Pengikut

Minggu, 26 Februari 2017

Problematika Buruh Perkebunan Sawit Di Indonesia



Kehadiran perkebunan kelapa sawit skala besar di Indonesia telah mendatangkan keuntungan besar bagi negara. Data Kementerian Perdagangan Republik Indonesia 2012, menunjukkan bahwa industri kelapa sawit adalah penyumbang devisa kedua terbesar setelah sektor minyak dan gas. Devisa negara yang dihasilkan adalah sebesar USD 21 miliar atau sekitar Rp 205 triliun. Penghasilan devisa tersebut setara dengan 13,7 persen dari ekspor non-migas Indonesia, yang besarnya mencapai USD 153 miliar. McKinsey memprediksi Indonesia akan melampaui Jerman dan Inggris pada 2030, dengan pendapatan sebesar USD 1,8 triliun yang disumbang oleh sektor agri bisnis, konsumsi dan perusahaan energi.


Luas perkebunan kepala sawit di Indonesia saat ini sudah mencapai 14,3 juta hektar dengan 30 % diantaranya dimiliki petani, pertumbuhan luas perkebunan kelapa sawit ini sangat tinggi bila dibandingkan pada tahun 1980 dimana luas perkebunan kepala sawit hanya 294.560 hektar. Pertumbuhan perkebunan sawit  ini tidak terlepas dari kebijakan ekspor non migas awal tahun 1980-an dimana pemerintah saat itu mendorong ekspor komoditas non migas termasuk kelapa sawit.

Dampak langsung dari kehadiran perkebunan sawit adalah munculnya kesempatan kerja. Penyerapan tenaga kerja pada sektor perkebunan dan industri sawit menghasilkan angka yang cukup besar dibandingkan dengan industri lainnya. Diluar itu, terdapat  kelompok masyarakat yang  langsung maupun tidak langsung tergantung pada perkebunan kelapa sawit. Menurut KADIN, perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah menyerap 21 juta orang tenaga kerja baik yang bekerja secara langsung maupun tidak langsung. Sawit Watch memprediksi jumlah buruh yang bekerja di perkebunan sawit sudah mencapai 10,4 juta orang dimana 70 % dari buruh tersebut berstatus sebagai buruh harian lepas. Jutaan buruh tersebut bekerja di perkebunan sawit lama di Sumatera dan wilayah perkebunan sawit baru di Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Jumlah buruh perkebunan akan semakin meningkat mengingat pesatnya laju ekspansi sawit terutama di wilayah timur Indonesia.

Konsumsi dunia akan CPO pada tahun 2004 masih 30 juta ton. Konsumsi ini diperkirakan akan mencapai 50 juta ton pada tahun 2030. Sejak tahun 2000 luas perkebunan sawit semakin meningkat. Hal ini dipicu oleh meningkatnya kebutuhan atas sawit, baik sebagai kebutuhan manusia, pakan hewan, hingga bahan bakar (agrofuel) secara global disatu sisi, dan  semakin langkanya minyak fosil disisi lain. Saat ini pemerintah Indonesia sedang sibuk mempromosikan penggunaan bahan bakar bio solar yang bersumber dari minyak sawit. RSPO memperkirakan keperluan pembukaan kebun baru mencapai 4-6 juta hektar untuk sektor minyak nabati dan non-biofuel. Indonesia sendiri telah menargetkan produksi CPO sampai 40 juta ton /tahun pada tahun 2020. Untuk tahun 2015, produksi CPO Indonesia mencapai 33 juta ton.  Dari jumlah itu hanya 10,8 juta ton untuk konsumsi domestik, sisanya diekspor. 

Terdapat dua hal penting terkait ekspansi perkebunan sawit. Pertama, bagaimana marginalisasi petani karena mereka menjadi petani tak bertanah dan dipaksa untuk menjual tenaga mereka ke perkebunan. Kedua, informalisasi tenaga kerja, suatu kondisi dimana buruh bekerja tanpa perikatan kerja yang jelas, dipaksa untuk mengikutsertakan keluarganya terutama isteri dan anak-anaknya harus bekerja untuk mengejar target kerja, tetapi tenaga yang mereka keluarkan tidak dibayar oleh perusahaan.

Dari penelitian yang dilakukan Sawit Watch terungkap adanya praktek mirip kerja paksa di perkebunan sawit di Indonesia. Buruh mengalami perlakuan buruk, upah murah, target kerja tinggi, pemberlakuan denda, tekanan dan intimidasi karena mendirikan serikat, ketiadaan alat kerja, dan alat pelindung diri yang layak, minimnya fasilitas air bersih dan kesehatan, penggunaan buruh anak dan penempatan buruh di barak khusus dengan pengawasan ketat.

Kondisi buruh perkebunan sawit semakin diperparah dengan kecenderungan informalisasi hubungan kerja. Informalisasi hubungan kerja disatu sisi memberikan keuntungan yang besar bagi perkebunan namun disisi lain menghilangkan jaminan kepastian kerja bagi buruh. Informalisasi hubungan kerja ini mengecilkan pendapatan buruh karena buruh harus menyediakan sendiri alat kerja dan alat pelindung diri, mengalokasikan sendiri biaya pemeriksaan kesehatan sebagai akibat ketiadaan hubungan kerja formal (perikatan kerja) dengan perkebunan. Bentuk-bentuk informalisasi hubungan kerja ini dapat dilihat dari penggunaan buruh harian lepas, buruh kontrak, buruh borongan maupun pelibatan anak dan isteri untuk bekerja.

Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh buruh kategori ini sama dengan buruh permanen, namun sistem kerja dan pengupahannya berbeda. Buruh kategori ini tidak memiliki dokumentasi perikatan kerja dan kepastian peningkataan status. Selain itu, upah yang diterima ditetapkan berdasarkan pencapaian target kerja dan tanpa perlindungan jaminan kesehatan (BPJS).

Informalisasi hubungan kerja yang ditandai dengan massifnya BHL, buruh borongan, buruh kontrak, perikatan kerja yang tak jelas, buruh tak terdokumentasi merupakan pelanggaran atas jaminan kepastian kerja. Informalisasi buruh memunculkan persoalan perlindungan buruh, tidak saja dalam hal perlindungan upah, tetapi juga jaminan kerja, kesehatan dan hak-hak normatif lainnya. ILO mendefenisikan buruh-buruh tersebut sebagai pekerja yang tidak dilindungi secara sosial.

Diluar masalah hubungan kerja, perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja buruh perkebunan dirasakan tidak memadai. Penggunaan bahan beracun dan berbahaya dalam proses produksi, lemahnya penegakan hukum dan kurangnya pengawasan, serta minimnya perlindungan terhadap keselamatan kerja berlangsung tanpa ada terobosan yang berarti didalam memperbaiki kondisi kerja bagi buruh. Temuan penting menunjukkan bidang kerja yang paling rentan terhadap resiko kecelakaan  adalah buruh bagian pemanen, bagian penyemprotan hama dan pemupukan.

Bentuk kecelakaan kerja di perkebunan, khususnya perkebunan sawit adalah tertimpa pelepah dan buah bagi buruh pemanen, terkena percikan gramoxone, glifosat dan terhirup racun pestisida, fungisida dan insektisida terutama pekerjaan yang berhubungan dengan penyemprotan dan terkena paparan pupuk bagi buruh pemupuk. Kecelakaan kerja tersebut berdampak pada resiko cacat anggota tubuh seperti mata rabun atau buta bagi penyemprot, iritasi kulit dan luka berat bagi buruh pemanen. Minimnya perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja buruh perkebunan dapat dilihat dari alat pelindung diri yang tidak memenuhi standar, fasilitas kesehatan (poliklinik perkebunan) yang tidak memadai, sarana antar-jemput buruh yang tidak layak dan birokratisnya prosedur pelayanan kesehatan.

Terdapat berbagai prinsip, kesepahaman, panduan terkait dengan peningkatan kondisi buruh perkebunan seperti Kovensi ILO, Prinsip Kriteria Indikator RSPO, Panduan OECD dan UN Global Compact. Namun harus disadari bahwa prinsip tersebut masih dalam konteks kesukarelaan, tanpa ada sanksi legal bagi pelanggaran. Dalam intepretasi nasional Prinsip Kriteria dan Indikator RSPO yang dilaksanakan pada September 2014, hampir tidak ada perubahan yang berarti terkait dengan perbaikan kondisi buruh perkebunan sawit. Perkebunan sawit sebagaimana draf intepretasi nasional tersebut tetap melegalkan penggunaan buruh kontrak dan pengupahan berbasis sistem pengupahan buruh manufaktur. Selain itu, penyediaan perumahan layak, persediaan air, kebutuhan medis, pendidikan  dan fasilitas yang diperlukan buruh dimasukkan dalam indikator minor (dianggap tidak penting).

Pemerintah Indonesia perlu memastikan bagaimana praktek kerja di setiap jenis hubungan kerja berjalan dengan baik. Untuk itu, adanya sistem monitoring dan evaluasi kepatuhan korporasi perkebunan sawit di sektor perburuhan yang melibatkan pemerintah lokal (dinas tenaga kerja) merupakan hal yang sangat penting. Adanya regulasi yang khusus mengatur hubungan kerja korporasi dengan buruh di perkebunan sawit juga menjadi hal yang tak bisa dikesampingkan.

Disisi lain, keberadaan organisasi rakyat yang terkena dampak kehadiran perkebunan sawit merupakan suatu keharusan untuk mengimbangi besarnya kekuasaan perkebunan. Dalam konteks buruh, serikat buruh merupakan elemen sangat penting dalam rangka memperjuangkan kesejahteraan buruh. Bagaimana kemudian kesejahteraan buruh perkebunan sawit tidak lagi menjadi “milik” NGO semata, tetapi menjadi tujuan perjuangan buruh yang dipresentasikan dalam sebuah serikat. 

 *Dimuat di Medan Bisnis 11 April 2015

Tidak ada komentar: