Pengikut

Minggu, 26 Maret 2017

MP3EI : Perampasan Ruang Kelola Rakyat



Pemerintah Indonesia pada 20 Mei 2011 menerbitkan Peraturan Presiden No. 32 tahun 2011 tentang Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. MP3EI merupakan sebuah rencana pembangunan ekonomi Indonesia yang dirancang untuk mempercepat pengembangan berbagai program pembangunan, terutama dalam mendorong peningkatan nilai tambah sektor-sektor unggulan ekonomi, pembangunan infrastruktur dan energi, serta pembangunan SDM dan IPTEK.



Ambisi yang hendak dicapai pemerintah dengan meluncurkan program MP3EI ini  adalah penempatan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan per kapita yang berkisar antara USD 14.250-USD 15.500 dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USD 4,0-4,5 triliun. Perkiraan pertumbuhan ekonomi riil diproyeksikan sebesar 6,4-7,5 % pada periode 2011-2014, dan sekitar 8,0-9,0 % pada periode 2015-2025. Pertumbuhan ekonomi tersebut akan dibarengi oleh penurunan inflasi dari sebesar 6,5 % pada periode 2011-2014 menjadi 3,0 % pada 2025. Kombinasi pertumbuhan dan inflasi seperti itu dipercaya mencerminkan karakteristik negara maju.



Untuk mencapainya, pemerintah Indonesia akan melakukan tiga visi penting, yaitu: Pertama; Peningkatan nilai tambah dan perluasan rantai nilai proses produksi serta distribusi dari pengelolaan aset dan akses (potensi) SDA, geografis wilayah, dan SDM, melalui penciptaan kegiatan ekonomi yang terintegrasi dan sinergis di dalam maupun antar-kawasan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Kedua; Mendorong terwujudnya peningkatan efisiensi produksi dan pemasaran serta integrasi pasar domestik dalam rangka penguatan daya saing dan daya tahan perekonomian nasional. Ketiga; Mendorong penguatan sistem inovasi nasional di sisi produksi, proses, maupun pemasaran untuk penguatan daya saing global yang berkelanjutan, menuju innovation-driven economy.



Proyek perencanaan pembangunan seperti MP3EI merupakan bagian dari upaya untuk memperdalam “integrasi dan kerjasama ekonomi antar negara Asia secara umum”. Dasar pemikiran utama dari model integrasi ekonomi untuk Asia ini bertumpu pada teori mengenai Geografi Ekonomi Baru (Krugman 1991; 2010) untuk melakukan reorganisasi spasial dan membentuk ulang geografi ekonomi baru dalam rangka memperlancar interaksi dan aliran kapital, barang dan tenaga kerja untuk aktivitas produksi-konsumsi. Asumsi dasar dalam kerangka Geografi Ekonomi Baru ini adalah untuk melahirkan model-model potensi aglomerasi produksi-konsumsi di luar model demand-supply konvensional, seperti model "pusat-pinggiran" yang baru, eksternalitas positif, pembesaran Produk Domestik Bruto (PDB) antar wilayah, serta berbagai perluasan ekonomi sebagai efek dari aglomerasi, maupun memecah hambatan bagi proses aglomerasi.



Kerangka pikir GEB ini kembali digaungkan oleh laporan Bank Dunia (2009), World Development Report, tahun 2009 yang bertajuk “Reshaping Economic Geography”. Laporan Bank Dunia ini berupaya untuk menginvestigasi relasi antara pertumbuhan makro ekonomi dengan pembentukan-ulang geografi pada umumnya dan pembangunan regional. Laporan Bank Dunia ini memiliki konsep dasar bahwa reorganisasi dan penataan geografi yang tepat dapat meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya produksi dan transaksi, serta meningkatkan pertumbuhan.



            Desain MP3EI pada dasarnya merupakan suatu reorganisasi spasial dan produksi ekonomi ruang. Hal itu dapat dibaca dengan menggunakan analisis sirkuit kapital yang diajukan oleh David Harvey. Sirkuit kapital terdiri dari sirkuit primer, sirkuit sekunder dan sirkuit tersier. Sirkuit primer merupakan sirkuit produksi dan konsumsi yang saling berhubungan. Sirkuit primer ini pada gilirannya berhubungan ke sirkuit sekunder dimana surplus kapital dilempar dalam bentuk pembangunan kembali kapital terpasang (fixed capital) dan dana konsumsi (consumption fund) yang keduanya difasilitasi dan dimediasi oleh pasar kapital (finansial) dan peranan negara. Selain ke sirkuit sekunder, pengalihan surplus kapital ini juga mengarah pada sirkuit tersier dalam bentuk belanja-belanja sosial dan riset atau pengembangan. Analisis sirkuit kapital semacam itu dapat menjelaskan desain utama dalam framework MP3EI yang meliputi: pembangunan ekonomi melalui penciptaan koridor (berada dalam sirkuit primer); penguatan konektivitas nasional (berada dalam sirkuit sekunder); penguatan kapasitas sumberdaya manusia dan ilmu pengetahuan dan teknologi (berada dalam sirkuit tersier).   



Dalam kerangka semacam itu, maka MP3EI tak lain adalah suatu produksi ekonomi ruang. Dalam gagasan Harvey, produksi ekonomi ruang adalah sesuatu yang melekat dalam proses akumulasi kapital. Pertukaran barang, jasa dan tenaga kerja selalu melibatkan perubahan lokasi. Pertukaran tersebut juga selalu menciptakan suatu gerak spasial yang saling bertemu sehingga menciptakan geografi manusia yang khas. Munculnya pembagian desa dan kota juga sebagai akibat dari hal ini. Aktivitas kapitalis karenanya selalu menghasilkan pembangunan geografis yang tak seragam. Dorongan kompetisilah yang menyebabkan kapitalis mengejar keuntungan kompetitif dengan memanfaatkan struktur dan keuntungan spasial dan karenanya selalu tergerak untuk untuk mencari lokasi-lokasi yang menguntungkan dimana biaya lebih rendah atau tingkat laba lebih tinggi.



Dalam menghadapi situasi kompetitif semacam itu, maka berbagai cara harus dilakukan para kapitalis agar kekuatan monopolinya tetap bekerja dan awet. Menurutnya, ada dua langkah penting yang pada umumnya dilakukan oleh para kapitalis: Pertama, melakukan sentralisasi kapital secara massif dengan berupaya mendominasi kapital finans, memperkuat posisi pasar, memperbesar skala produksi ekonomis (economy of scale), maupun proteksi terhadap keunggulan teknologi. Kedua, melakukan “anihilasi ruang melalui waktu”. Untuk membuat gerak lancar atas ruang, maka yang dibutuhkan adalah membangun infrastruktur fisik tertentu di dalam ruang tersebut, seperti membangun industri transportasi, komunikasi, rel, jalan raya, pelabuhan, bandara, jaringan kabel dan lain sebagainya untuk mempercepat aliran kapital.



Pendeknya, keuntungan spasial memainkan peranan yang sama dengan keuntungan teknologis. Penjelasan semacam ini diutarakan oleh teoretisi “lokasi klasik”, yang menyatakan bahwa pada akhirnya aktivitas kapitalis dalam penciptaan ekonomi ruang akan menciptakan kesimbangan spasial (spatial equlibrium) di dalam lanskap geografis, yang ditandai oleh tingginya pertumbuhan, padat investasi dan keuntungan, serta lancarnya lalu lintas barang dan buruh.



Namun, keseimbangan spasial di dalam aktivitas kapitalis itu tidak akan pernah terbentuk, karena proses akumulasi kapital akan selalu berekspansi dan selalu mengganggu tendensi terjadinya keseimbangan itu. Perilaku kompetitif akan menciptakan pergerakan terus-menerus dan menciptakan suatu instabilitas yang kronis, karena kapitalis selalu berebut mendapatkan lokasi-lokasi yang lebih istimewa dan kompetitif. Produk akhir dari kompetisi semacam ini adalah munculnya kapitalisme monopoli atau oligopoli. Ringkasnya, menurut Harvey “ketegangan antara kompetisi dan monopoli, antara konsentrasi dan pemecahan, antara menetap dengan bergerak, antara dinamisme dan inersia, dalam berbagai skala aktivitas pada gilirannya akan menciptakan lanskap geografis baru yang bisa memfasilitasi aktivitasnya di suatu waktu dan untuk kemudian dihancurkannya dan dibangun suatu lanskap baru agar kehendak untuk melakukan akumulasi kapital tanpa henti dapat terus berlangsung”. Proses ini merupakan suatu proses penciptaan ekonomi ruang  yang agregat akhirnya adalah suatu penghancuran kreatif atas tanah (creative destruction on the land) secara terus menerus.



Penghancuran kreatif atas tanah selalu diawali dengan proses perubahan kontrol atas tanah. Salah satu hal penting yang harus dilihat dalam konteks MP3EI ini adalah bagaimana kontrol dan penguasaan atas tanah berubah sebagai akibat dari hadirnya kapital yang bekerja di pedesaan. Perubahan semacam itu pada umumnya diakibatkan oleh perubahan dalam land property relations yang dipicu oleh suatu kebijakan atau ketiadaan kebijakan. Hal lain yang harus diperhatikan adalah perubahan tata guna tanah. Arah perubahan tata guna tanah sebagai konsekuensi perubahan kontrol atas tanah ini diarahkan pada perubahan tata guna tanah dari pangan ke non-pangan. Perubahan tata guna tanah ini memiliki dampak dan konsekuensi yang beragam pada mata pencaharian (livelihood) masyarakat setempat.



Perubahan kontrol atas tanah ini dapat dilihat pada pembangunan beberapa proyek besar di Sumatera Utara dalam skema MP3EI. Rencana pembangunan pelabuhan baru di desa Tanjung Rejo, Percut Sei Tuan sebagai bagian Kawasan Ekonomi Khusus guna mendukung MP3EI sebagai contoh telah merubah kontrol rakyat atas tanah. Pembangunan pelabuhan baru ini telah menyebabkan berubahnya peta kepemilikan tanah dan meningkatnya alih fungsi lahan. Di wilayah yang merupakan areal persawahan di desa tersebut marak terjadi praktek jual beli tanah (sawah). Disisi lain, rencana pembangunan pelabuhan ini memberi dampak buruk terhadap nelayan tradisional di desa Percut yaitu semakin jauhnya wilayah tangkapan ikan (perampasan ruang ekonomi).



Perubahan kontrol atas tanah dan perampasan ruang kelola rakyat juga terjadi di sekitar Pelabuhan Kuala Tanjung, Batubara, salah satu proyek yang masuk dalam skema MP3EI. Observasi yang dilakukan menemukan fakta bahwa pesisir pantai telah dikapling-kapling oleh korporasi besar dengan tembok tembok tinggi dengan  tiadanya akses masuk bagi masyarakat umum. Diluar itu, kawasan yang dulunya areal pertanian telah berganti kepemilikan dan menjadi kawasan bisnis. Sebelum pembangunan pelabuhan raksasa tersebut, praktek jual beli tanah telah berlangsung.



Hal yang sama dapat dilihat di lokasi pembangunan bandara internasional Kuala Namu. Sampai saat ini sekitar 40 kepala keluarga, masih bertahan di sekitar bandara karena ganti rugi yang tidak adil. Diluar itu, masyarakat desa Telaga Sari Tanjung Morawa menyatakan penolakannya atas rencana eksekusi tanah mereka yang akan dijadikan jalan arteri menuju Kuala Namu. Regulasi-regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk menyokong pelaksanaan MP3EI telah menyebabkan konflik. Masyarakat dipaksa menerima akibat implementasi MP3EI yaitu penggusuran dan perampasan tanah.



Disisi lain, pembangunan Bandara Kuala Namu akan memunculkan pusat-pusat investasi (penciptaan ruang ekonomi berbasis kapital yang terkoneksi sebagaimana dasar dari MP3EI) seperti industri perhotelan, pemukiman, perdagangan, pertokoan dan investasi lainnya yang merubah tata guna lahan. Tentu saja, penciptaan ruang ekonomi ini hanya bisa dilakukan investor besar dengan dukungan regulasi. Pada tahapan inilah, praktek jual beli tanah yang pada akhirnya merubah kontrol atas tanah dan perampasan tanah terjadi.



Perampasan ruang kelola rakyat pada akhirnya akan memposisikan rakyat pada kelas yang lemah dan tanpa alat produksi. Dalam konteks ini, masyarakat pemilik tanah yang berubah menjadi tenaga upahan merupakan sumber  tenaga kerja murah yang sangat dibutuhkan pasar. Perampasan ruang kelola rakyat secara drastis telah mengubah dinamika struktur agraria dan perubahan pedesaan. Proses yang secara luas terjadi di pedesaan adalah terjadinya gelombang akumulasi  agraria yang memberikan kekuasaan penuh pada kapital domestik dan korporasi internasional. Salah satu bentuk perubahan mencolok saat ini dimana kelas pekerja di pedesaan dan sektor pertanian dengan cepat menghadapi kondisi mata pencaharian yang semakin merosot dan memburuk akibat alih fungsi lahan sebagai akibat industrialisasi.



Penciptaan ruang ekonomi baru adalah sisi lain dari perampasan ruang kelola rakyat. Perampasan ruang kelola rakyat juga adalah kata ganti dari pelucutan rakyat dari faktor-faktor produksi kebutuhan hidup mereka. Perampasan ruang dilihat dalam kerangka bagaimana sarana penghidupan sosial dan sarana produksi ditransformasikan menjadi kapital dan produsen langsung (rakyat) ditransformasi menjadi buruh upahan. Penciptaan ruang ekonomi untuk akumulasi kapital pada kenyataannya justru memperburuk penderitaan rakyat.

Tidak ada komentar: