Pengikut

Jumat, 04 November 2011

Resume Buku Kuli

Buku dalam bentuk cerita ini mengisahkan perjalanan hidup Ruki, pemuda Jawa yang terjebak menjadi Kuli Kontrak di Tanah Deli. Kisah hidup Ruki dituangkan dalam percakapan-percakapan dengan orang lain yang menjadi tokoh dalam cerita ini.
Ruki sejak kecil tinggal bersama neneknya karena Ibu kandungnya sudah meninggal dan Ayahnya kawin lagi dengan perempuan muda dan tidak memperhatikan Ruki lagi. Ruki tinggal di komunitas petani yang terletak didaerah pegunungan. Rutinitas kehidupannya sehari-hari adalah membantu neneknya di sawah dan mengembalakan kerbau. Dalam pengasuhan neneknya Ruki menerima pengetahuan bahwa segala ciptaan Tuhan adalah baik, sederhana dan wajar.
Awal proses Ruki menjadi Kuli Kontrak bermula ketika seorang pengerah kuli dari suku Betawi masuk ke kampungnya dan mengiming-imingi pemuda kampung dengan segala macam mimpi, kemewahan dan kesenangan di Tanah Deli. Kemewahan, mimpi-mimpi dan kesenangan itu digambarkan seperti adanya kereta api besi, rumah besar, banyak emas,banyak perempuan muda cantik, bebas main judi, dan mereka akan cepat kaya bila pergi ke Tanah Deli.
Mimpi akan kemewahan dan kesenangan itu sangat mempengaruhi pikiran Ruki dan pemuda kampung. Adanya keinginan untuk memperoleh kesenangan dan kemewahan itu menyebabkan Ruki memutuskan untuk pergi ke Tanah Deli. Ia tidak sendiri, Sidir dan karimun, teman sekampungnya juga ikut. Inilah awal keprrgian Ruki ke Tanah Deli. Selanjutnya bersama dengan pengerah kuli kontrak itu mereka berangkat ke rumah seorang kontrolir berkebangsaan Belanda. Disinipun Ruki sudah diperlakukan seenaknya oleh kontrolir.
Dalam ketidaktahuan dan kebodohan mereka bertiga menandatangi kontrak kerja dan diberi uang sebagai persekot gaji. Persekot gaji inilah yang menjadi alat bagi pengerah kuli kontrak itu untuk menekan mereka agar tidak membatalkan kontrak. Kebodohan mereka dan juga yang lain merupakan salah satu penyebab tingginya arus masuk pemuda Jawa menjadi kuli kontrak di Tanah Deli.
Sebelum diberangkatkan mereka diinapkan di sebuah sebuah bangsal yang telah penuh dengan orang-orang seperti mereka., kuli kontrak. Ada perempuan muda,tua, pemuda dari berbagai suku bercampur di bangsal tersebut. Kuli kontrak, demikian sebutan untuk mereka dibawa ke pelabuhan dan diperlakukan seperti barang yang diperjualbelikan. Namun begitupun, tidak nampak sikap mereka untuk melawan. Dalam perjalanan, konflik antar kuli sudah terjadi. Ruki juga terlibat dalam konflik dengan sesama kuli. Diperjalanan kuli kontrak sudah mulai dbentak-bentak,dipukuli dan diatur-atur. Benih konflik mulai tertanam antara Ruki dengan seorang kuli kontrak dari suku Madura. Dalam konteks yang lebih luas hal seperti inilah yang menyebabkan tidak ada persatuan di kalangan kuli kontrak.
Sebegitu jauh, terdapat sikap fatalis di pikiran para kuli kontrak bahwa menjadi kuli kontrak sudah merupakan nasib yang diberikan Tuhan pada mereka. Ada kepasrahan sikap disitu. Para kuli sebenarnya tidak tahu mereka akan dibawa kemana. Yang ada dalam benak mereka hanyalah Tanah Deli,tanah yang penuh dengan emas dan kesenangan. Walaupun sudah ada bibit konflik, namun ikatan persamaan nasib diantara mereka mulai terjalin. Ikatan orang-orang yang kehilangan kebebasan, kehilangan hak, tanpa keluarga dan tanpa tanah. Para kuli kontrak dalam cerita ini antara lain Sentono, Karminah, Wiryo, Marto,Nur, Saimah.
