Pengikut

Minggu, 26 Februari 2017

Buruh Perkebunan Sawit : Kisah Sedih Dibalik Kemegahan Perkebunan



Kehadiran perkebunan kelapa sawit skala besar di Indonesia telah mendatangkan keuntungan besar bagi negara. Ketua GAPKI, Joko Supriyono, menyatakan bahwa pada tahun 2014 devisa negara yang dihasilkan dari sawit mencapai USD 21 miliar1. Luas perkebunan kepala sawit di Indonesia saat ini sudah mencapai 14,3 juta hektar dengan 30 % diantaranya dimiliki petani, pertumbuhan luas perkebunan kelapa sawit ini sangat tinggi bila dibandingkan pada tahun 1980 dimana luas perkebunan kepala sawit hanya 294.560 hektar. Pertumbuhan perkebunan sawit  ini tidak terlepas dari kebijakan ekspor non migas awal tahun 1980-an dimana pemerintah saat itu mendorong ekspor komoditas non migas termasuk kelapa sawit. Pemerintah ketika itu melakukan percepatan pengusahaan sawit dengan pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat) secara simultan di 12 provinsi terutama di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Proyek in didanai oleh Bank Dunia melalui program Nucleus Estate Smallholder (NES). Dana untuk mendorong pembangunan perkebunan sawit di daerah pedalaman disalurkan Bank Dunia melalui BRI.

 

Luas perkebunan kepala sawit di Indonesia saat ini sudah mencapai 14,5 juta hektar dengan 30 % diantaranya dimiliki petani. Rata-rata produksi CPO sebesar 28 juta ton/tahun, sebesar 80 % di ekspor dan sisanya sebesar 20 % dialokasikan bagi pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Kehadiran perkebunan sawit menghadirkan ketimpangan kepemilikan, konflik tanah, eksploitasi buruh dan kerusakan ekosistem. Dampak langsung dari kehadiran perkebunan sawit adalah munculnya kesempatan kerja. Penyerapan tenaga kerja pada sektor perkebunan dan industri sawit menghasilkan angka yang cukup besar dibandingkan dengan industri lainnya. Diluar itu, terdapat  kelompok masyarakat yang  langsung maupun tidak langsung tergantung pada perkebunan kelapa sawit. Menurut KADIN, perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah menyerap 21 juta orang tenaga kerja baik yang bekerja secara langsung maupun tidak langsung2.

Terdapat dua hal penting terkait keberadaan perkebunan sawit. Pertama, bagaimana marginalisasi petani karena mereka menjadi petani tak bertanah dan dipaksa untuk menjual tenaga mereka ke perkebunan. Kehadiran perkebunan sawit di Indonesia tidak pernah terlepas dari konflik yang sangat berkaitan dengan perampasan tanah di awal kehadiran perkebunan. Kehadiran investasi di sektor perkebunan sawit yang membutuhkan tanah skala luas yang secara langsung maupun tidak langsung kemudian memicu perubahan kontrol atas tanah. Di sisi lain bagaimana kehadiran investasi itu melakukan kontrol atas buruh dalam rangka maksimalisasi keuntungan.

Kedua, informalisasi hubungan kerja, suatu kondisi dimana jaminan kepastian kerja tidak ada, perikatan kerja yang tidak jelas, perjanjian kerja tidak terdokumentasi, upah murah dan perlindungan negara yang lemah. Besarnya kekuasaan perkebunan, lemahnya pengawasan negara serta kebijakan ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada buruh semakin memposisikan buruh perkebunan tidak berdaya. Buruh di beri upah  kecil tanpa jaminan keamanan kerja (job security) dan berada dalam situasi kerja eksploitatif.

Dari penelitian yang dilakukan Sawit Watch terungkap adanya praktek mirip kerja paksa di perkebunan sawit di Indonesia. Buruh mengalami perlakuan buruk, upah murah, target kerja tinggi, pemberlakuan denda, tekanan dan intimidasi karena mendirikan serikat, ketiadaan alat kerja, dan alat pelindung diri yang layak, minimnya fasilitas air bersih dan kesehatan, penggunaan buruh anak dan penempatan buruh di barak khusus dengan pengawasan ketat3.

Pola Relasi Buruh-Perkebunan : Informalisasi Hubungan Kerja
hubungan kerja dalam wujud kontrak, outsourcing, borongan, buruh tak terdokumentasi, hubungan kerja tanpa perjanjian kerja yang jelas dan tertulis mulai terjadi sejak tahun 1970, saat dimana pemerintah Indonesia membuka ruang sebesar-besarnya untuk investasi asing. Buruh perkebunan yang banyak didatangkan dari Jawa dengan status kontrak, upah murah dan mobilitas terbatas dipaksa melanjutkan kontrak sebab tidak ada akses untuk beralih ke pekerjaan lain atau pulang ke kampung asal karena tidak ada tabungan.

Kini, pola rekrutmen buruh oleh perkebunan mengacu pada skema buruh tanpa jaminan kepastian kerja yang di upah murah. Perusahaan perkebunan mengambil keuntungan dengan cara meminimalisasi buruh tetap hanya untuk level manajemen, sementara  level buruh lapangan  lebih mengoptimalkan buruh tidak permanen.

 

Di perkebunan sawit, buruh tanpa jaminan kepastian ini jumlahnya massif, biasanya berhubungan dengan pekerjaan pemupukan dan penyemprotan dan mayoritas adalah perempuan. Beberapa perkebunan yang teriindikasi menggunakan pola ini seperti PT LNK di Sumatera Utara, PT HMBP, PT SLM dan PT KSI di Kalimantan Tengah, PT HHM dan PT MM di Kalimantan Timur dan PT Ma di Sulawesi Barat. Menurut buruh PT KSI,  dari setiap mandoran yang beranggotakan 20-26 orang, biasanya ada 4-5 orang yang berstatus sebagai BHL. 

Bekerja Dibawah Ancaman Denda Pengurangan Upah

Di Sumatera, upah buruh perkebunan ditentukan berdasarkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara SPSI dengan Badan Kerja Sama Perusahaan Perkebunan Sumatera (BKS-PPS). Perusahaan perkebunan yang bukan anggota BKS-PPS biasanya mengikuti ketentuan ini. Berdasarkan PKB ini juga diatur ketentuan bahwa perusahaan memberi upah berupa uang dan upah dalam bentuk natura. Upah natura ini diberikan dalam bentuk beras dengan ketentuan buruh memperoleh 15 kg, isteri 9 kg dan tiap anak (maksimal 3 orang) masing-masing 7,5 kg setiap bulannya. Namun, besar upah yang diterima buruh perkebunan tersebut  tidak jarang justru berada dibawah UMP.
Upah buruh perkebunan mengacu pada sistem pengupahan buruh manufaktur (industri) yang kemudian dibagi besaran per hari disertai target kerja tertentu. Di perkebunan, pembagian ini dikenal dengan istilah upah hari kerja (HK). Jika buruh telah bekerja lebih dari 7 jam kerja/hari namun belum mencapai target, buruh dikenai sanksi pengurangan upah. Pengupahan disertai ancaman denda ini kemudian membawa konsekuensi lain yakni pelibatan keluarga (terutama isteri) untuk ikut bekerja di ancak dengan harapan target kerja dapat terpenuhi (menghindari denda). Di beberapa perkebunan sawit skala besar di Kalimantan tengah, upah buruh yang tidak memenuhi target kerja berkurang sekitar Rp 20.000-25.000/hari.

Target kerja yang tinggi mengharuskan buruh, terutama pemanen membawa isteri ke ancak (tempat kerja). Istri buruh tidak memiliki status kerja namun terpaksa ikut bekerja di perkebunan demi mencapai target kerja yang sangat sulit dicapai oleh satu orang buruh.  Istri buruh bekerja tanpa mendapat balasan upah atas hasil kerja. Pelibatan isteri untuk ikut bekerja merupakan pemandangan umum yang dapat dilihat di perkebunan sawit di Indonesia.
Di PT SLM Kalimantan Tengah misalnya, target kerja buruh pemanen mencapai 180 janjang dengan catatan 100 janjang merupakan target kerja suami, sementara sisanya merupakan target kerja isteri. Buruh pemanen di perkebunan ini diwajibkan untuk membawa isteri ke ancak tanpa perikatan kerja. Penggunaan buruh tanpa perikatan kerja yang jelas memunculkan persoalan perlindungan tenaga kerja, tidak saja dalam hal perlindungan upah, tetapi juga jaminan kerja, kesehatan dan hak-hak dasar lainnya.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Diluar informalisasi hubungan kerja, perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja buruh perkebunan sawit juga sangat minim. Kecelakaan kerja yang sering menimpa buruh seperti tertimpa janjang (TBS) dan tersayat egrek. Untuk buruh perempuan, terpapar gramoxone, round-up dan terhirup racun pestisida, fungisida dan insektisida merupakan bentuk kecelakaan kerja yang sering dialami. Kecelakaan kerja tersebut berdampak pada resiko cacat anggota tubuh seperti mata buta, kulit melepuh, sesak nafas atau luka tersayat bahkan kematian. Riset yang dilakukan Sawit Watch dan Amnesty International pada 2015 di 2 perkebunan sawit di Kalimantan Tengah, menemukan 3 orang buruh perempuan terkena cairan gramoxone dan glifosat yang mengakibatkan mata rabun dan terancam buta.

“Saya sudah 12 tahun bekerja disini, pekerjaan saya bermacam-macam, kadang disuruh mupuk, dongkel anak sawit, sekarang saya deteksi jamur. Waktu mupuk, target kerja saya itu 3 hektar, pernah saya ngabiskan 25 goni sehari. Saya pindah kerja ke bagian deteksi jamur karena paru-paru saya bolong kena racun.  Gak tahu juga sih kenapa, mungkin kena racun pupuk itu. Memang waktu kerja dikasi masker, baju, sarung tangan, tapi hari-hari kita kan megang pupuk terus. Perusahaan tidak pernah  periksa kesehatan kami”, kata Nur (38 tahun), buruh perempuan perkebunan sawit di kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah.

Di Berau Kalimantan Timur, perkebunan sawit yang dimiliki pengusaha Malaysia hanya menyediakan satu klinik untuk melayani lebih kurang 600 orang buruh. “Kalau sakit, harus ada surat dari kantor. Kalau surat itu tak ada, tak bisa diperiksa sama mantri di klinik”. Kalau sakit biasanya pergi ke klinik lalu dikasih obat tapi setelah ke klinik disuruh kembali kerja tanpa diperbolehkan untuk istirahat. Kalau sakit parah seperti mau mati baru diperbolehkan untuk izin meninggalkan kerja”, kata Mr, buruh perempuan di perkebunan tersebut.

Di salah satu perkebunan sawit di kecamatan Parenggean, Kotawaringin Timur, 3 orang buruh perempuan penyemprot terkena percikan Gramoxone. Po dan Ida, buruh penyemprot di perkebunan tersebut mengaku terkena cairan sewaktu menuang Gramoxone ke Kap (alat semprot). Cairan beracun tersebut mengenai matanya dan akibatnya kedua korban mengalami sakit di bagian mata dan harus dirawat di RS Dr Murjani Sampit. Jos, buruh perempuan penyemprot lainnya mengakui terkena percikan Gramoxone dari Kap di punggungnya. “Waktu dia melewati titi parit gajah, dia terpeleset, jatuh, punggung dan matanya terkena percikan racun itu”, demikian menurut suami korban.

Untuk kasus Ida, perusahaan hanya menyanggupi menanggung pengobatan korban di RS Dr Murjani Sampit. “Perusahaan mau membantu biaya perobatan ke rumah sakit di Surabaya, tapi ongkos kesana, kami yang nanggung, kami gak sanggup”, ujar Ida. Perusahaan kemudian menyarankan korban untuk pensiun dini dengan memberi sejumlah uang. “Kami tak punya biaya untuk perobatan, jadi tawaran dari perusahaan itu kami ambil saja”, ujar suami Ida menambahkan.

Sementara itu, untuk kasus Jos, perusahaan memang merujuk korban ke RS di Banjarmasin, itupun setelah melalui proses yang panjang. Perusahaan kemudian menyarankan korban agar dioperasi di RS di Surabaya, namun sampai saat ini tidak jelas apakah biaya perobatan dan transportasi akan ditanggung perusahaan.

Dari berbagai sumber informasi yang dihimpun, perusahaan baru melaksanakan pemeriksaan kesehatan terhadap buruh pada Januari 2015. Hasil dari pemeriksaan tersebut, menurut buruh tidak pernah disampaikan kepada buruh yang bersangkutan. “Untuk apa kami diperiksa, kalau hasilnya tak diberikan kepada kami. Alat pelindung diri yang dikasi perusahaan rasanya tidak layak”, ujar salah seorang mandor di perusahaan tersebut.

Isu buruh perkebunan sawit sepertinya belum menjadi hal penting dalam pemantauan rantai pasok industri sawit. NGO, aktivis maupun para pihak dalam rantai pasok industri sawit selama ini lebih memprioritaskan isu lingkungan, sementara hal-hal yang berkaitan dengan kemiskinan dan ketidakadilan yang dialami buruh perkebunan cenderung terlupakan. Faktanya, kampanye orang utan, harimau, gajah, dan hewan lainnya lebih mengemuka dari pada kampanye terhadap kemiskinan yang dialami buruh perkebunan sawit itu sendiri.

Tentu saja, pemerintah Indonesia perlu menata sistem perburuhan yang menempatkan buruh sebagai subjek yang hidup layak.  Pemerintah selaku regulator perlu menyusun prinsip kerja layak, sistem monitoring dan evaluasinya yang melibatkan serikat buruh, NGO dan perkebunan sawit sendiri. Disisi lain, konsumen dan negara pengimpor sawit harus memastikan penolakannya terhadap sawit yang diproduksi oleh buruh dalam hubungan kerja eksploitatif.


3 Investigasi Sawit Watch  selama 2014-2015 di beberapa perkebunan sawit di Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat.

Tidak ada komentar: