Pengikut

Sabtu, 06 Juli 2013

Penyusunan Anggaran Kesehatan Minus Partisipasi Rakyat

Dalam 10 tahun terakhir, peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tidak pernah mengalami peningkatan yang signifikan. Berdasarkan peringkat yang ditetapkan UNDP tersebut, peringkat Indonesia tidal pernah diatas urutan 102. Bahkan di tahun 2011,peringkat  IPM Indonesia berada pada urutan 124 dari 187 negara, menurun bila dibanding peringkat 108 pada tahun 2010. Sesuai dengan peringkat ini, UNDP menempatkan Indonesia dalam katagori Medium Human Development (kelompok negara berperingkat pembangunan manusianya sedang). Kondisi ini tentu saja jauh dari harapan reformasi 1998 dimana ekspetasi tinggi rakyat Indonesia akan perbaikan kehidupan. Pasca reformasi perkembangan pembangunan Indonesia tidak mengalami peningkatan berarti.
Pasca reformasi, pergantian pemegang kekuasaan sudah terjadi beberapa kali, namun tetap saja tidak membawa angin perubahan. Penurunan peringkat menjadi urutan ke-124 ini menurut Koalisi Perempuan Indonesia menunjukkan bahwa pembangunan manusia di Indonesia mengalami perlambatan dibandingkan negara-negara lain. Derajat kesejahteraan masyarakat Indonesia mengalami penurunan secara drastis, hal ini ditunjukkan dari usia harapan hidup.  IPM tahun 2010, menunjukkan usia harapan hidup masyarakat Indonesia adalah 71,5 tahun, sedangkan IPM tahun 2011 menunjukkan usia harapan hidup masyarakat Indonesia menurun menjadi 69,4 tahun.
Diluar itu Global Hunger Index (GHI) menunjukkan posisi Indonesia berada pada situasi kelaparan dan gizi buruk yang mengkhawatirkan. Dari catatan Kemenkes masih terdapat 4,1 juta balita yang menderita gizi buruk dan kurang gizi. Di ASEAN, angka kematian bayi di Indonesia mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup. Angka  ini hampir 5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan Malaysia atau 2 kali lipat dibandingkan Thailand dan 1,3 kali lipat dibandingkan Philipina. Kasus kematian bayi terjadi pada keluarga miskin yang sebagian besar disebabkan tidak dimilikinya akses kesehatan, kurangnya pengetahuan dan ketiadaan biaya.
Minimnya akses kesehatan dan ketiadaan biaya menjadi suatu hal ironis mengingat APBN Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Peningkatan APBN tidak diimbangi dengan peningkatan alokasi anggaran untuk kesehatan. Minimnya anggaran yang diperuntukkan bagi sektor kesehatan, dapat dipandang sebagai wujud dari rendahnya apresiasi negara terhadap pembangunan manusia Indonesia. Pelanggaran pemerintah dengan tidak memenuhi 5% anggaran kesehatan dapat dikatakan menjadi salah satu sebab Indeks Pembangunan Manusia Indonesia mengalami kemerosotan. Sekedar catatan, Indeks Pembangunan Manusia menggunakan pendidikan dan kesehatan sebagai salah satu indikator.
Alokasi APBN untuk kesehatan justru masih dibawah besarnya alokasi untuk membayar utang yang mencapai 10 %. Alokasi anggaran kesehatan yang rata-rata hanya sekitar 3 % sangat minim bila dibandingkan dengan standar Badan Kesehatan Dunia yang menetapkan anggaran kesehatan minimal 5 % dari Pendapatan Domestik Bruto.
Dari alokasi anggaran kesehatan dalam APBN 6 tahun terakhir, dapat dilihat bahwa pemerintah belum menempatkan kesehatan sebagai prioritas. Jika dilihat dari alokasi anggaran, sejak APBN 2001 sampai tahun 2010 anggaran kesehatan masih berputar pada angka 2,5 % dari total APBN, bahkan dalam kurun waktu 6 tahun terakhir tidak ada peningkatan berarti. Padahal APBN telah meningkat tajam dari Rp 226 triliun di tahun 2005 menjadi 1.126 triliun di tahun 2010.
Rendahnya alokasi anggaran untuk kesehatan ini sangat kontradiktif dengan alokasi anggaran untuk bidang lain. Kecendrungan beberapa tahun terakhir, 60 % ang­garan dialokasikan untuk belanja pegawai, 20 % untuk membayar cicilan utang dan 20 % sisanya untuk pembangunan. Sisa 20 % itulah yang diperuntukkan untuk pendidikan, kesehatan maupun infrastruktur.
            Kondisi ini tidak saja terjadi ditingkat pusat (APBN), kondisi yang sama juga terjadi di daerah (APBD).  APBD yang dikelola pemerintah daerah lebih banyak dialokasikan untuk kebutuhan rutin birokrasi, alih-alih untuk kepentingan masyarakat. Struktur APBD di berbagai daerah misalnya, masih didominasi oleh belanja rutin pegawai yang persentasenya mencapai 70 %.  Dalam konteks kesehatan, beberapa pemerintah daerah malah memiliki utang ke rumah sakit terkait dengan anggaran kesehatan untuk masyarakat miskin. Sebagai contoh Pemprov Sumut yang memiliki utang Rp 21,2 miliar ke RS provider Jamkesda untuk tahun 2012 dan Pemko Medan yang menunggak utang hingga Rp20 miliar  kepada rumah sakit provider JPKMS untuk tahun 2011.
            Menjadi pertanyaan besar mengapa alokasi anggaran untuk kesehatan dalam APBN atau APBD tidak pernah meningkat, bahkan jauh dari harapan masyarakat. Sejatinya proses demokrasi akan bermuara pada terakomodirnya kebutuhan rakyat banyak. Proses politik kemudian melahirkan kebijakan berikut dengan anggarannya. Pada prinsipnya anggaran uang rakyat yang pengalokasiannya harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Prinsip ini yang seharusnya muncul dan terepresentasi dalam penyusunan dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja mulai dari pusat sampai kabupaten/kota. Namun yang adalah sebagian besar APBN dan APBD justru lebih banyak mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan birokrasi daripada kebutuhan rakyat.
            Berdasarkan kajian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) terhadap APBD 2011 di 526 kabupaten/kota diIndonesia, terdapat 124 kabupaten/kota diantaranya terancam bangkrut. Ini disebabkan karena  dalam APBD 2011, anggaran lebih banyak ditujukan untuk belanja pegawai yang mencapai di atas 60 persen dari total APBD. Jelas hal ini menunjukkan APBD lebih banyak mengakomodasi dan melayani kebutuhan perut birokrasi, daripada masyarakat. Kondisi ini sebenarnya tidak hanya terjadi pada APBD 2011, tapi juga pada APBD-APBD sebelumnya. Artinya, praktek politik anggaran daerah ini sudah berlangsung puluhan tahun. Praktik ini yang kemudian menjadikan persoalan-persoalan krusial yang terkait dengan rakyat seperti kemiskinan, pengangguran, pelayanan publik, kesehatan dan pendidikan  menjadi terabaikan.
                Kritik lain dalam anggaran kesehatan di Indonesia adalah masih banyak program yang bersifat pemborosan, karena sebagian besar anggaran program yang dijalankan habis untuk urusan bersifat teknis aparatur seperti koordinasi dan konsolidasi antar instansi, sosialisasi, monitoring, evaluasi dan bimbingan teknis. Dalam konteks operasionalisasi program memang diperlukan konsolidasi, koordinasi, evaluasi maupun monitoring, namun menjadi tidak wajar bila anggaran untuk urusan teknis lebih besar dibanding dengan anggaran untuk program itu sendiri.
            Persoalan minimnya alokasi anggaran kesehatan dan berbagai pemborosan, sebenarnya terletak pada politik anggaran Indonesia yang masih berwatak oligarki dan meniadakan  kedaulatan rakyat atas anggaran. Disadari atau tidak, dominasi dan hegemoni partai politik dalam lingkar kekuasaan selama ini telah membuat kebijakan anggaran seolah menjadi hak mutlak partai politik melalui anggota-anggotanya yang duduk di kekuasaan (legislatif dan eksekutif), seolah tidak ada sangkut pautnya dengan nasib dan masa depan rakyat. Oligarki politik anggaran ini semakin kuat ketika partai politik yang berkuasa lebih memilih membangun koalisi kepentingan (transaksional bisnis) dengan kroni-kroninya daripada memperjuangkan konstituennya. Wajar jika kemudian kebijakan anggaran yang dihasilkan hanya memihak pada kepentingan segelintir orang, jauh dari aspirasi dan kebutuhan riil rakyat.
Kasus penyusunan anggaran kesehatan misalnya sangat jauh dari proses partisipasi rakyat. Untuk itu sudah selayaknya penyusunan anggaran menerapkan model penyusunan anggaran yang partisipatif dimana rakyat sebagai penerima kebijakan dikutsertakan dalam proses pembahasan anggaran. Keikutsertaan rakyat dalam penyusunan ini tidak diartikan hanya sebatas prosedur semata atau hanya sebagai forum melegitimasi kebijakan anggaran.
Melalui model ini, ruang untuk partisipasi rakyat untuk mengalokasikan porsi anggaran yang berhubungan dengan perbaikan kehidupannya diperluas. Tidak cukup hanya partisipasi dalam perumusan tapi juga ruang untuk menilai pelaksanaan dari kebijakan tersebut (audit sosial). Pemerintah harus menyadari bahwa pengalokasian anggaran merupakan bagian dari cara pemerintah untuk mendistribusikan uang rakyat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat itu sendiri.

Tidak ada komentar: