Kehadiran
perkebunan kelapa sawit skala besar di Indonesia telah mendatangkan keuntungan
besar bagi negara. Ketua GAPKI, Joko
Supriyono, menyatakan bahwa pada tahun 2014 devisa negara yang dihasilkan dari
sawit mencapai USD 21 miliar1. Luas perkebunan kepala sawit di Indonesia saat ini sudah mencapai 14,3 juta hektar dengan 30 % diantaranya dimiliki petani, pertumbuhan luas perkebunan kelapa sawit ini sangat tinggi bila
dibandingkan pada tahun 1980 dimana luas perkebunan kepala sawit hanya 294.560
hektar. Pertumbuhan perkebunan sawit
ini tidak terlepas dari kebijakan ekspor non migas awal tahun 1980-an
dimana pemerintah saat itu mendorong ekspor komoditas non migas termasuk kelapa
sawit. Pemerintah ketika itu melakukan percepatan pengusahaan
sawit dengan pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat) secara simultan di 12 provinsi
terutama di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Proyek in didanai oleh Bank
Dunia melalui program Nucleus Estate
Smallholder (NES). Dana untuk mendorong pembangunan perkebunan sawit di
daerah pedalaman disalurkan Bank Dunia melalui BRI.
Luas perkebunan kepala sawit di Indonesia saat ini sudah mencapai 14,5 juta hektar dengan 30 % diantaranya dimiliki petani. Rata-rata produksi CPO sebesar 28 juta ton/tahun, sebesar 80 % di ekspor dan sisanya sebesar 20 % dialokasikan bagi
pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Kehadiran perkebunan sawit menghadirkan ketimpangan
kepemilikan, konflik tanah, eksploitasi buruh dan kerusakan ekosistem. Dampak
langsung dari kehadiran perkebunan sawit adalah munculnya kesempatan kerja.
Penyerapan tenaga kerja pada sektor perkebunan dan industri sawit menghasilkan
angka yang cukup besar dibandingkan dengan industri lainnya. Diluar itu,
terdapat kelompok masyarakat yang langsung maupun tidak langsung tergantung
pada perkebunan kelapa sawit. Menurut KADIN, perkebunan kelapa sawit di
Indonesia telah menyerap 21 juta orang tenaga kerja baik yang bekerja secara
langsung maupun tidak langsung2.
Terdapat dua hal penting terkait keberadaan
perkebunan sawit. Pertama, bagaimana
marginalisasi petani karena mereka menjadi petani tak bertanah dan dipaksa
untuk menjual tenaga mereka ke perkebunan. Kehadiran
perkebunan sawit di Indonesia tidak pernah terlepas dari konflik yang sangat
berkaitan dengan perampasan tanah di awal kehadiran perkebunan. Kehadiran
investasi di sektor perkebunan sawit yang membutuhkan tanah skala luas yang
secara langsung maupun tidak langsung kemudian memicu perubahan kontrol atas
tanah. Di sisi lain bagaimana kehadiran investasi itu melakukan kontrol atas
buruh dalam rangka maksimalisasi keuntungan.
Kedua, informalisasi hubungan kerja, suatu kondisi
dimana jaminan kepastian kerja tidak ada, perikatan kerja yang tidak jelas,
perjanjian kerja tidak terdokumentasi, upah murah dan perlindungan negara yang
lemah. Besarnya
kekuasaan perkebunan, lemahnya pengawasan negara serta kebijakan
ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada buruh semakin memposisikan buruh
perkebunan tidak berdaya. Buruh di beri upah
kecil tanpa jaminan keamanan kerja (job security) dan berada dalam
situasi kerja eksploitatif.
Dari penelitian
yang dilakukan Sawit Watch terungkap adanya praktek mirip kerja paksa di
perkebunan sawit di Indonesia. Buruh mengalami perlakuan buruk, upah murah,
target kerja tinggi, pemberlakuan denda, tekanan dan intimidasi karena
mendirikan serikat, ketiadaan alat kerja, dan alat pelindung diri yang layak,
minimnya fasilitas air bersih dan kesehatan, penggunaan buruh anak dan
penempatan buruh di barak khusus dengan pengawasan ketat3.
Pola
Relasi Buruh-Perkebunan : Informalisasi Hubungan Kerja
hubungan kerja dalam wujud kontrak, outsourcing, borongan,
buruh tak terdokumentasi, hubungan kerja tanpa perjanjian kerja yang jelas dan
tertulis mulai terjadi sejak tahun 1970, saat dimana pemerintah Indonesia
membuka ruang sebesar-besarnya untuk investasi asing. Buruh perkebunan yang
banyak didatangkan dari Jawa dengan status kontrak, upah murah dan mobilitas
terbatas dipaksa melanjutkan kontrak sebab tidak ada akses untuk beralih ke
pekerjaan lain atau pulang ke kampung asal karena tidak ada tabungan.
Kini, pola rekrutmen buruh oleh
perkebunan mengacu pada skema buruh tanpa jaminan kepastian kerja yang di upah
murah. Perusahaan perkebunan mengambil keuntungan dengan cara meminimalisasi
buruh tetap hanya untuk level manajemen, sementara level buruh lapangan lebih mengoptimalkan buruh tidak permanen.
Di perkebunan sawit, buruh tanpa jaminan kepastian ini jumlahnya massif,
biasanya berhubungan dengan pekerjaan pemupukan dan penyemprotan dan mayoritas
adalah perempuan. Beberapa perkebunan yang teriindikasi menggunakan pola ini
seperti PT LNK di Sumatera Utara, PT HMBP, PT SLM dan PT KSI di Kalimantan
Tengah, PT HHM dan PT MM di Kalimantan Timur dan PT Ma di Sulawesi Barat. Menurut buruh PT KSI, dari setiap mandoran yang beranggotakan 20-26
orang, biasanya ada 4-5 orang yang berstatus sebagai BHL.
Bekerja Dibawah Ancaman Denda Pengurangan Upah
Di Sumatera,
upah buruh perkebunan ditentukan
berdasarkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara SPSI dengan Badan Kerja Sama
Perusahaan Perkebunan Sumatera (BKS-PPS). Perusahaan perkebunan yang bukan
anggota BKS-PPS biasanya mengikuti ketentuan ini. Berdasarkan PKB ini juga
diatur ketentuan bahwa perusahaan memberi upah berupa uang dan upah dalam
bentuk natura. Upah natura ini diberikan dalam bentuk beras dengan ketentuan
buruh memperoleh 15 kg, isteri 9 kg dan tiap anak (maksimal 3 orang) masing-masing
7,5 kg setiap bulannya. Namun, besar upah yang diterima buruh perkebunan
tersebut tidak jarang justru berada
dibawah UMP.
Upah buruh perkebunan
mengacu pada sistem pengupahan buruh manufaktur (industri) yang kemudian dibagi
besaran per hari disertai target kerja tertentu. Di perkebunan, pembagian ini
dikenal dengan istilah upah hari kerja (HK). Jika
buruh telah bekerja lebih dari 7 jam kerja/hari namun belum mencapai target, buruh dikenai sanksi pengurangan upah. Pengupahan disertai
ancaman denda ini kemudian membawa konsekuensi lain yakni pelibatan keluarga
(terutama isteri) untuk ikut bekerja di ancak dengan harapan target kerja dapat
terpenuhi (menghindari denda). Di beberapa perkebunan sawit skala besar di Kalimantan tengah, upah
buruh yang tidak memenuhi target kerja berkurang sekitar
Rp 20.000-25.000/hari.
Target kerja yang tinggi mengharuskan buruh, terutama pemanen membawa
isteri ke ancak (tempat kerja). Istri buruh tidak memiliki status kerja namun terpaksa ikut
bekerja di perkebunan demi mencapai target kerja yang sangat sulit dicapai oleh
satu orang buruh. Istri buruh bekerja
tanpa mendapat balasan upah atas hasil kerja. Pelibatan
isteri untuk ikut bekerja merupakan pemandangan umum yang dapat dilihat di
perkebunan sawit di Indonesia.
Di PT SLM Kalimantan Tengah misalnya, target
kerja buruh pemanen mencapai 180 janjang dengan catatan 100 janjang merupakan
target kerja suami, sementara sisanya merupakan target kerja isteri. Buruh
pemanen di perkebunan ini diwajibkan untuk membawa isteri ke ancak tanpa
perikatan kerja. Penggunaan buruh tanpa perikatan kerja yang jelas
memunculkan persoalan perlindungan tenaga kerja, tidak saja dalam hal
perlindungan upah, tetapi juga jaminan kerja, kesehatan dan hak-hak dasar
lainnya.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Diluar informalisasi hubungan kerja, perlindungan
terhadap keselamatan dan kesehatan kerja buruh perkebunan sawit juga sangat
minim. Kecelakaan kerja yang sering menimpa buruh seperti tertimpa janjang (TBS) dan tersayat egrek. Untuk buruh perempuan,
terpapar gramoxone,
round-up dan terhirup racun pestisida, fungisida dan insektisida merupakan bentuk
kecelakaan kerja yang sering dialami. Kecelakaan kerja
tersebut berdampak pada resiko cacat anggota tubuh seperti mata
buta, kulit
melepuh, sesak nafas atau luka tersayat bahkan kematian. Riset
yang dilakukan Sawit Watch dan Amnesty International pada 2015 di 2 perkebunan
sawit di Kalimantan Tengah, menemukan 3 orang buruh perempuan terkena cairan
gramoxone dan glifosat yang mengakibatkan mata rabun dan terancam buta.
“Saya sudah 12
tahun bekerja disini, pekerjaan saya bermacam-macam, kadang disuruh mupuk,
dongkel anak sawit, sekarang saya deteksi jamur. Waktu mupuk, target kerja saya
itu 3 hektar, pernah saya ngabiskan 25 goni sehari. Saya pindah kerja ke bagian
deteksi jamur karena paru-paru saya bolong kena racun. Gak tahu juga sih kenapa, mungkin kena racun
pupuk itu. Memang waktu kerja dikasi masker, baju, sarung tangan, tapi
hari-hari kita kan megang pupuk terus. Perusahaan tidak pernah periksa kesehatan kami”, kata Nur (38
tahun), buruh perempuan perkebunan sawit di kabupaten Seruyan, Kalimantan
Tengah.
Di Berau Kalimantan Timur, perkebunan sawit yang dimiliki
pengusaha Malaysia hanya menyediakan satu klinik untuk melayani lebih
kurang 600 orang buruh. “Kalau sakit,
harus ada surat dari kantor. Kalau surat itu tak ada, tak bisa diperiksa sama
mantri di klinik”. Kalau sakit biasanya pergi ke
klinik lalu dikasih obat tapi setelah ke klinik disuruh kembali kerja tanpa
diperbolehkan untuk istirahat. Kalau sakit parah seperti mau mati baru
diperbolehkan untuk izin meninggalkan kerja”, kata Mr, buruh perempuan di perkebunan tersebut.
Di salah satu perkebunan sawit di
kecamatan Parenggean, Kotawaringin Timur, 3 orang buruh perempuan penyemprot
terkena percikan Gramoxone. Po dan Ida, buruh penyemprot di perkebunan tersebut
mengaku terkena cairan sewaktu menuang Gramoxone ke Kap (alat semprot). Cairan
beracun tersebut mengenai matanya dan akibatnya kedua korban mengalami sakit di
bagian mata dan harus dirawat di RS Dr Murjani Sampit. Jos, buruh perempuan
penyemprot lainnya mengakui terkena percikan Gramoxone dari Kap di punggungnya.
“Waktu dia melewati titi parit gajah, dia terpeleset, jatuh, punggung dan
matanya terkena percikan racun itu”, demikian menurut suami korban.
Untuk kasus Ida, perusahaan hanya
menyanggupi menanggung pengobatan korban di RS Dr Murjani Sampit. “Perusahaan
mau membantu biaya perobatan ke rumah sakit di Surabaya, tapi ongkos kesana,
kami yang nanggung, kami gak sanggup”, ujar Ida. Perusahaan kemudian
menyarankan korban untuk pensiun dini dengan memberi sejumlah uang. “Kami tak
punya biaya untuk perobatan, jadi tawaran dari perusahaan itu kami ambil saja”,
ujar suami Ida menambahkan.
Sementara itu, untuk kasus Jos,
perusahaan memang merujuk korban ke RS di Banjarmasin, itupun setelah melalui
proses yang panjang. Perusahaan kemudian menyarankan korban agar dioperasi di
RS di Surabaya, namun sampai saat ini tidak jelas apakah biaya perobatan dan
transportasi akan ditanggung perusahaan.
Dari berbagai sumber informasi yang
dihimpun, perusahaan baru melaksanakan pemeriksaan kesehatan terhadap buruh
pada Januari 2015. Hasil dari pemeriksaan tersebut, menurut buruh tidak pernah
disampaikan kepada buruh yang bersangkutan. “Untuk apa kami diperiksa, kalau
hasilnya tak diberikan kepada kami. Alat pelindung diri yang dikasi perusahaan
rasanya tidak layak”, ujar salah seorang mandor di perusahaan tersebut.
Isu buruh perkebunan sawit sepertinya belum menjadi
hal penting dalam pemantauan rantai pasok industri sawit. NGO, aktivis maupun
para pihak dalam rantai pasok industri sawit selama ini lebih memprioritaskan
isu lingkungan, sementara hal-hal yang berkaitan dengan kemiskinan dan ketidakadilan
yang dialami buruh perkebunan cenderung terlupakan. Faktanya, kampanye
orang utan, harimau, gajah, dan hewan lainnya lebih mengemuka dari pada kampanye terhadap kemiskinan yang dialami buruh perkebunan sawit itu sendiri.
Tentu
saja, pemerintah Indonesia perlu menata sistem perburuhan yang menempatkan
buruh sebagai subjek yang hidup layak. Pemerintah selaku regulator perlu menyusun
prinsip kerja layak, sistem monitoring dan evaluasinya yang melibatkan serikat
buruh, NGO dan perkebunan sawit sendiri. Disisi lain, konsumen dan negara
pengimpor sawit harus memastikan penolakannya terhadap sawit yang diproduksi oleh
buruh dalam hubungan kerja eksploitatif.
3 Investigasi
Sawit Watch selama 2014-2015 di beberapa
perkebunan sawit di Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur,
Sulawesi Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar