Pengikut

Jumat, 04 November 2011

Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit VS Ketahanan Pangan

Dalam 10 tahun terakhir, industri kelapa sawit mengalami booming dengan beberapa alasan terutama kebutuhan investasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Faktor pendukung diluar itu adalah tekanan terhadap pengurangan bahan bakar fosil secara global. Dengan paradigma pertumbuhan ekonomi, pemerintah melihat bahwa industri kelapa sawit mampu menyerap tenaga kerja dan menghasilkan devisa negara dari pajak.

Ekspansi perkebunan kelapa sawit pada saat ini telah meluas hampir ke semua kepulauan besar di Indonesia. Selama 19 tahun terakhir, ekspansi perkebunan kelapa sawit mencapai rata-rata 315.000 Ha/tahun. Sampai saat ini Indonesia memiliki kurang lebih 7 juta hektar lahan yang telah ditanami kelapa sawit. Diluar itu, sekitar 18 juta hektar hutan telah dibuka atas nama ekspansi perkebunan kelapa sawit. Trend perluasan perkebunan kelapa sawit sekarang bergerak ke wilayah Sulawesi, Kalimantan dan Papua.

Bagi penentu kebijakan, perluasan perkebunan sawit ini sudah barang tentu membuka lapangan usaha baru, karena pada umumnya perkebunan sawit diusahakan diatas tanah yang baru dibuka atau belum diusahakan sebelumnya. Dampak langsung dari kehadiran perkebunan sawit adalah munculnya kesempatan kerja. Penyerapan tenaga kerja pada sektor perkebunan dan industri sawit menghasilkan angka yang cukup besar dibandingkan dengan industri lainnya. Diluar itu, terdapat kelompok masyarakat yang langsung maupun tidak langsung tergantung pada perkebunan kelapa sawit.

Jumlah tenaga kerja yang terserap pada perkebunan kelapa sawit, termasuk perkebunan rakyat diperkirakan mencapai angka 10 juta jiwa. Kehadiran perkebunan kelapa sawit memberikan dampak besar bagi perekonomian Indonesia yang masih memegang teguh paradigma pertumbuhan ekonomi. Industri sawit sangat menguntungkan dilihat dari segi daya penyebaran dan dampak pada peningkatan pendapatan pada para pelaku dan dampak terhadap ekonomi regional. Dari segi sumbangan terhadap devisa negara terbukti bahwa pertumbuhan ekonomi nasional ditopang oleh industri perkebunan kelapa sawit.

Sumatera Utara sebagai salah satu sentra perkebunan kelapa sawit di Indonesia menghasilkan rata-rata 1,7 juta ton CPO per tahun. Jumlah ini mencapai 8,23 % dari total produksi CPO nasional per tahun. Luas perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara setiap tahun juga mengalami peningkatan. Peningkatan luas ini terjadi karena konversi lahan pertanian khususnya sawah, terutama di daerah Langkat, Serdang Bedagai dan Labuhanbatu.

Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Di Sumatera Utara 2004-2009

No

Tahun

Luas (Ha)

1

2004

844.882

2

2005

894.911

3

2006

1.044.230

4

2007

1,09 juta

5

2008

1,106 juta

6

2009

1.138.908

Di sisi lain, perkebunan kelapa sawit menghadirkan ketimpangan kepemilikan, konflik tanah, ancaman ketahanan pangan dan kerusakan ekosistem. Pertambahan luas perkebunan kelapa sawit seiring dengan perubahan dalam hal kepemilikan. Perkembangan menunjukkan bahwa pemerintah tidak lagi menjadi aktor utama dalam pemilikan perkebunan kelapa sawit. Fakta memperlihatkan bahwa kepemilikan maupun perluasan perkebunan kelapa sawit justru dilakukan oleh sektor swasta (asing). Perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit swasta asing tidak hanya melakukan perluasan tetapi juga melakukan privatisasi perkebunan-perkebunan kelapa sawit milik negara.

Ekspansi perkebunan kelapa sawit mengubah dinamika perekonomian lokal. Banyak petani yang lahannya terbatas tergelincir dalam proses pemiskinan. Petani yang sebelumnya petani subsistensi dengan bercocok tanam padi terpaksa mengkonversikan lahannya dengan menanami kelapa sawit akibat lahan pertanian mereka sudah dikelilingi dengan perkebunan kelapa sawit. Pilihan ini terpaksa diambil sebagai akibat dari berpindahnya hama dari kelapa sawit menuju lahan pertanian petani. Aspek modal, kualitas produksi dan pemasaran yang sangat terbatas menyebabkan hasil produksi tidak seimbang dengan pengeluaran. Akibatnya dalam posisi yang demikian banyak petani menjual lahannya ke pihak perkebunan dan untuk menyambung hidup mereka terpaksa menjadi tenaga upahan (perubahan status dari pemilik lahan menjadi buruh).

Konversi lahan akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit setiap tahunnya cenderung meningkat. Di Sumatera Utara sebagai contoh, pada tahun 2005-2006 terjadi pengalihan fungsi lahan pertanian seluas 39.669 hektare atau sekitar 7,55 persen dari luas baku lahan sawah berpengairan di Sumut. Alih fungsi lahan pertanian tersebut terutama terjadi ke sektor kelapa sawit dan sub sektor lain di luar sektor pertanian tanaman pangan. Alih fungsi lahan di Sumut sebanyak hampir 40 ribu hektare pada 2005-2006 itu terjadi di 13 Kabupaten. Daerah yang terbesar mengalami pengalihan fungsi lahan adalah Tapanuli Selatan, Asahan dan Labuhan Batu masing-masing sebesar 10. 455 hektare, 7373 hektar dan 6.809 hektare. Di Labuhanbatu, sebagai salah satu wilayah lumbung beras di Sumatera Utara, konversi lahan sawah menjadi perkebunan kelapa sawit rata-rata mencapai 5.000 hektar per tahunnya (Medan Bisnis 9 April 2008).

Tingginya angka konversi lahan pertanian ke sektor diluar pertanian berdampak pada penurunan produksi padi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sumut, produksi padi periode 1998-2006 mengalami penurunan 23 % per tahun. Penurunan itu terjadi akibat berkurangnya lahan pertanian padi sebesar 1,13 persen per tahun. Sementara itu, sejak 2007-2008, konversi lahan pertanian di Sumut tumbuh sekitar 4,2 persen. Lahan pertanian tersebut dialihkan ke tanaman keras dan kawasan pemukiman. Luas lahan sawah berpengairan yang beralih fungsi pada tahun 2006 mencapai 280.847 hektar dan tahun 2008 mencapai 278.560 hektar. Kurun waktu 2007-2008, alih fungsi terbesar terjadi di Kabupaten Asahan yang mencapai 6.800 hektar, disusul Nias 6.700 hektar, Serdang Bedagai 2.300 hektar dan Langkat 1.400 hektar.

Keikutsertaan puluhan perusahaan besar berskala internasional, dengan modal tidak terbatas, telah membuat perkembangan teknologi kelapa sawit, baik dari penyediaan bibit sampai pengolahan pascapanen, melaju cepat di antara lambatnya perkembangan tanaman pangan dan hortikultura lainnya. Sebaliknya, pertanian tanaman pangan berjalan terseok-seok dan lebih banyak menunjukkan tren menurun. Padahal, dari kondisi geografisnya, Sumut memiliki lahan potensial untuk mengembangkan tanaman pertanian, khususnya padi. Dari gambaran itu jelas terdapat korelasi antara penurunan luas areal tanaman padi dan pertambahan luas perkebunan kelapa sawit. Tidak dipungkiri, cerita indah manisnya penghasilan petani kelapa sawit telah membuat laju konversi lahan semakin cepat.

Kehadiran perkebunan kelapa sawit tidak hanya mengakibatkan kerusakan ekologi, tetapi juga mempengaruhi kondisi sosio-ekonomi masyarakat komunitas, terutama petani pangan. Alih fungsi lahan pertanian sebagai akibat pembukaan lahan sawit telah menyebabkan perubahan pola tanam petani pangan, khususnya padi. Kawasan yang dahulunya adalah merupakan areal persawahan berubah menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Pola tanam padi yang tidak serentak akibat dampak perluasan areal tanaman keras, terutama kelapa sawit membawa resiko bagi petani yang masih bertahan di tanaman padi.

Konversi lahan juga mengakibatkan kerugian ekologis bagi sawah di sekitarnya, antara lain hilangnya hamparan efektif untuk menampung kelebihan air limpasan yang bisa membantu mengurangi banjir. Kerugian itu masih bertambah dengan hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan bagi petani penggarap, buruh tani, penggilingan padi, dan sektor- sektor lainnya. Pertanian tanaman padi merupakan komoditas yang paling banyak menyediakan lapangan kerja dalam sektor pertanian.

Luas Areal Pertanian Padi di Sumatera Utara 2004-2008

No

Tahun

Luas (Ha)

1

2004

826.091

2

2005

822.073

3

2006

782.404

4

2007

750.232

5

2008

748.540

Upaya pemerintah mengantisipasi alih fungsi lahan pertanian pangan tampaknya masih sebatas wacana. Pasalnya, peraturan pemerintah (PP) yang menjadi aturan pelaksana Undang-undang (UU) No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan hingga kini belum disahkan. Belum adanya PP ini membuat pemerintah daerah tidak bisa menyusun rancangan peraturan daerah (perda) yang mengatur perlindungan lahan pertanian pangan. Padahal, kondisi lahan pertanian pangan sudah semakin memprihatinkan, terutama akibat alih fungsi lahan untuk kepentingan lain seperti perkebunan, pemukiman, industri dan sebagainya

Tingginya alih fungsi lahan sawah ini makin menguatkan indikasi bahwa kebijakan pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang ada belum efektif. Disamping itu faktor regulasi pemerintah atau kebijakan juga dapat mempengaruhi petani atau pelaku pertanian untuk tetap mempertahankan lahannya atau justru mengalih fungsikannya baik dalam bentuk komoditi non padi atau justru menjual lahan yang kemudian beralih fungsi menjadi multifungsi penggunaan seperti sarana publik maupun perumahan.

Permasalahan yang ditimbulkan oleh akibat konversi lahan pertanian tanaman pangan ke non pertanian dilihat bukan hanya dampaknya kepada produksi saja, tetapi juga dalam perspektif yang lebih luas. Dampak yang lebih luas tersebut termasuk pengaruhnya terhadap kestabilan politik yang diakibatkan oleh kerawanan pangan, perubahan sosial yang merugikan, menurunnya kualitas lingkungan hidup terutama yang menyangkut sumbangan fungsi lahan sawah kepada konservasi tanah dan air untuk menjamin kehidupan masyarakat dimasa depan. Dampak dari kehilangan lahan pertanian produktif adalah kehilangan hasil pertanian secara permanen, sehingga apabila kondisi ini tidak terkendali maka dipastikan kelangsungan dan peningkatan produksi akan terus berkurang dan pada akhirnya akan mengancam kepada tidak stabilnya ketahanan pangan di Sumatera Utara.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Langkat memang bisa dikatakan salahsatu provinsi yang hebat di Indonesia. Hasil pertaniannya sangat menakjubkan. Dikutip dari http://bit.ly/1nFvbcN , Sekretaris Dinas Pertanian Kabupaten Langkat Mahruzar Nasution mengatakan berdasarkan perhitungan angka sementara maka produksi padi petani Langkat sekarang mencapai 467.145 ton gkp. Ia menambahkan, hasil produksi padi itu dari panen bersih seluas 80.289 hektare, dengan produksi mencapai 58,18 kwintal per hektarenya. Hebat!! memang salah satu kabupaten hebat di Indonesia.