Pemilik kebun memiliki strategi memecah belah kuli dengan cara memperkerjakan orang-orang lain suku yang sering diperhadapkan satu sama lain dalam posisi bertentangan. Ini bisa dilihat dari mandor yang berasal dari suku Jawa, pengerah kuli dari suku Betawi, pengawas dari orang Benggala. Perkebunan jaman dulu sudah mengenal kelas dan tingkatan pekerja seperti Tuan besar, mandor besar, Centeng, Kerani, Asisten dan kuli. Kuli kontrak yang termasuk dalam rombongan Ruki terdiri dari suku Jawa, Sunda dan orang Cina. Pemilik kebun memisahkan kelompok ini berdasarkan suku kedalam pondok-pondok tertentu. Pemisahan ini bertujuan untuk mencegah/meminimalisir kedekatan antar kuli kontrak dan juga sebagai cara untuk menanamkan bibit permusuhan antar kelompok.
Jam kerja kuli kontrak selama 10 jam sehari . Kondisi kuli kontrak disini sangat menyedihkan. Kuli kontrak harus jongkok bila bertemu atau menjumpai orang yang levelnya berada diatasnya seperti mandor besar, tuan besar, centeng atau kerani. para kuli kontrak juga sering dibentak, dipukuli, dipaksa mengerjakan tugas tanpa melihat kesanggupan fisik kuli.
Sementara itu kuli perempuan bebas dijadikan isteri dengan sesuka hati tinggal meminta persetujuan dari mandor besar. Mandor atau pemilik kebun seringkali meniduri kuli perempuan baik yang sudah berkeluarga maupun yang masih lajang dengan sesuka hati. Pemukulan dan penyiksaan terhadap kuli adalah hal biasa. Kuli harus patuh pada perintah mandor, tidak boleh melawan. Apabila kuli melawan maka pukulan menjadi hukumannya.
Kuli kontrak ditempatkan di pondokan yang berdinding papan, berlantai tanah dan beratpkan rumbia. Nasib kuli kontrak disini sangat tragis. Untuk tidurpun mereka diatur-atur. Jam tidur kuli kontrak ditetapkan pada jam 9 malam. Setiap jam 9 malam kentongan berbunyi sebagai isyarat bahwa para kuli harus segera tidur. Jam 5 pagi kuli kontrak harus bangun dan bersiap untuk bekerja. Di pondokan pemilik kebun membolehkan orang Cina untuk membuka warung. Pemilik kebun juga mengijinkan perjudian dan tidak melarang praktek pelacuran yang terjadi di pondokan kuli. Semua ini merupakan strategi pemilik kebun dalam rangka membuat kuli semakin tergantung pada mereka dan akhirnya para kuli tidak bisa pergi kemana-mana.
Pekerjaan awal para kuli sebelum lahan hutan itu menjadi perkebunan adalah membabat hutan. Dalam kondisi ini, ada target kerja yang harus dipenuhi kuli kontrak seriap harinya. Bila target tidak terpenuhi, maka sebagai hukumannya para kuli akan dipukul oleh mandor.
Kuli kontrak memiliki waktu istirahat dan makan siang. Menu makan siang kuli kontrak adalah nasi bungkus dan ikan asin. Ada kelas khusus kuli kontrak yang dipekerjakan untuk menangani tugas semacam ini. Kuli kontrak yang ditugaskan untuk tugas seperti ini adalah kuli perempuan. Gaji kuli kontrak rata-rata 3 sen /bulan. Pemilik kebun mengijinkan para kuli bermain judi atau main perempuan. Inilah strategi pemilik kebun untuk menahan para kuli agar tetap berada di wilayah kekuasaannya. Dari perjudian itu kuli banyak yang berutang, gaji kuli dihabiskan di rumah pelacuran. Kondisi ini menyebabkan kuli tidak memiliki simpanan dan terpaksa terus bekerja guna membayar hutangnya.
Isteri para kuli sering dijadikan pemuas nafsu mandor dan pemilik kebun. Suami mereka tidak ada yang berani melawan. Mengherankan memang. Penindasan terhadap kuli perempuan bukan hanya dilakukan oleh kaum laki-laki, tetapi juga oleh mandor perempuan (Minah) yang sering membentak. memarahi, dan memukuli kuli perempuan. Selama 1 bulan kuli kontrak bekerja 28 hari dengan 2 hari istirahat.
