Sejarah
pengupahan di Indonesia telah menunjukkan bahwa kualitas upah buruh dari waktu
ke waktu mengalami degradasi. Pada jaman Orde Lama, selain menerima upah dalam
bentuk nominal, buruh juga masih menerima tunjangan natura guna menjamin
pemenuhan kebutuhan fisik buruh dan keluarganya. Pasca perubahan politik 1965,
kebijakan upah murah dijadikan sebagai penarik investasi asing masuk ke
Indonesia.
Pemerintah Orde Baru merubah sistem pengupahan berbasis kebutuhan
pokok kembali pada sistem pengupahan
berbasis eksploitasi sebagaimana
dipraktekkan oleh kolonialisme. Pemerintah Orde Baru merumuskan sistem
pengupahan dengan konsep upah minimal.
Selain itu merombak sistem pengupahan buruh melalui mekanisme “moneterisasi
upah”. Pemerintah menetapkan bahwa upah buruh dibayar dalam bentuk uang,
sementara tunjangan lainnya seperti yang dikenal dengan istilah catu 11 pada
jaman orde lama dicabut.
Kehadiran usaha perkebunan memang membuka
lapangan kerja dan disisi lain menjadi primadona bagi pemilik modal dan pemerintah.
Namun, peningkatan produksi dan
keuntungan yang diperoleh perkebunan tidak berbanding lurus dengan peningkatan
kesejahteraan buruh. Upah layak sebagai salah satu indikator kesejahteraan
buruh masih tetap menjadi persoalan utama yang dihadapi buruh perkebunan.
Informalisasi
hubungan kerja dan pemindahan tanggungjawab dari perusahaan disatu sisi telah
memberikan keuntungan maksimal bagi perusahaan. Namun disisi lain, menimbulkan
persoalan dalam hal perlindungan upah, jaminan kerja, kesehatan dan
hak-hak dasar lainnya. Informalisasi hubungan kerja dan pemindahan
tanggungjawab ini menjadi faktor-faktor yang mereduksi upah buruh. Upah minim
yang diterima buruh sebagai akibat tindakan reduksi yang dilakukan perusahaan
menyebabkan buruh perkebunan tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak.
Berkaitan dengan status kerja, penggunaan buruh
dengan status kerja harian, borongan atau kontrak berdampak pada pengurangan
biaya ketenagakerjaan yang harus dikeluarkan perusahaan. Sementara itu, resiko
kerja yang ada tetap dibebankan pada buruh. Selain itu, penyediaan alat kerja
dan alat pelindung kerja dibebankan kepada buruh tersebut yang tentunya ini
sangat membebani dan mengurangi jumlah pendapatan yang seharusnya diterima. Buruh perkebunan sebenarnya memiliki hak
akan upah setara untuk pekerjaan yang sama. Hak
ini termuat dalam Konvensi ILO No.100 tentang Kesetaraan Upah yang diratifikasi
menjadi UU No.80/1957, UU No.39/1999, pasal 38 tentang HAM dan Pasal 2
Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM). Namun realita di lapangan menunjukkan hal
yang sebaliknya.
Selain upah murah, buruh
perkebunan juga menerima perlakuan tertentu yang pada akhirnya mengurangi (reduksi) besaran upah riil yang diterima. Reduksi upah dilakukan melalui potongan denda, penyediaan alat
kerja dan alat pelindung kerja, serta penyediaan fasilitas pondok (rumah)
buruh. Potongan denda dikenakan perusahaan terhadap buruh yang dinilai melakukan pelanggaran.
Besar denda ini merupakan keputusan sepihak perusahaan, tanpa pernah melibatkan
buruh. Umumnya potongan tidak tetap melalui denda ini dikenakan pada buruh
pemanen.
Penerapan denda merupakan salah satu bentuk dominasi represif
yang dilakukan perusahaan terhadap buruh. Adanya denda ini mengkondisikan buruh
bekerja dalam tekanan yang sangat besar akan terjadinya kesalahan. Kesalahan
yang dilakukan akan menyebabkan pengurangan upah yang diterimanya. Ancaman
denda tersebut “mengarahkan” buruh bekerja hati-hati tanpa melakukan kesalahan
dan disisi lain target tercapai.
Diluar itu,
penerapan denda ini merupakan strategi perusahaan untuk mengurangi biaya
produksi (politik produksi). Perusahaan akan mengalami kerugian bila buruh
melakukan kesalahan dalam proses produksi. Kerugian itu dapat berupa target
produksi yang tidak tercapai yang berimplikasi pada keharusan penambahan waktu
atau biaya untuk mengganti waktu yang telah terpakai. Untuk mengantisipasi
kerugian tersebut, perusahaan menerapkan denda sehingga dengan demikian target
kerja bisa tercapai dan kerugian waktu dan biaya bisa ditekan.
Dikaitkan dengan hubungan kerja antara buruh
dan perusahaan, perusahaan diwajibkan menyediakan fasilitas yang diperlukan
oleh buruh. Namun kenyataan menunjukkan bahwa bahwa tidak semua perkebunan
menyediakan segala keperluan kerja yang dibutuhkan buruh. Kondisi ini umumnya
dialami oleh buruh pemanen yang harus menyediakan sendiri alat kerja dan alat
pelindung kerja. Kondisi yang sama juga dialami oleh buruh berstatus BHL dan
outsourcing. Selain alat kerja, beberapa perusahaan perkebunan juga mengharuskan
buruh menyediakan sendiri alat pelindung kerjanya.
Beberapa perkebunan memang menyediakan fasilitas pondok (perumahan)
bagi buruh, namun kondisi pondokan tersebut tidaklah layak huni. Selain tidak
layak huni, buruh juga masih dibebankan dengan biaya penyediaan listrik dan air
bersih. “Pondok kami itu terbuat dari papan, luasnya kira-kira
4 x 10 meter gitu. Perusahaan memang menyediakan listrik dan air. (Iuran)
Listrik kami dipotong setiap bulannya, air dijatah hanya 4 jerigen setiap hari.
Ada juga dikasi perusahaan mesin, tapi kalau rusak, perusahaan tidak mau tahu
dan kalau dilaporkan maka proses perbaikannya lamban”, demikan menurut seorang buruh.
Kondisi ini akan sangat kontradiktif
bila dibandingkan dengan Hak Atas Pemukiman yang layak yang dimuat dalam
Kovenan Internasional tentang Hak Ekosob. Sebagaimana dijelaskan dalam Kovenan
Hak Ekosob, pemukiman
layak tidak ditafsirkan hanya dengan penyediaan tempat berteduh semata.
Pemukiman yang layak harus mempunyai fasilitas tertentu yang penting bagi
kesehatan, keamanan, kenyamanan dan pemenuhan gizi. Semua yang berhak atas
pemukiman yang layak harus mendapatkan akses yang berkelanjutan atas sumber daya
alam serta sumber daya umum, air minum yang aman, energi untuk memasak, pemanas
ruangan dan penerangan, sanitasi dan fasilitas untuk mencuci, sarana
penyimpanan makanan, tempat pembuangan sampah, saluran pembuangan dan
pelayanan-pelayanan darurat.
Untuk SKU, besaran upah maksimal yang
diterima buruh setiap bulannya berada di kisaran Rp 1.200.000-Rp 1.335.000.
Untuk BHL dan outsourcing, besaran upah yang diterima berada dikisaran Rp
600.000-Rp 1.100.000. Besar upah ini merupakan upah maksimal yang diterima buruh
tanpa dikenai potongan sanksi kerja dan sudah termasuk premi yang diperolehnya.
Rata-rata pengeluaran buruh setiap bulannya mencapai Rp 1.300.000 (pengeluaran
rutin). Bila dikurangi dengan biaya penyediaan alat kerja, alat pelindung kerja
dan fasilitas pondokan, sudah pasti upah yang diterima secara riil menjadi
semakin berkurang (tidak cukup). Untuk mensiasati kekurangan ini, buruh
terpaksa mengambil pilihan mengurangi kualitas menu dan gizi makanan
sehari-hari.
Keterbatasan
upah juga menyebabkan buruh perkebunan tidak bisa menyekolahkan anaknya ke
jenjang yang tinggi. Survey yang dilakukan pada tahun 2011 di beberapa
perusahaan perkebunan di Langkat, Serdang Bedagai dan Asahan memperoleh data
bahwa mayoritas buruh perkebunan hanya bisa menyekolahkan anak hanya sampai
jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Kondisi
demikian bertentangan dengan pasal 13, Hak Atas Pendidikan Kovenan
Internasional tentang Hak Ekosob. Pasal ini berhubungan dengan hak atas
pendidikan dalam keseluruhan dimensinya. Kovenan mensyaratkan agar negara
mengambil langkah-langkah yang terinci guna memenuhi kewajiban ini. Fakta bahwa
mayoritas buruh perkebunan hanya bisa menyekolahkan anak sampai jenjang
pendidikan SMP merupakan bukti lain tindakan pembiaran negara yang melegitimasi
kondisi diatas.
Dalam
konteks yang lebih luas, informalisasi dan pemindahan tanggungjawab ini tidak
pernah diawasi oleh pemerintah. Hak buruh atas upah layak direspon pengusaha dengan
memberlakukan berbagai peraturan yang semakin memberatkan buruh. Realitas ini menunjukkan bahwa
kondisi demikian disengaja oleh pemerintah untuk mengakomodir kepentingan
pengusaha perkebunan (investasi).
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia telah
menetapkan bahwa buruh berhak menerima upah yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Konstitusi juga
menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja selanjutnya
disebutkan juga bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
Implikasi dari
aturan ini adalah adanya kewajiban perkebunan untuk memberi upah yang layak
bagi buruh. Disisi lain, perkebunan juga memiliki kewajiban untuk menyediakan
segala keperluan buruh dalam konteks hubungan kerja seperti jamsostek, alat
kerja, alat pelindung kerja dan fasilitas pondokan yang layak bagi hidup sehat.
Tentu, merupakan kewajiban negara untuk memastikan apakah hak-hak ini diterima
oleh buruh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar