Pengikut

Senin, 15 Oktober 2012

Lumbung Pangan Ditengah Arus Alih Fungsi Lahan Catatan Dari Percut Sei Tuan



Pada 2009 organisasi pangan dunia (FAO) meluncurkan tema kampanye global untuk mengatasi krisis pangan. Pemerintah Indonesia merespons kampanye tersebut dengan menyatakan kesiapan mendukung pemenuhan pangan dunia. Indonesia menyatakan siap menjadi lumbung pangan dunia.
Namun, cita-cita besar pemerintah tidak dibarengi dengan pengadaan lahan kepada masyarakat. Justru yang terjadi adalah konflik dan perebutan lahan antara masyarakat dan perusahaan-perusahan perkebunan. Di sisi lain, alih fungsi lahan pertanian pangan menjadi kawasan perkebunan dan pemukiman cenderung meningkat setiap tahunnya. Data kementerian pertanian menunjukkan rata-rata alih fungsi lahan pertanian setiap tahun mencapai 140 ribu hektar. Konversi lahan yang paling memprihatinkan terjadi di  Jawa, diikuti di Kalimantan, Sumatera, dan Bali. Di Sumatera dan Kalimantan, lahan pertanian terutama sawah berubah menjadi lahan perkebunan sawit.
            Tingginya alih fungsi lahan sawah ini makin menguatkan indikasi bahwa kebijakan   pengendalian  alih  fungsi  lahan  pertanian yang  ada  belum  efektif. Disamping itu minimnya pembangunan maupun rehabilitasi sarana produksi pertanian disinyalir menjadi faktor lain yang mempengaruhi   petani  mengalihfungsikan lahan pertanian pangannya ke non pangan atau  justru  menjual  lahan  yang  kemudian  beralih  fungsi  menjadi  perkebunan atau pemukiman.
            Lahan pertanian di Indonesia sebagian besar terdapat di wilayah pedesaan. Seiring dengan perkembangan, desa di Indonesia mengalami banyak perubahan. Desa yang senantiasa   melekat  dengan dunia  pertanian  menghadapi   banyak   tantangan  terkait dengan alih fungsi lahan sebagai dampak dari serbuan  industrialisasi.
            Rencana pemerintah memperkuat lumbung pangan ternyata hanya diatas kertas semata. Keberpihakan   terhadap   lumbung pangan ini  tidak   tercermin   dari   kebijakan   yang   sifatnya melindungi lahan persawahan serta mencegah alih fungsi. Kecendrungan yang terjadi adalah pemerintah lebih mengutamakan pemanfaatan  SDA   oleh   pemodal  besar, ekspansi lahan   untuk   perusahaan perkebunan, pembiaran pemerintah atas rusaknya sarana produksi pertanian.
             Fenomena diatas dapat dilihat pada desa pertanian pangan di Kecamatan Percut Sei Tuan dengan total lahan sawah produktif sekitar 4.600 hektar. Wilayah ini merupakan salah satu lumbung beras bagi Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Total produksi gabah petani di daerah itu dalam setiap panen minimal rata-rata 6 ton per hektar. Para petani di kecamatan yang berbatasan langsung dengan kota Medan itu dalam satu tahun mampu melaksanakan dua kali panen.
            Sentra produksi pangan terbesar di Percut Sei Tuan tersebar di Desa Pematang Lalang, Cintai Damai, Tanjung Selamat, Tanjung Rejo, Percut dan Desa Cinta Rakyat. Selama ini lahan sawah di enam desa itu mengandalkan air irigasi dari Bendungan Bandar Sidoras. Namun sejak Maret 2011, sebagian bangunan fisik bendungan tersebut jebol dan tidak mampu mengairi lahan sawah petani setempat.
            Selain ancaman kekeringan, pasca-kerusakan bendungan tersebut, sekitar 4.000 hektare lebih areal sawah petani di Kecamatan Percut sei Tuan telah dua kali direndam banjir. Kerusakan bendungan itu membuat cemas para petani setempat, terutama saat menjelang musim panen.  Selama ini bendungan itu berfungsi sebagai penyediaan air bersih, irigasi untuk mengairi sawah dan pengendali banjir.
Faktor lain yang sangat mempengaruhi kesinambungan lumbung pangan ini adalah adalah rencana besar pemerintah Sumatera Utara menjadikan Percut Sei Tuan sebagai kawasan yang masuk dalam 10 proyek pembangunan Medan-Binjai-Deliserdang-Karo (Mebidangro). Sesuai dengan rencana itu, kawasan Percut Sei Tuan akan dijadikan kawasan ekonomi terpadu. Rencana ini tentu saja tidak memperhatikan posisi Percut Sei Tuan sebagai kawasan lumbung  pangan bagi Deli Serdang.
Kawasan ekonomi Percut Sei Tuan direncanakan dalam bentuk kawasan industri dan pergudangan untuk memanfaatkan potensi yang ada sesuai dengan rencana perluasan Kawasan Industri Medan (KIM). Perluasan kawasan industri ini telah menyebabkan berubahnya peta kepemilikan tanah dan meningkatnya alih fungsi lahan menjadi pergudangan dan
lokasi pabrik di kawasan Percut Sei Tuan, terutama desa Tanjung Selamat.
Luas lahan persawahan di desa ini awalnya mencapai 600 hektar, sekarang tinggal 200 hektar
Disamping rusaknya sarana produksi dan ekspansi industrialisasi, persoalan alih fungsi hutan mengrove di pesisir Percut Sei Tuan tentu tidak boleh dilupakan. Kawasan mangrove atau hutan bakau amatlah penting artinya bagi masyarakat pesisir Percut Sei Tuan. Saat ini terdapat sekitar 500 hektar hutan mangrove di pesisir Pantai Labu dan Percut Sei Tuan telah beralih fungsi menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Alih fungsi lahan diperkirakan terjadi sejak tahun 2008. Padahal sebagian besar status lahan yang sudah beralih fungsi itu sebelumnya ditetapkan sebagai jalur hijau dan hutan mangrove.
Konversi mangrove menimbulkan permasalan baru bagi nelayan dan masyarakat pesisir Percut Sei Tuan. Terdapat 53 kelompok nelayan yang menerima dampak alih fungsi hutan mangrove ini. Dampak tersebut antara lain abrasi pantai akibat konversi ekosistem mangrove, hilangnya sebagian tempat mencari nafkah masyarakat, hilangnya kesempatan memanfaatkan lahan darat untuk pertanian dan menurunnya pendapatan nelayan akibat tangkapan berkurang. Selain itu, musnahnya produktivitas perikanan dan hilangnya habitat pesisir lainnya serta kian meningkatkan kerentanan masyarakat pesisir atas badai dan gelombang tinggi.
Alih fungsi hutan mangrove ini tidak saja memberikan dampak buruk bagi nelayan, tetapi juga bagi petani. Tertutupnya saluran pembuangan air hujan menuju laut menimbulkan kekhawatiran petani akan banjir. Saluran ini tertutup oleh perkebunan sawit yang dibuka diatas hutan mangrove yang selama ini dipergunakan sebagai jalur pembuangan air hujan menuju laut.
            Realita diatas menunjukkan ketidaksinkronan rencana pemerintah dengan kebijakan yang dikeluarkan. Disatu sisi, pemerintah mengkampanyekan penghentian alih fungsi lahan pertanian, namun disisi lain pemerintah memberikan kemudahan perizinan pembangunan  industri  yang mengambil lokasi di wilayah pertanian. Kondisi demikian diperburuk dengan minimnya perhatian pemerintah terhadap rehabilitasi sarana pendukung produksi pertanian pangan. Pemerintah perlu menyadari bahwa ketahanan pangan sebagaimana yang sering didengungkan tidak akan bisa diwujudkan tanpa adanya perlindungan terhadap lahan pertanian pangan.
Lebih jauh, wujud desa semakin hilang bersamaan dengan kapitalisasi yang masuk ke   ranah   desa,   bersama   dengan  pembangunan yang   berorientasi   pada   pertumbuhan   dan industrialisasi.  Sumberdaya ekonomi   yang tumbuh di kawasan  desa diambil  oleh negara    dan pemilik  modal, sehingga  desa kehabisan  sumberdaya  dan   menimbulkan   arus urbanisasi penduduk desa ke kota. Harus diingat bahwa, desa sebenarnya merupakan basis penghidupan sebagian  besar  rakyat  Indonesia,   mengingat  lebih  dari    60%   penduduk Indonesia   tinggal   di desa. Tetapi  selama  ini  kebijakan  pembangunan tidak berpihak terhadap desa, sehingga yang terjadi desa hanya menjadi obyek  pengaturan demi kemajuan kota.
            Ketika pertanian sebagai basis ekonomi digantikan oleh industrialisasi, maka hal yang berubah bukan hanya corak produksi, tetapi juga aspek kepemilikan tanah. Pada akhirnya, sebagian besar pemilik atau pihak yang dapat memanfaatkan sumber daya pedesaan, adalah mereka yang justru berada di luar wilayah desa itu sendiri. Desa kemudian menjadi  wilayah penyedia alat produksi semata (tenaga kerja), sementara  masyarakatnya tidak memperoleh manfaat dari pengolahan sumber daya alam di atas tanah itu sendiri. 


*Dimuat di Harian Medan Bisnis 30 Agustus 2012

Tidak ada komentar: