Pengikut

Rabu, 09 November 2011

Koeli Kontrak Tempoe Doeloe : Sebuah Catatan

Perbudakan di perkebunan wilayah Sumatera Timur tidak bisa dipisahkan dari proses awal yakni penelitian yang dilakukan oleh Inggris. Penelitian Inggris waktu itu menyimpulkan bahwa wilayah Sumatera Timur merupakan daerah yang subur terutama untuk komoditas tembakau, lada dan cengkeh. Daerah ini juga tidak homogen, tetapi sudah heterogen yang terdiri dari beberapa suku dan kelas masyarakat.
Kondisi sosial politik di wilayah Simatera Timur pada waktu itu berada dalam situasi bergejolak. Beberapa kerajaan terlibat dalam konflik. Seperti kerajaan Deli dengan Kesultanan Aceh dan juga kerajaan-kerajaan kecil lain di wilayah Sumatera Timur. Belanda akhirnya mengambil keuntungan dari konflik ini karena  beberapa kerajaan meminta perlindungan Belanda dengan konsesi tertentu,terutama konsesi tanah yang diberikan kerajaan Deli kepada Belanda.
Atas dasar konsesi tersebut, maka investasi asing berbondong-bondong masuk ke wilayah Deli. Beberapa kemudahan yang diberikan pihak kerajaan terhadap pengusaha ini salah satunya dengan memberikan tanah milik warga pribumi. Ini membuat warga pribumi marah dan melakukan perlawanan. Bentuk perlawanan dilakukan membakar gudang-gudang tembakau milik pengusaha asing.
Dalam hal ini perlu kita lihat bagaimana hubungan kerja yang dibangun pada saat itu. Pengusaha  asing terutama Neinhuys sudah menerapkan sistem borongan tenaga kerja, sistem makelar, sistem buruh harian. Pada masa awal investasi di perkebunan Sumatera Timur, tenaga kerja sebagian besar berasal dari Tionghoa. Sementara warga asli sangat sedikit yang menjadi buruh di kebun-kebun milik asing. Barulah, sesudah bertambahnya kebun milik swasta asing, tenaga kuli banyak didatangkan dari Jawa. Sebagian besar tenaga kerja ini didatangkan dengan strategi penipuan. Kuli-kuli tersebut ditipu  sehingga terjebak bekerja di perkebunan asing.
Buku ini banyak menggambarkan bagaimana peran Nienhuys dalam proses perbudakan di kebun-kebun miliknya. Konsesi yang diberikan kerajaan Deli kepada Nienhuys sangatlah luas. Pemberian konsesi yang sangat luas ini menyebabkan kerajaan terpaksa mengambil tanah rakyat untuk diberikan kepada Nienhuys. Inilah yang memunculkan perlawanan dari rakyat lokal. Salah satu perlawanan yang tercatat dalam buku ini adalah perlawanan yang dilakukan Putra Datuk Jalill di Langkat.
Sampai tahun 1872 terdapat 15 perusahaan perkebunan di wilayahSimatera Timur. Derita kuli perkebunan terlihat jelas digambarkan seperti ditendang, dirantai,dibal-bali, dijemur, dipenjara atau disekap tanpa makan dan minum. Pada masa itu kekuasaan pemilik kebun terhadap orang-orang yang berada di kebunnya sangat besar. Apalagi paska pemberontakan Sunggal, pemilik kebun diberi kuasa melakukan tindakan hukuman apa saja terhadap kuli-kuli dan orang-orang yang dianggap melanggar aturan.
Namun demikian aksi perlawanan terhadap dominasi ini, bukannya tidak ada. Beberapa perlawanan yang tercatat antara lain penyerangan orang Gayo ke kebun Sungai Tawar, penyerangan ke kebun Kwala Begumit, penyerangan ke kebun Sungai Disky. Selain itu penyerangan terhadap kebun-kebun Belanda di Deli dan Langkat juga sering terjadi. Untuk memadamkan perlawanan ini, maka pihak kolonial memilih pendekatan militer.