Hutan yang dirambah telah berganti menjadi perkebunan karet. Kuli kontrak yang sakit atau mengalami kecelakaan kerja tidak pernah diperhatikan oleh pemilik kebun. Malahan kuli kontrak yang sakit atau mengalami kecelakaan kerja tidak mau melaporkan kondisinya karena ketakutan kondisinya akan semakin parah bila diketahui oleh tuan besar atau mandor. Kuli kontrak yang sakit pun malah dibentak-bentak atau dimarahi mandor.
Konflik antar kuli akhirnya terjadi juga. Konflik ini terjadi antara kuli Jawa dan kuli Cina. Kuli Cina seringkali memakai perempuan Jawa untuk memuaskan nafsunya. Kondisi ini membangkitkan sentimen kesukuan di kalangan Kuli Jawa. Seorang kuli Cina dibunuh. Inilah puncak dari konflik yang sudah dipelihara sebelumnya. Namun demikian, kuli Jawa kompak menyembunyikan siapa pelaku pembunuhan itu. Bagi kuli Jawa, terbunuhnya kuli Cina tersebut telah membalaskan perasaan dendam yang selama ini mereka pendam. Pembunuhan kuli Cina tersebut juga merupakan wujud perlawanan para kuli terhadap kondisi yang mereka alami.
Ruki , tokoh sentral dalam cerita ini kadang-kadang merindukan kampung halaman, merindukan kebebasannya. Namun kerinduan akan kebebasan ini tidak memberikan semangat perlawanan dalam diri Ruki. Dimasa perpanjangan kontrak, pemilik kebun melalui mandor tiba-tiba baik kepada para kuli kontrak dengan maksud agar para kuli mau bertahan dan menyambung kontrak kerja. Perasaan malu kalau pulang tanpa membawa emas seperti yang digemborkan dan himpitan utang menyebabkan para kuli terpaksa menyambung kontrak.
Selanjutnya seiring perjalanan waktu, keinginan Ruki untuk pulang dan mendapatkan kebebasannya kembali telah sirna. Yang muncul malah watak konsumerisme dalam diri Ruki dan mungkin juga dalam diri para kuli kontrak yang lain. Perkebunan karet itu telah berkembang. Di wilayah kebun telah dibangun pabrik karet, pertanda modernisasi alat produksi telah memasuki perkebunan di Tanah Deli. Namun begitu pekerjaan kuli kontrak tetaplah menyadap dan menyiangi. Inilah rutinitas yang mereka hadapi selain perjudian dan perempuan. Rutinitas ini ditambah dengan adanya sekat-sekat antar kelompok kuli, jam kerja yang panjang menyebabkan kuli larut dalam keterasingan dan akhirnya semangat perlawanan tidak pernah muncul.
Waktu terus berjalan, Ruki akhirnya menerima kondisi yang dialaminya. Ruki menjadi fatalis, pasrah pada keadaan dan menerima begitu saja keadaan sekelilingnya. Permainan judi dan perempuan tidak bisa dilupakannya. Faktor inilah yang kelak manghambat keinginan Ruki untuk tidak lagi memperpanjang kontrak kerja dan pulang kampung. Watak Ruki juga berubah, awalnya ia memang memiiki sifat melawan, namun pada akhirnya ia menerima kondisinya. Ruki malah sering mengambil hati tuan besar pemilik kebun.
30 tahun masa Ruki menjadi kuli kontrak di Tanah Deli. Keinginannya untuk pulang ke Jawa tidak pernah terwujud karena uangnya habis di meja judi dan sebagai konsekuensinya ia harus menyambung kontrak. Nasibnya tidak berubah, tetap menjadi kuli kontrak. Sama seperti Ruki, para kuli kontrak lain menjalani waktu yang panjang sebagai kuli kontrak di Tanah Deli. Di Tanah Deli para kuli menikah sesama mereka. Keturunan mereka bahkan sudah ada yang menjadi kuli kontrak sama seperti orangtuanya. Ini bisa dilihat dari anak Wiryo yang jadi penyadap. Pelacuran, perjudian, penyiksaan, pemukulan kuli, sekat-sekat diantara kuli, pengelompokan kuli berdasarkan suku merupakan fenomena kondisi kuli kontrak jaman dulu yang digambarkan lewat cerita ini. Kondisi seperti itu tidak berbeda jauh dengan kondisi kuli perkebunan jaman sekarang.

Tidak ada komentar: