Dalam 10 tahun terakhir, peringkat Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) Indonesia tidak pernah mengalami peningkatan yang signifikan.
Berdasarkan peringkat yang ditetapkan UNDP tersebut, peringkat Indonesia tidal
pernah diatas urutan 102. Bahkan di tahun 2011,peringkat IPM Indonesia berada pada urutan 124 dari 187
negara, menurun bila dibanding peringkat 108 pada tahun 2010. Sesuai dengan
peringkat ini, UNDP menempatkan Indonesia dalam katagori Medium Human Development (kelompok
negara berperingkat pembangunan manusianya sedang). Kondisi ini tentu saja jauh
dari harapan reformasi 1998 dimana ekspetasi tinggi rakyat Indonesia akan perbaikan kehidupan. Pasca
reformasi perkembangan pembangunan Indonesia tidak mengalami peningkatan
berarti.
Pasca reformasi, pergantian pemegang kekuasaan sudah
terjadi beberapa kali, namun tetap saja tidak membawa angin perubahan. Penurunan
peringkat menjadi urutan ke-124 ini menurut Koalisi Perempuan Indonesia menunjukkan
bahwa pembangunan manusia di Indonesia mengalami perlambatan dibandingkan
negara-negara lain. Derajat kesejahteraan masyarakat Indonesia mengalami
penurunan secara drastis, hal ini ditunjukkan dari usia harapan hidup. IPM
tahun 2010, menunjukkan usia harapan hidup masyarakat Indonesia
adalah 71,5 tahun, sedangkan IPM tahun 2011 menunjukkan usia harapan hidup masyarakat
Indonesia menurun menjadi 69,4 tahun.
Diluar itu Global Hunger Index (GHI)
menunjukkan posisi Indonesia berada pada situasi kelaparan dan gizi buruk yang
mengkhawatirkan. Dari catatan Kemenkes masih terdapat 4,1 juta balita yang
menderita gizi buruk dan kurang gizi. Di ASEAN, angka kematian bayi di
Indonesia mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup. Angka ini hampir 5 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan Malaysia atau 2 kali lipat dibandingkan Thailand dan 1,3 kali
lipat dibandingkan Philipina. Kasus kematian bayi terjadi pada keluarga miskin
yang sebagian besar disebabkan tidak dimilikinya akses kesehatan, kurangnya
pengetahuan dan ketiadaan biaya.
Minimnya akses kesehatan dan ketiadaan biaya menjadi
suatu hal ironis mengingat APBN Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan.
Peningkatan APBN tidak diimbangi dengan peningkatan alokasi anggaran untuk
kesehatan. Minimnya anggaran yang diperuntukkan bagi sektor kesehatan, dapat
dipandang sebagai wujud dari rendahnya apresiasi negara terhadap pembangunan
manusia Indonesia. Pelanggaran pemerintah dengan tidak memenuhi 5% anggaran
kesehatan dapat dikatakan menjadi salah satu sebab Indeks Pembangunan Manusia
Indonesia mengalami kemerosotan. Sekedar catatan, Indeks Pembangunan Manusia
menggunakan pendidikan dan kesehatan sebagai salah satu indikator.
Alokasi APBN untuk kesehatan justru masih dibawah
besarnya alokasi untuk membayar utang yang mencapai 10 %. Alokasi anggaran kesehatan
yang rata-rata hanya sekitar 3 % sangat minim bila dibandingkan dengan standar
Badan Kesehatan Dunia yang menetapkan anggaran kesehatan minimal 5 % dari
Pendapatan Domestik Bruto.
Dari alokasi anggaran kesehatan dalam APBN 6 tahun terakhir, dapat
dilihat bahwa pemerintah belum menempatkan kesehatan sebagai prioritas. Jika
dilihat dari alokasi anggaran, sejak APBN 2001 sampai tahun 2010 anggaran
kesehatan masih berputar pada angka 2,5 % dari total APBN, bahkan dalam kurun
waktu 6 tahun terakhir tidak ada peningkatan berarti. Padahal APBN telah
meningkat tajam dari Rp 226 triliun di tahun 2005 menjadi 1.126 triliun di
tahun 2010.
Rendahnya alokasi anggaran untuk kesehatan ini sangat
kontradiktif dengan alokasi anggaran untuk bidang lain. Kecendrungan beberapa
tahun terakhir, 60 % anggaran dialokasikan untuk belanja pegawai, 20 % untuk
membayar cicilan utang dan 20 % sisanya untuk pembangunan. Sisa 20 % itulah
yang diperuntukkan untuk pendidikan, kesehatan maupun infrastruktur.
Kondisi ini tidak saja
terjadi ditingkat pusat (APBN), kondisi yang sama juga terjadi di daerah
(APBD). APBD yang dikelola pemerintah
daerah lebih banyak dialokasikan untuk kebutuhan rutin birokrasi, alih-alih
untuk kepentingan masyarakat. Struktur APBD di berbagai daerah misalnya, masih
didominasi oleh belanja rutin pegawai yang persentasenya mencapai 70 %. Dalam konteks kesehatan, beberapa pemerintah
daerah malah memiliki utang ke rumah sakit terkait dengan anggaran kesehatan
untuk masyarakat miskin. Sebagai contoh Pemprov Sumut yang memiliki utang Rp
21,2 miliar ke RS provider Jamkesda untuk tahun 2012 dan Pemko Medan yang
menunggak utang hingga Rp20 miliar kepada
rumah sakit provider JPKMS untuk tahun 2011.
Menjadi pertanyaan besar
mengapa alokasi anggaran untuk kesehatan dalam APBN atau APBD tidak pernah
meningkat, bahkan jauh dari harapan masyarakat. Sejatinya proses demokrasi akan
bermuara pada terakomodirnya kebutuhan rakyat banyak. Proses politik kemudian
melahirkan kebijakan berikut dengan anggarannya. Pada prinsipnya anggaran uang
rakyat yang pengalokasiannya harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Prinsip ini yang seharusnya muncul dan
terepresentasi dalam penyusunan dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja mulai
dari pusat sampai kabupaten/kota. Namun yang adalah sebagian besar APBN dan APBD
justru lebih banyak mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan birokrasi daripada
kebutuhan rakyat.
Berdasarkan kajian Forum
Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) terhadap APBD 2011 di 526
kabupaten/kota diIndonesia, terdapat 124 kabupaten/kota diantaranya terancam
bangkrut. Ini disebabkan karena dalam APBD
2011, anggaran lebih banyak ditujukan untuk belanja pegawai yang mencapai di
atas 60 persen dari total APBD. Jelas hal ini menunjukkan APBD lebih banyak
mengakomodasi dan melayani kebutuhan perut birokrasi, daripada masyarakat.
Kondisi ini sebenarnya tidak hanya terjadi pada APBD 2011, tapi juga pada
APBD-APBD sebelumnya. Artinya, praktek politik anggaran daerah ini sudah
berlangsung puluhan tahun. Praktik ini yang kemudian menjadikan
persoalan-persoalan krusial yang terkait dengan rakyat seperti kemiskinan, pengangguran,
pelayanan publik, kesehatan dan pendidikan menjadi terabaikan.
Kritik lain dalam anggaran
kesehatan di Indonesia adalah masih banyak program yang bersifat pemborosan,
karena sebagian besar anggaran program yang dijalankan habis untuk urusan bersifat
teknis aparatur seperti koordinasi dan konsolidasi antar instansi, sosialisasi,
monitoring, evaluasi dan bimbingan teknis. Dalam konteks operasionalisasi
program memang diperlukan konsolidasi, koordinasi, evaluasi maupun monitoring,
namun menjadi tidak wajar bila anggaran untuk urusan teknis lebih besar
dibanding dengan anggaran untuk program itu sendiri.
Persoalan minimnya
alokasi anggaran kesehatan dan berbagai pemborosan, sebenarnya terletak pada
politik anggaran Indonesia yang masih berwatak oligarki dan meniadakan kedaulatan rakyat atas anggaran. Disadari atau
tidak, dominasi dan hegemoni partai politik dalam lingkar kekuasaan selama ini
telah membuat kebijakan anggaran seolah menjadi hak mutlak partai politik
melalui anggota-anggotanya yang duduk di kekuasaan (legislatif dan eksekutif),
seolah tidak ada sangkut pautnya dengan nasib dan masa depan rakyat. Oligarki
politik anggaran ini semakin kuat ketika partai politik yang berkuasa lebih
memilih membangun koalisi kepentingan (transaksional bisnis) dengan kroni-kroninya
daripada memperjuangkan konstituennya. Wajar jika kemudian kebijakan anggaran
yang dihasilkan hanya memihak pada kepentingan segelintir orang, jauh dari
aspirasi dan kebutuhan riil rakyat.
Kasus penyusunan anggaran kesehatan misalnya sangat
jauh dari proses partisipasi rakyat. Untuk itu sudah selayaknya penyusunan
anggaran menerapkan model penyusunan anggaran yang partisipatif dimana rakyat sebagai penerima kebijakan
dikutsertakan dalam proses pembahasan anggaran. Keikutsertaan rakyat dalam
penyusunan ini tidak diartikan hanya sebatas prosedur semata atau hanya sebagai
forum melegitimasi kebijakan anggaran.
Melalui model ini, ruang untuk partisipasi rakyat untuk
mengalokasikan porsi anggaran yang berhubungan dengan perbaikan kehidupannya
diperluas. Tidak cukup hanya partisipasi dalam perumusan tapi juga ruang untuk
menilai pelaksanaan dari kebijakan tersebut (audit sosial). Pemerintah harus
menyadari bahwa pengalokasian anggaran merupakan bagian dari cara pemerintah
untuk mendistribusikan uang rakyat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bagi
rakyat itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar