Pengikut

Jumat, 04 November 2011

KEBIJAKAN BERAS PEMERINTAH BELANDA DI SUMATRA BARAT 1930-1942 (Resume)

Buku ini merupakan pengembangan dari tesis Sabar (penulis-red) di Universitas Andalas Sumatra Barat. Tulisan dalam buku ini mengetengahkan naik-turunnya produksi beras di Sumatra Barat sejak tahun 1930 sebagai akibat kebijakan pemerintahan kolonial Belanda yang tidak menentu dalam pengaturan produksi beras .

Sejarah pertanian padi di Sumatra Barat merupakan rangkaian proses yang bersifat sebab akibat dan unik, mengingat beras merupakan komoditi yang sudah lama di perdagangkan. Petani padi di Sumatra Barat bila mengacu pada tulisan ini dikenal sebagai petani desa yang bercocok tanam dalam ruang lingkup keluarga dan memiliki ciri-ciri khas yang berbeda dengan pertanian komersil. Namun demikian bukan berarti, petani di Sumatra Barat menjauhkan diri dan sistem ekonomi pasar dimana, hasil produksi beras dijual ke pasar dengan harapan memperoleh keuntungan (dualistik).

Kehidupan ekonomi Masyarakat Minangkabau sebagai subjek dalam tulisan ini sebelum kedatangan kolonial Belanda bertumpu pada sektor pertanian. Oleh akrena itu penguasaan tanah sebagai milik bersama menjadi sangat penting. Bagi masyarakat Minangkabau, tanah merupakan lambang martabat hidup keluarga dan sekaligus sebagai penanda legalitas sosialnya sebagai orang Minangkabau. Tanah atau sawah merupakan sumber hidup bersama, sarana pergaulan karena proses penggarapannya harus dilakukan secara bersama.

Sebagaimana dikatakan sebelumnya, fluktuasi produksi beras di Sumatra Barat dipengaruhi oleh kebijakan pertanian pemerintah kolonial Belanda pada saat itu. Pengawasan pemerintah kolonial terhadap produksi beras di wilayah tersebut telah dimulai sejak menancapkan kuku kekuasaanya di wilayah ini. Pemerintah kolonial memandang daerah tersebut sebagai penghasil beras dan menjadikannya sebagai produsen bahan makanan bagi penduduk dan buruh tambang Ombilin.

Pada masa perang Paderi, harga beras mencapai tingkat yang tinggi disebabkan oleh jalur distribusi yang terhambat. Selain itu pada masa perang, banyak lahan persawahan yang dihancurkan dan irigasi tidak diperhatikan. Sebab-sebab penghancuran ini tidak diuraikan lebih lanjut oleh penulis dalam buku ini. Seiring dengan bercokolnya kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di Sumatra Barat, tekanan terhadap petani mulai dirasakan. Pemerintah kolonial melakukan penahanan terhadap petani padi yang tidak mengikuti kebijakan yang telah ditetapkan.

Memasuki tahun 1930-an, terjadi krisis ekonomi dunia (malaise). Bagi masyarakat jajahan, termasuk di Sumatra Barat, krisis ekonomi dunia berarti pengurangan kesempatan kerja, turunnya harga hasil pertanian dan rendahnya upah buruh. Secara khusus, krisis ekonomi dunia ini mengembalikan watak petani Minangkabau yang subsisten. Pada periode ini, pemerintah kolonial mengeluarkan berbagai kebijakan yang mengatur produksi komoditas pertanian, terutama tanaman padi.

Akibat krisis ekonomi dunia, maka produksi komoditas tanaman pertanian yang beorientasi ekspor terhenti dan selanjutnya petani lebih memilih untuk kembali menanam padi. Terjadinya fluktuasi produksi beras pada kurun waktu 1930-1942 merupakan suatu konsekuansi logis akibat terjadinya krisis ekonomi dunia dan watak ekonomi masyarakat Minangkabau yang dualistik.

Penulis buku ini sepertinya kurang memperhatikan penjelasan tentang watak dualistik masyarakat petani Minangkabau. Ini diperlukan karena sebagaimana dinyatakan dalam buku ini, fluktuasi produksi beras tidak semata-mata disebabkan oleh kebijakan pemerintah kolonial saja. Tetapi produksi beras juga dipengaruhi oleh karakter ekonomi masyarakat Minangkabau yang mencari keuntungan dari komoditas lain.

Sebelum krisis ekonomi tahun 1930, produksi padi tetap tinggi walaupun perluasan lahan untuk komoditas lain berlangsung. Namun sejak tahun 1930, produksi beras mengalami penurunan akibat kebijakan pemerintah kolonial yang membatasi produksi. Kebijakan ini direspon oleh masyarakat Minangkabau dengan menanam tanaman perdagangan lain seperti kopi dan karet.

Politik pertanian yang dianut pemerintah kolonial Belanda padapada saat itu diarahkan untuk mencegah kenaikan harga beras. Kebijakan ini diambil untuk memenuhi kebutuhan pangan para buruh di perkebunan milik Belanda dan mencegah terjadinya keresahan masyarakat.

Fluktuasi produksi beras juga memiliki kaitan dengan perubahan dalam tenaga kerja. Sektor pertanian padi pada saat itu merupakan sektor yang banyak menyerap tenaga kerja disamping sektor pertanian tanaman perdagangan. Pada 1920 terjadi perubahan dalam hubungan kerja sejak diperkenalkannya buruh upahan lepas. Pada saat harga kopi dan karet melambung tinggi, banyak penduduk Sumatera Barat yang merantau dipanggil pulang untuk mengolah lahan perkebunan. Ketika harga kopi dan karet jatuh, terjadi pengurangan tenaga kerja. Tenaga kerja yang dipergunakan dalam pengolahan berasal dari anggota keluarga sendiri.

Pada saat harga kopi dan karet melambung, sebagian masyarakat Sumatera Barat lebih memilih mengembangkan lahannya untuk komoditas tersebut. Akibatnya tanaman pertanian padi kurang begitu diperhatikan, sehingga pasca 1930, untuk pemenuhan konsumsi, beras terpaksa didatangkan dari wilayah lain. Untuk mengantisipasi kekurangan beras ini, maka sejak tahun 1931, terjadi perluasan lahan pertanian padi dengan dibukanya areal hutan. Perluasan lahan ini membutuhkan banyak tenaga kerja. Dalam konteks inilah, peran penghulu sangat besar. Penghulu berperan dalam mengorganisir buruh untuk pekerjaan pertanian.

Secara umum buku ini banyak memberikan informasi tentang harga beras, jumlah produksi dan data-data lain berupa angka. Namun penulis sepertinya lebih mengutamakan data-data sekunder sebagai bahan dalam penulisan buku ini. Jika ditelisik lebih jauh, data atau informasi primer jarang sekali ditampilkan oleh penulis.

Selain itu, penulis juga tidak menggambarkan secara rinci apa saja kebijakan yang diambil oleh pemerintah kolonial dalam konteks penentuan produksi beras. Hal yang menjadi pertanyaan besar setelah membaca buku ini adalah informasi, data atau gambaran situasi yang digambarkan penulis dalam tulisannya menunjukkan bahwa seolah-olah wilayah Sumatera Barat itu bukanlah tanah jajahan Belanda. Satu dari beberapa hal yang menjelaskan pernyataan ini adalah diberikannya kebebasan yang besar bagi masyarakat Minangkabau untuk memproduksi dan memperdagangkan tanaman kopi dan karet--suatu hal yang tidak lazim dalam suasana penjajahan.

1 komentar:

Fathahillah mengatakan...

Resume yang menarik... Bolehkah saya tahu lebih banyak mengenai perkembangan perekonominan di sumtera barat? Terkhusus kepada mata pencarian utama orang minang semenjak masa kolonial... ? Terimakasih sebelum nya