Untuk menjamin investasi berlangsung dengan tingkat keuntungan yang tinggi maka diberlakukanlah UU Poenale Sanctie.UU ini jika ditilik lebih diarahkan sasarannya kepada kuli kebun. UU ini sebenarnya dikeluarkan untuk mematikan perlawanan buruh dan menegaskan penindasan terhadap kaum kuli di kebun-kebun. UU ini dibuat hanya untuk melegalkan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan kuli, sementara pelanggaran yang dilakukan pemilik kebun tidak ada sanksi hukumnya sama sekali.
Nasib kuli kebun lebih jelas disampaikan oleh Van Kol, anggota Majelis Rendah Belanda dari partai sosialis. Kondisi kuli kebun digambarkannya seperti makanan tidak cukup, penganiayaan kejam, perampasan kebebasan pribadi, merajalelanya pelacuran, rumah sakit yang jelek, pemukulan terhadap kuli perempuan dan sebagainya. Sebegitu jauh, pekerjaan kuli juga dibedakan berdasarkan etnisnya. Agar kuli tetap berada dalam jangkauan pemilik kebun , maka dibuka perjudian selama ikatan kontrak agar kuli terlilit utang. Gaji kuli dibayar dengan Dollar yang terus menurun nilainya. Gaji kuli pun dibayar sangat rendah, sehingga tidak jarang kuli perempuan melacurkan diri untuk membiayai hidup.
Kuli-kuli kebun Tanah Deli dalam realitasnya dijadikan hamba-hamba yang diperas habis-habisan dan ini diformalkan dalam Ordonatie Kuli . Pasal-pasal dalam kuli ordonansi ini memberikan wewenang sangat besar bagi pemilik kebun untuk menghukum kulinya yang dianggap melakukan kesalahan. Namun demikian terdapat juga perlawanan terhadap penindasan tersebut. Beberapa tokoh Belanda mengkampanyekan situasi penindasan yang dilakukan pemilik kebun terhadap kuli-kulinya. Salah satunya oleh Van Den Brand yang menulis brosur “berjuta-juta dari tanah Deli”. Penindasan terhadap kuli ini memang sering dibicarakan ditingkat Dewan Rakyat Belanda, namun tidak ada hasilnya untuk perbaikan nasib kuli kebun. Dewan Rakyat Belanda pada saat itu dikuasai oleh tokoh-tokoh penganut kapitalisme yang memandang bahwa untuk mencapai keuntungan maksimal , maka penindasan terhadap kuli harus dilakukan atau dengan bahasa ringan” dimaklumi”.
Perlawanan terhadap penindasan ini tercatat dilakukan oleh kuli-kuli kebun. Bentuk-bentuk perlawanan itu seperti melakukan pembunuhan asisten kebun, tidak mau bekerja, tidak memenuhi target dan sebagainya. Pada saat itu biaya hidup di Tanah Deli demikian tinggi. Sementara gaji yang diterima kuli sangat rendah. Kuli hanya digaji 33 sen per hari,kuli perempuan hanya 25 sen per hari dengan masa kerja 10 jam tidak peduli cuaca panas atau hujan.
Perjanjian kerja yang menguntungkan pemilik kebun membuat mereka dapat melakukan apa saja. Kuli-kuli itu diwajibkan melakukan apa saja yang diperintahkan pemilik kebun, jika tidak maka hukuman berat sudah menanti. Kebodohan kuli dimanfaatkan pemilik kebun waktu penandatangan perjanjian kerja. Kuli yang tidak mengerti sama sekali isi perjanjian dibujuk untuk menandatangai kontrak kerja. Dari sini bisa dilihat bahwa faktor kebodohan juga merupakan salah satu penyebab terjadinya perbudakan di Tanah Deli. Sementara itu pihak kolonial selain dengan pendekatan kekerasan, juga melakukan penjinakan dengan mendekati penguasa lokal. Pemilik kebun juga menjinakkan buruh dengan melegalkan perjudian dan pelacuran. Selain itu strategi untuk memberi hadiah pada buruh yang dianggap patuh dan rajin juga kadang-kadang diterapkan.

Tidak ada komentar: