementara isteri mengutip berondolan, merapikan pelepah, memindahkan TBS ke Tempat Penampungan Hasil. Perusahaan hanya membayar upah suami, sementara isteri tidak. Praktek yang sama juga ditemukan di beberapa perkebunan sawit di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Isteri buruh tidak memiliki hubungan kerja dengan perusahaan  namun terpaksa ikut bekerja demi mencapai target kerja suami dan praktek ini berlangsung bertahun-tahun. Bila satu orang buruh pemanen bekerja untuk 2,5-3 hektar, maka bisa dibayangkan berapa jumlah perempuan yang bekerja tanpa upah di perkebunan sawit di Indonesia. Sawit Watch menyebut buruh tanpa perikatan kerja dan upah ini dengan istilah “buruh hantu”.

Perempuan : Menjadi Buruh Harian Lepas Permanen
Salah satu aspek menggambarkan informalisasi hubungan kerja di perkebunan sawit di Indonesia adalah praktek kerja buruh harian lepas (BHL). Terdapat 3 jenis pola perikatan kerja BHL diperkebunan yaitu : Pertama, perikatan permanen (kontrak tahunan), dimana sistem dan beban kerja BHL sama dengan buruh tetap, namun hari kerja dibatasi dibawah 20 hari. Kedua, perikatan semi permanen (kontrak/borongan). Dalam pola ini, kepastian kerja tergantung pada ada tidaknya “pekerjaan” dengan jam kerja, upah dan target ditentukan perkebunan. Ketiga, outsourcing baik resmi dan tidak resmi. Mayoritas buruh yang bekerja dalam status seperti ini adalah perempuan.

Di perkebunan sawit, buruh tanpa jaminan kepastian ini jumlahnya massif, biasanya berhubungan dengan pekerjaan pemupukan dan penyemprotan dan mayoritas adalah perempuan. Beberapa perkebunan yang teriindikasi menggunakan pola ini seperti PT LNK di Sumatera Utara, PT HMBP, PT SLM dan PT KSI di Kalimantan Tengah, PT HHM dan PT MM di Kalimantan Timur dan PT Ma di Sulawesi Barat. Di perkebunan sawit yang dimaksud, ditemukan buruh perempuan berstatus BHL yang masa kerjanya diatas 5 tahun.

Bekerja dengan Racun
Menyemprot, pekerjaan yang dilakukan oleh buruh perempuan. Mayoritas dari buruh penyemprot ini berstatus BHL. Gramoxone, Glifosat, Rhodiamine dan Roundup adalah produk yang digunakan dalam proses kerja. Perusahaan tidak menyediakan informasi tentang potensi dampak dan bahaya dari pestisida yang digunakan, juga tidak memberikan pelatihan tentang bagaimana menggunakan pestisida secara tepat dan cara untuk menghindari bahaya kesehatan. Akibatnya, buruh perempuan yang bekerja sebagai penyemprot rentan mengalami kecelakaan kerja atau mengalmi penyakit akibat kerja seperti gangguan pernafasan, tangan terbakar, pusing, mata kabur bahkan buta. Di PT SPMN, ditemukan 3 orang buruh penyemprot yang mengalami gangguan dibagian mata (terancam buta) akibat terkena percikan Gramoxone.

Memupuk, jenis pekerjaan lain yang dilakukan buruh perempuan. Seorang buruh pemupuk diharuskan menghabikan rata-rata 13-15 karung setiap harinya,  dimana 1 karung pupuk beratnya 50 kilogram. Buruh pemupuk melakukan pemupukan dengan cara menggendong goni (atau menggunakan alat kerja  tambahan seperti ember namun  disediakan sendiri oleh buruh) langsung menaburkan pupuk di sekeliling pohon sawit  dengan tangan telanjang tanpa menggunakan sarung tangan.


Mr (47 tahun), seorang buruh pemupuk PT HHM, Kalimantan Timur. Sebagaimana buruh lainnya, ia sudah harus berada di lapangan pada pukul 07.00. Pada pukul 06.00, ia dan anggota kelompok lainnya diabsen. Pukul 07.00, ia sudah mulai bekerja sampai pukul 13.00 atau 13.30. Sebagaimana buruh pemupuk lainnya, ia harus mengikat ember yang berisi 15 kilogram pupuk diatas perutnya. Ember tersebut disandangkan ke badannya dengan tali yang disediakan perusahaan. Bila pupuk dalam ember tersebut habis, pemupuk harus kembali lagi ke lokasi pengisian pupuk terdekat dan mengisi sendiri embernya. Ia mengatakan 1 karung pupuk itu biasanya dihabiskan dalam 3 kali gendongan. Jadi target kerjanya yang 16 karung, dihabiskan paling sedikit dalam 48 kali gendongan.


Pemerintah Indonesia perlu secepatnya mengeluarkan kebijakan moratorium pembukaan perkebunan sawit. Disisi lain, konflik-konflik yang terjadi antara komunitas dengan korporasi diselesaikan dengan mengedepankan kepentingan rakyat atas wilayah kelolanya. Pemerintah Indonesia perlu menata sistem perburuhan yang menempatkan buruh sebagai subjek yang hidup layak. Dalam kerangka peningkatan kesejahteraan buruh, pemerintah perlu mengeluarkan regulasi dalam rangka perbaikan dan perlindungan  buruh perkebunan sawit, utamanya menghentikan informalisasi hubungan kerja. 

Sumber : 
http://sawitwatch.or.id/2017/03/ketika-perkebunan-sawit-merampas-kehidupan-perempuan-part-1-pendahuluan/ 
http://sawitwatch.or.id/2017/03/ketika-perkebunan-sawit-merampas-kehidupan-perempuan-part-2/