Pengikut

Senin, 15 Oktober 2012

Penetapan Upah Buruh Perkebunan Suatu Catatan Ketiadaan Peran Negara


Menjelang pergantian tahun, kontroversi penetapan besarnya upah minimum selalu menjadi fenomena rutin di berbagai daerah. Ironisnya, penetapan upah yang telah dilaksanakan melalui rangkaian proses panjang itu hampir pasti menimbulkan ketidakpuasan di salah satu pihak terutama buruh. Sistem pengupahan ditetapkan berpatokan pada kebutuhan hidup “layak” dari survei harga sejumlah kebutuhan pokok sampai pengusulan angka kebutuhan hidup layak (KHL) yang dilakukan oleh Dewan Pengupahan Daerah (Depeda) yang kemudian ditetapkan oleh Gubernur.
Meskipun telah melalui tahap demi tahap, penetapan upah minimun selalu ramai diprotes oleh aktivis gerakan buruh di berbagai daerah. Pemerintah selalu berkilah berada dalam posisi yang sulit, dilematis, dan terjepit dalam  menentukan sikap mengatasi masalah ketenagakerjaan. Pemerintah lebih  mendahulukan kepentingan pemodal (investasi) dengan alasan demi kepentingan mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan mengatasi masalah pengangguran sehingga “memaksa”  kebijakan pengupahan buruh berbasis “sekedar bertahan hidup”.
Sedangkan buruh mendesak agar upah dinaikkan dalam skala yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak karena dalam kenyataannya harga kebutuhan pokok terus membubung tinggi tidak sebanding dengan  kenaikan upah yang diperbaharui setiap tahunnya. Pihak pengusaha pun tidak kalah menggertak. Pengusaha sering mengancam bila upah selalu dinaikkan, PHK tidak akan terhindarkan atau bahkan berancang- ancang akan merelokasi perusahaan ke daerah lain yang upahnya lebih rendah. Bila terjadi rasionalisasi tenaga kerja, jelas akan berimplikasi negatif terhadap kondisi makro perekonomian Indonesia terutama makin bertambahnya angka pengangguran.
Bila besaran upah buruh industri di perkotaan diusulkan oleh Depeda yang kemudian ditetapkan oleh Gubernur, maka di perkebunan besaran upah buruh ditetapkan melalui Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Badan Kerjasama Perusahaan Perkebunan Sumatera (BKSPPS) dengan serikat buruh SPSI sebagai satu-satunya serikat pekerja yang diakui untuk menandatangani PKB tersebut. Tidak berbeda dengan upah buruh industri, realitas pengupahan di perkebunan tetap mengacu pada pradigma pengupahan property private. Dengan pandangan bahwa buruh hanya memiliki tenaga yang kemudian diserahkan melalui proses produksi kepada pemilik modal. Sebagai hasil dari penyerahan tenaga dalam produksi, buruh kemudian menerima upah sesuai dengan tenaga dan waktu yang diberikannya dalam proses produksi.
Upah yang diberikan tetap dalam kerangka “jaring pengaman sosial” dalam bentuk penetapan upah minimum berbasis kebutuhan hidup miniman (KHM) buruh lajang  dan masa kerja kurang dari 1 tahun yang dikonversi dalam bentuk uang (moneterisasi upah) serta komponen natura terdiri atas beras. Penetapan besar kenaikan upah setiap tahunnya tetap mempertimbangkan  kesesuaian dengan  “pertumbuhan ekonomi” dan  kondisi  perusahaan. Hal ini berarti bahwa prinsip utama kenaikan upah buruh tergantung pada “pasar” dan bukan pada prinsip pemenuhan kebutuhan pokok buruh terdiri atas sandang, pangan dan papan sebagaimana sistem pengupahan berbasis kesejahteraan yang pernah diberlakukan pasca kemerdekaan terutama di perusahaan yang berbasis ekplorasi sumber daya alam seperti perusahaan perkebunan.  
Besar upah yang diterima buruh perkebunan tersebut  justru berada dibawah UMP. Pada tahun 2010 misalnya, buruh perkebunan di 3 kabupaten (Asahan, Langkat dan Serdang Bedagai) menerima upah minimum sebesar Rp 1.005.000/bulan. Upah ini sebenarnya lebih besar bila dibandingkan dengan UMP Sumut tahun 2010 sebesar Rp 965.000. Namun besaran upah yang ditetapkan BKSPPS ini justru dibawah UMK yang ditetapkan 3 kabupaten pada tahun tersebut dimana UMK kabupaten  Asahan sebesar Rp 1.014.000, Langkat sebesar Rp 1.050.000 dan UMKS Perkebunan Serdang Bedagai sebesar Rp 1.083.500.
Situasi yang sama berulang pada tahun 2011. Upah minimum yang diterima buruh perkebunan sesuai dengan PKB adalah sebesar Rp 1.090.425/bulan. Ini lebih rendah dari besaran upah yang ditetapkan kabupaten Batubara yang sebesar Rp 1.156.000 atau Deli Serdang sebesar Rp 1.170.000. Perusahaan perkebunan di 2 kabupaten ini hanya mau membayar upah buruh Rp 1.090.425 sesuai dengan PKB BKSPPS-serikat buruh.
Ditinjau dari aspek hukum, jelas bahwa penetapan besaran upah tersebut sudah melanggar UU Ketenagakerjaan. Pasal 91 ayat 1 UU Ketenagakerjaan menyatakan “pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sejatinya penetapan tersebut batal demi hukum, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 91 ayat 2 UU Ketenagakerjaan “dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan”.
Kenyataannya, tidak ada tindakan apapun yang diambil oleh pemerintah daerah yang mewakili peran negara terhadap pelanggaran ini. Justru kemudian, yang diwacanakan adalah mekanisme penetapan tersebut sudah berlangsung demokratis antara perkebunan dengan serikat buruh. Padahal, tidak semua buruh perkebunan menjadi anggota serikat pekerja yang dimaksud, namun keputusan itu diberlakukan untuk seluruh buruh perkebunan.
Sistem penetapan upah sebagaimana praktek di perkebunan telah berlangsung lama dan tanpa pengawasan dari negara (disnaker). Diluar itu, praktek  pengupahan sewenang-wenang juga banyak ditemui di perusahaan perkebunan atau pengupahan dibawah UMP dan UMK.  Praktek pengupahan diperkebunan misalnya sangat diskriminatif tercermin dari kesenjangan pengupahan kepada pihak manajemen dengan pihak buruh perkebunan, pemberian upah dibawah UMP propinsi, pelonggaran jaminan kerja dan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja buruh akibat perubahan organisasi produksi perkebunan yang lebih mengutamakan outsourcing dan buruh harian lepas dari pada buruh tetap (SKU).  Ketiadaan peran negara dalam mengawasi sistem penetapan upah dan praktek pengupahan di perkebunan telah menempatkan perkebunan menjadi pemilik kuasa atas kehidupan buruh dan memiliki kuasa penuh mengeluarkan kebijakan perburuhan.
Walaupun dalam penetapan besaran upah perkebunan tersebut dihasilkan melalui PKB dimana keterlibatan serikat buruh ada didalamnya, namun harus dilihat bahwa keterlibatan SB tidak membantu, malah justru melegitimasikan upah murah yang diterima. Dengan demikian,  upaya demokratisasi proses perumusan dan penetapan  upah masih dalam tataran prosedural semata, belum menyentuh akar persoalan yaitu substansi demokratisasi ekonomi bagi buruh.
Besar upah yang ditetapkan jelas tidak bisa menjamin hidup buruh lebih layak, apalagi untuk mensejahterakan. Dari sisi kebutuhan buruh, diperoleh catatan belanja buruh sebatas pengeluaran rutin belum termasuk pengeluaran seperti  pakaian dan peralatan rumah tangga sudah mencapai Rp. 1.296.700. Sementara upah tertinggi yang mungkin diperoleh buruh kebun yang berstatus buruh tetap (SKU) hanya mencapai Rp. 1.335.000 per bulan. Bandingkan dengan upah yang diterima tingkat manajemen yang memperoleh upah di kisaran 4 juta sampai 20 juta/bulan lengkap dengan  fasilitas perumahan, transportasi serta pelayanan kesehatan yang lebih.
Ketika kebijakan negara memberi keleluasaan terhadap modal dalam bentuk investasi di perkebunan, terjadi apa yang disebut dengan “monoterisasi” upah, dimana catu 11 yang dulu pernah dinikmati buruh dikonversikan dalam bentuk uang sebagai cikal bakal pengupahan berbasis kebutuhan hidup minimal (KHM) yang terstandarisasi dalam bentuk UMP sama pada semua sektor. Khusus di perkebunan, perusahaan tidak lagi diwajibkan memenuhi “perumahan” bagi buruh, yang tersisa saat ini upah dalam bentuk natura hanyalah beras untuk tanggungan 3 orang anak.
            Pengalaman buruk perburuhan jaman kolonial seharusnya menjadi bahan bagi negara untuk memikirkan hukum perburuhan yang memproteksi kepentingan buruh. Tercatat, pasca kemerdekaan, secara konsisten pemerintah pada waktu itu memperjuangkan hubungan kerja majikan-buruh  bersifat kolektif berbasis kesejahteraan. Kebijakan pemerintah waktu itu juga didukung oleh peranan serikat buruh berupa tekanan-tekanan politik kepada pemilik modal sehingga kebijakan-kebijakan perburuhan dan kebijakan perkebunan sangat responsif terhadap kepentingan buruh. Kebijakan perkebunan terkait dengan sistem pengupahan sekitar tahun 1950-an adalah pengupahan yang berbasis kebutuhan sandang, pangan dan papan, dimana selain menerima upah dalam bentuk nominal, buruh perkebunan juga menerima upah dalam bentuk natura yang dikenal dengan  “Catu 11”  dan perumahan.
            Negara seharusnya turun tangan mendelegitimasi kebijakan-kebijakan perkebunan yang mengancam  kelangsungan hidup yang layak bagi buruh. Namun dalam konteks pengupahan di perkebunan, negara memilih tidak berperan atau justru takluk pada kekuatan kapital perkebunan.

*Dimuat Di Harian Medan Bisnis 21 September 2012 

Tidak ada komentar: