Pengikut

Sabtu, 06 Juli 2013

Mengukur Partisipasi Buruh Perkebunan Pada Pileg 2014


“Di perkebunan ini, nasib buruh sungguh mengenaskan sementara manajernya hidup mewah. Tapi yang aneh, mengapa calon legislatif yang notabene merupakan manajer di perkebunan ini bisa meraup banyak suara, padahal ia tidak disukai buruh karena kebijakannya yang memberatkan ?
Pertanyaan tersebut disampaikan seorang peneliti dari Jawa terkait hasil pemilihan umum legislatif tahun 2009 lalu dimana seorang manajer perkebunan swasta nasional di Serdang Bedagai meraup banyak dukungan suara khususnya dari  pemukiman buruh di wilayah perkebunannya. Situasi demikian menarik untuk dicermati menjelang Pileg 2014 nanti. Ini penting dalam rangka memahami bagaimana “keanehan” seperti disebutkan di awal tulisan ini dapat terjadi.
Kelompok buruh  perkebunan di Sumatera Utara umumnya adalah mereka yang didatangkan dari  Jawa di awal masa-masa pembukaan perkebunan. Pada tahun-tahun berakhirnya abad ke 18 , terdapat perubahan dalam kebijakan pemerintah kolonial Belanda di negeri jajahannya. Pemerintah Belanda semakin mengurangi campur tangannya dalam perekonomian negeri jajahannya (Indonesia). Penerapan UU Agraria merupakan salah satu isyarat yang menunjukkan politik ekonomi tersebut dan ini merupakan cikal bakal politik liberalisme ekonomi Belanda. Politik ekonomi demikian menyebabkan terbukanya ruang yang sangat besar bagi swasta untuk berkecimpung di usaha-usaha ekonomi di Hindia Belanda. Konsekuensinya, perkebunan milik swasta semakin meluas terutama di wilayah Sumatera Timur.
Perkebunan memiliki kekuasaan besar yang pada akhirnya mempengaruhi pilihan-pilihan privat buruh. Besarnya kekuasaan perkebunan bisa dilihat dalam bentuk pengaturan ruang. Perusahaan sebisa mungkin menjauhkan buruh  dari  ruang yang memungkinkan mereka membangun identitas kelompok tertindas atau menjauhkan mereka dari akses informasi. Pemukiman pondokan buruh dibangun sedemikian rupa terkonsentrasi ditengah-tengah perkebunan serta berada dalam pengawasan dan kekuasaan mandor. Kondisi ini menngakibatkan buruh terisolir dari segala macam perkembangan-perkembangan di luar perkebunan baik perkembangan sosial, ekonomi maupun budaya.
Itulah sebabnya di kalangan buruh tidak terjadi penguatan identitas. Secara teoritis  rasa tertekan  dan penderitaan yang mereka alami seharusnya menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya penguatan identitas dan sekaligus menyatukan kepentingan mereka. Namun pada kenyataannya, hal demikian tidak terjadi. Situasi yang kontradiktif terjadi akibat  realitas buruh  dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman situasional mereka, seperti  terbatasnya ruang mewacanakan kehidupan mereka, keterbatasan pendidikan, ekonomi serta hukum  kurang melindungi kepentingan mereka.
Buruh juga mendapat pengawasan serba ketat dari perusahaan sebagai konsekuensi besarnya perusahaan yang dimiliki perusahaan. Penggunaan pengawasan  untuk mengontrol buruh yang sebetulnya sudah dalam posisi yang lemah membatasi ruang gerak buruh. Pengawasan buruh ini dilakukan oleh asisten, mandor, centeng, serikat buruh kuning dan Papam. Pengawasan yang dilakukan manajemen perkebunan tidak hanya pada saat proses kerja, melainkan dilakukan pada keseluruhan hidup buruh yakni kerja, relasi sosial, mobilitas, dan pengetahuan. Sistem pengawasan di perkebunan ini tidak hanya dilakukan secara internal melalui kebijakan target kerja, cara kerja dan sanksi kerja. Pengawasan secara eksternal (terhadap relasi dan mobilitas buruh ) juga dilakukan dengan melibatkan perangkat keamanan perkebunan.
            Penataan pemukiman dan pembangunan pemukiman buruh  merupakan bagian sistem pengawasan. Pola  pemukiman buruh terkonsentrasi dan berada ditengah-tengah lokasi perkebunan relatif terisolasi jauh dari pemukiman penduduk. Pemukiman petinggi perkebunan  berada paling depan atau jalan masuk perkebunan. Di pondok (pemukiman buruh) pengawasan juga dilakukan dengan menempatkan mandor tinggal di pemukiman tersebut.
Relasi tidak seimbang antara buruh perkebunan dengan manajemen perkebunan bersumber dari relasi kekuasaan yang timpang antara buruh dan perkebunan. Buruh sebagai kelas masyarakat yang tidak memiliki modal produksi (kecuali tenaga) sangat tergantung pada keberadaan perkebunan. Besarnya kekuasaan yang demikian menyebabkan posisi buruh perkebunan semakin terpinggirkan. Mereka adalah kelompok masyarakat yang bungkam, tidak bersuara, pasrah pada keadaan. Keluh kesah, penderitaan mereka tenggelam oleh cerita keberhasilan perkebunan, perluasan areal perkebunan dan untung besar perkebunan. Berbagai aturan kerja, hukuman dan  sanksi diproduksi demi peningkatan produktivitas kerja. Bila ada buruh yang mengkritik dan melawan ia akan menerima hukuman pencabutan hak sebagai  buruh tetap (SKU),  potongan upah dan tunjangan, dimusuhi, diasingkan dari pergaulan sosial dan sebagainya.
            Pemilu bagi buruh perkebunan tidak dapat dimaknai sebagai momentum awal perbaikan nasib. Ekspetasi buruh pasca reformasi 1998 ternyata kontradiktif dengan realitas yang dihadapi. Munculnya UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dipandang buruh justru jauh dari harapan. Dalam kontek pengupahan misalnya, kepala daerah (bupati atau gubernur) justru tidak berdaya dihadapan BKSPPS yang sering menetapkan upah dibawah UMK/UMP). 
Buruh perkebunan sawit sangat berbeda dengan buruh di lingkungan industri di perkotaan yang relatif terbuka akses pada informasi dan mobilitas sosial baik horizontal maupun vertikal. Buruh di perkebunan sawit menghadapi banyak keterbatasan. Buruh perkebunan adalah kelompok yang mempunyai status terendah dalam masyarakat perkebunan yang memiliki keterbatasan ruang gerak karena faktor keberadaan kebun sawit relatif terisolasi dan pengawasan yang dilakukan perkebunan.
Selain itu keseluruhan praktek kerja mereka berbasis pada penghisapan.  Mulai dari  rekruitmen warisan,  praktek outsourcing,  pemberlakuan sanksi kerja dikonversikan dengan pengurangan upah,  kriminalisasi, mutasi dan  PHK bagi buruh yang kritis terhadap perusahaan  sampai penggunaan manajemen kekerasan dalam bentuk pengerahan aparat keamanan termasuk premanisme lokal  secara berlapis untuk mengendalikan buruh demi maksimalisasi keuntungan perusahaan.  
Akibat upah yang rendah, kaum buruh mesti bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga kelompok ini mesti rela kehilangan kesempatan untuk terlibat langsung di dalam kegiatan-kegiatan berorganisasi. Kebanyakan buruh lebih memilih menggunakan waktu luang mencari  kerja tambahan di luar perkebunan, misalnya bertukang membangun rumah. Akhirnya buruh hanya tertarik berbicara bila itu menyangkut kepentingan-kepentingan jangka pendek seperti pesangon, status kerja, bonus dan sebagainya.
Bicara partisipasi politik buruh adalah bicara bagaimana buruh  kebun mengartikulasikan  kepentingan buruh  dalam konteks pemilu. Dalam konteks pemilihan umum 2014, gejala di lapangan memperlihatkan bahwa buruh perkebunan masih memandang sebelah mata.   Pada Pilgubsu Maret lalu sebagai contoh, banyak buruh perkebunan tidak berharap banyak bahwa hasil pilgubsu akan membawa perubahan nasib mereka. Namun situasi demikian tidak serta merta dapat dikatakan bahwa tingkat partisipasi buruh akan rendah.
Sikap demikian tidak terlepas dari pengalaman dan situasi sosial dimana mereka hidup.  Para petinggi perkebunan  terutama pemilik dan administrator perkebunan merupakan aktor yang sering terlibat dalam partai atau   menjadi caleg dari salah satu partai politik. Perilaku para petinggi perkebunan sawit yang ikut berpolitik praktis itu kerap menggunakan kedudukannya untuk memaksa buruh memilih diri atau parpol yang mendukung atau didukungnya sebagaimana yang terjadi pada pemilu legislatif 2009 lalu. Dikhawatirkan, petinggi perkebunan juga akan memaksa buruh untuk memilih kandidat yang diyakini bisa menjamin kepentingan perkebunan.
Pendekatan kekuasaan  sengaja digunakan untuk  mendapatkan suara dari buruh. Misalnya saja cara melarang berdirinya bendera atau baliho dari kandidat lain diluar kandidat  yang didukung para petinggi perkebunan. Demikian pula nasib buruh yang masuk atau ikut terlibat sebagai tim sukses kandidat lain, biasanya langsung diintimidasi dengan mutasi kerja. Pendekatan lain yang digunakan elit perkebunan sawit biasanya menggiring buruh memilih kandidat yang memiliki “gizi” tak terbatas. Tujuannya selain mendapatkan uang dari kandidat, kelak apabila terpilih, maka kepentingan politik si elit perkebunan tadi akan diakomodir oleh kandidat terpilih. Sering kali buruh mengidentifikasi  kandidat bukan atas dasar sumbangan terhadap perbaikan kehidupan mereka, tetapi dilihat dari seberapa banyak sumbangan atau pemberian kandidat tersebut dalam kegiatan-kegiatan buruh.
Demikian juga karena keterbatasan informasi yang diterima oleh buruh perkebunan. Hampir dipastikan bahwa hanya kandidat-kandidat tertentu yang dekat dengan elite perkebunan yang bisa masuk  ke daerah perkebunan. Sungguhpun demikian sering terjadi bahwa perkebunan membatasi partai-partai politik dalam sosialisasi dan kampanye karena dianggap bisa menganggu proses kerja. Dalam konteks pemilihan legislatif, sangat sedikit kaum buruh mengetahui  track record kandidat yang akan bertarung. Oleh karena  tidak ada kandidat yang diketahui dan dipercaya maka hubungan kesukuan, agama dan daerah dipakai sebagai ukuran buruh menentukan pilihan politiknya.  
Hal lain, sebagaimana gejala umum kekecewaan masyarakat terhadap hasil pemilu, di kalangan buruh perkebunan juga terjadai hal yang sama. Keengganan wakil rakyat hasil pemilu sebelumnya dalam mendukung perjuangan memenuhi hak-hak normatif buruh perkebunan selama ini menjadi dasar penilaian buruh yang sangat menentukan partisipasi politiknya dalam Pileg 2014. Bila partisipasi buruh perkebunan dalam Pileg 2014 mendatang tinggi, tidak serta merta dapat dikatakan bahwa itu merupakan buah dari kesadaran politik. Mobilisasi dukungan kepada kandidat tertentu dengan ancaman mutasi atau PHK sebagaimana kecendrungan yang terjadi pada pemilu legislatif lalu setidaknya dapat dipandang sebagai faktor penyebab utama.

Penyusunan Anggaran Kesehatan Minus Partisipasi Rakyat

Dalam 10 tahun terakhir, peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tidak pernah mengalami peningkatan yang signifikan. Berdasarkan peringkat yang ditetapkan UNDP tersebut, peringkat Indonesia tidal pernah diatas urutan 102. Bahkan di tahun 2011,peringkat  IPM Indonesia berada pada urutan 124 dari 187 negara, menurun bila dibanding peringkat 108 pada tahun 2010. Sesuai dengan peringkat ini, UNDP menempatkan Indonesia dalam katagori Medium Human Development (kelompok negara berperingkat pembangunan manusianya sedang). Kondisi ini tentu saja jauh dari harapan reformasi 1998 dimana ekspetasi tinggi rakyat Indonesia akan perbaikan kehidupan. Pasca reformasi perkembangan pembangunan Indonesia tidak mengalami peningkatan berarti.
Pasca reformasi, pergantian pemegang kekuasaan sudah terjadi beberapa kali, namun tetap saja tidak membawa angin perubahan. Penurunan peringkat menjadi urutan ke-124 ini menurut Koalisi Perempuan Indonesia menunjukkan bahwa pembangunan manusia di Indonesia mengalami perlambatan dibandingkan negara-negara lain. Derajat kesejahteraan masyarakat Indonesia mengalami penurunan secara drastis, hal ini ditunjukkan dari usia harapan hidup.  IPM tahun 2010, menunjukkan usia harapan hidup masyarakat Indonesia adalah 71,5 tahun, sedangkan IPM tahun 2011 menunjukkan usia harapan hidup masyarakat Indonesia menurun menjadi 69,4 tahun.
Diluar itu Global Hunger Index (GHI) menunjukkan posisi Indonesia berada pada situasi kelaparan dan gizi buruk yang mengkhawatirkan. Dari catatan Kemenkes masih terdapat 4,1 juta balita yang menderita gizi buruk dan kurang gizi. Di ASEAN, angka kematian bayi di Indonesia mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup. Angka  ini hampir 5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan Malaysia atau 2 kali lipat dibandingkan Thailand dan 1,3 kali lipat dibandingkan Philipina. Kasus kematian bayi terjadi pada keluarga miskin yang sebagian besar disebabkan tidak dimilikinya akses kesehatan, kurangnya pengetahuan dan ketiadaan biaya.
Minimnya akses kesehatan dan ketiadaan biaya menjadi suatu hal ironis mengingat APBN Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Peningkatan APBN tidak diimbangi dengan peningkatan alokasi anggaran untuk kesehatan. Minimnya anggaran yang diperuntukkan bagi sektor kesehatan, dapat dipandang sebagai wujud dari rendahnya apresiasi negara terhadap pembangunan manusia Indonesia. Pelanggaran pemerintah dengan tidak memenuhi 5% anggaran kesehatan dapat dikatakan menjadi salah satu sebab Indeks Pembangunan Manusia Indonesia mengalami kemerosotan. Sekedar catatan, Indeks Pembangunan Manusia menggunakan pendidikan dan kesehatan sebagai salah satu indikator.
Alokasi APBN untuk kesehatan justru masih dibawah besarnya alokasi untuk membayar utang yang mencapai 10 %. Alokasi anggaran kesehatan yang rata-rata hanya sekitar 3 % sangat minim bila dibandingkan dengan standar Badan Kesehatan Dunia yang menetapkan anggaran kesehatan minimal 5 % dari Pendapatan Domestik Bruto.
Dari alokasi anggaran kesehatan dalam APBN 6 tahun terakhir, dapat dilihat bahwa pemerintah belum menempatkan kesehatan sebagai prioritas. Jika dilihat dari alokasi anggaran, sejak APBN 2001 sampai tahun 2010 anggaran kesehatan masih berputar pada angka 2,5 % dari total APBN, bahkan dalam kurun waktu 6 tahun terakhir tidak ada peningkatan berarti. Padahal APBN telah meningkat tajam dari Rp 226 triliun di tahun 2005 menjadi 1.126 triliun di tahun 2010.
Rendahnya alokasi anggaran untuk kesehatan ini sangat kontradiktif dengan alokasi anggaran untuk bidang lain. Kecendrungan beberapa tahun terakhir, 60 % ang­garan dialokasikan untuk belanja pegawai, 20 % untuk membayar cicilan utang dan 20 % sisanya untuk pembangunan. Sisa 20 % itulah yang diperuntukkan untuk pendidikan, kesehatan maupun infrastruktur.
            Kondisi ini tidak saja terjadi ditingkat pusat (APBN), kondisi yang sama juga terjadi di daerah (APBD).  APBD yang dikelola pemerintah daerah lebih banyak dialokasikan untuk kebutuhan rutin birokrasi, alih-alih untuk kepentingan masyarakat. Struktur APBD di berbagai daerah misalnya, masih didominasi oleh belanja rutin pegawai yang persentasenya mencapai 70 %.  Dalam konteks kesehatan, beberapa pemerintah daerah malah memiliki utang ke rumah sakit terkait dengan anggaran kesehatan untuk masyarakat miskin. Sebagai contoh Pemprov Sumut yang memiliki utang Rp 21,2 miliar ke RS provider Jamkesda untuk tahun 2012 dan Pemko Medan yang menunggak utang hingga Rp20 miliar  kepada rumah sakit provider JPKMS untuk tahun 2011.
            Menjadi pertanyaan besar mengapa alokasi anggaran untuk kesehatan dalam APBN atau APBD tidak pernah meningkat, bahkan jauh dari harapan masyarakat. Sejatinya proses demokrasi akan bermuara pada terakomodirnya kebutuhan rakyat banyak. Proses politik kemudian melahirkan kebijakan berikut dengan anggarannya. Pada prinsipnya anggaran uang rakyat yang pengalokasiannya harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Prinsip ini yang seharusnya muncul dan terepresentasi dalam penyusunan dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja mulai dari pusat sampai kabupaten/kota. Namun yang adalah sebagian besar APBN dan APBD justru lebih banyak mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan birokrasi daripada kebutuhan rakyat.
            Berdasarkan kajian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) terhadap APBD 2011 di 526 kabupaten/kota diIndonesia, terdapat 124 kabupaten/kota diantaranya terancam bangkrut. Ini disebabkan karena  dalam APBD 2011, anggaran lebih banyak ditujukan untuk belanja pegawai yang mencapai di atas 60 persen dari total APBD. Jelas hal ini menunjukkan APBD lebih banyak mengakomodasi dan melayani kebutuhan perut birokrasi, daripada masyarakat. Kondisi ini sebenarnya tidak hanya terjadi pada APBD 2011, tapi juga pada APBD-APBD sebelumnya. Artinya, praktek politik anggaran daerah ini sudah berlangsung puluhan tahun. Praktik ini yang kemudian menjadikan persoalan-persoalan krusial yang terkait dengan rakyat seperti kemiskinan, pengangguran, pelayanan publik, kesehatan dan pendidikan  menjadi terabaikan.
                Kritik lain dalam anggaran kesehatan di Indonesia adalah masih banyak program yang bersifat pemborosan, karena sebagian besar anggaran program yang dijalankan habis untuk urusan bersifat teknis aparatur seperti koordinasi dan konsolidasi antar instansi, sosialisasi, monitoring, evaluasi dan bimbingan teknis. Dalam konteks operasionalisasi program memang diperlukan konsolidasi, koordinasi, evaluasi maupun monitoring, namun menjadi tidak wajar bila anggaran untuk urusan teknis lebih besar dibanding dengan anggaran untuk program itu sendiri.
            Persoalan minimnya alokasi anggaran kesehatan dan berbagai pemborosan, sebenarnya terletak pada politik anggaran Indonesia yang masih berwatak oligarki dan meniadakan  kedaulatan rakyat atas anggaran. Disadari atau tidak, dominasi dan hegemoni partai politik dalam lingkar kekuasaan selama ini telah membuat kebijakan anggaran seolah menjadi hak mutlak partai politik melalui anggota-anggotanya yang duduk di kekuasaan (legislatif dan eksekutif), seolah tidak ada sangkut pautnya dengan nasib dan masa depan rakyat. Oligarki politik anggaran ini semakin kuat ketika partai politik yang berkuasa lebih memilih membangun koalisi kepentingan (transaksional bisnis) dengan kroni-kroninya daripada memperjuangkan konstituennya. Wajar jika kemudian kebijakan anggaran yang dihasilkan hanya memihak pada kepentingan segelintir orang, jauh dari aspirasi dan kebutuhan riil rakyat.
Kasus penyusunan anggaran kesehatan misalnya sangat jauh dari proses partisipasi rakyat. Untuk itu sudah selayaknya penyusunan anggaran menerapkan model penyusunan anggaran yang partisipatif dimana rakyat sebagai penerima kebijakan dikutsertakan dalam proses pembahasan anggaran. Keikutsertaan rakyat dalam penyusunan ini tidak diartikan hanya sebatas prosedur semata atau hanya sebagai forum melegitimasi kebijakan anggaran.
Melalui model ini, ruang untuk partisipasi rakyat untuk mengalokasikan porsi anggaran yang berhubungan dengan perbaikan kehidupannya diperluas. Tidak cukup hanya partisipasi dalam perumusan tapi juga ruang untuk menilai pelaksanaan dari kebijakan tersebut (audit sosial). Pemerintah harus menyadari bahwa pengalokasian anggaran merupakan bagian dari cara pemerintah untuk mendistribusikan uang rakyat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat itu sendiri.