“Di perkebunan ini, nasib buruh sungguh
mengenaskan sementara manajernya hidup mewah. Tapi yang aneh, mengapa calon
legislatif yang notabene merupakan manajer di perkebunan ini bisa meraup banyak
suara, padahal ia tidak disukai buruh karena kebijakannya yang memberatkan ?
Pertanyaan
tersebut disampaikan seorang peneliti dari Jawa terkait hasil pemilihan umum
legislatif tahun 2009 lalu dimana seorang manajer perkebunan swasta nasional di
Serdang Bedagai meraup banyak dukungan suara khususnya dari pemukiman buruh di wilayah perkebunannya.
Situasi demikian menarik untuk dicermati menjelang Pileg 2014 nanti. Ini
penting dalam rangka memahami bagaimana “keanehan” seperti disebutkan di awal
tulisan ini dapat terjadi.
Kelompok buruh
perkebunan di Sumatera Utara umumnya adalah mereka yang didatangkan
dari Jawa di awal masa-masa pembukaan
perkebunan. Pada tahun-tahun
berakhirnya abad ke 18 , terdapat perubahan dalam kebijakan pemerintah kolonial
Belanda di negeri jajahannya. Pemerintah Belanda semakin mengurangi campur
tangannya dalam perekonomian negeri jajahannya (Indonesia). Penerapan UU
Agraria merupakan salah satu isyarat yang menunjukkan politik ekonomi tersebut
dan ini merupakan cikal bakal politik liberalisme ekonomi Belanda. Politik
ekonomi demikian menyebabkan terbukanya ruang yang sangat besar bagi swasta
untuk berkecimpung di usaha-usaha ekonomi di Hindia Belanda. Konsekuensinya,
perkebunan milik swasta semakin meluas terutama di wilayah Sumatera Timur.
Perkebunan memiliki kekuasaan besar yang pada akhirnya mempengaruhi
pilihan-pilihan privat buruh. Besarnya kekuasaan perkebunan bisa dilihat dalam
bentuk pengaturan ruang. Perusahaan sebisa mungkin menjauhkan buruh dari
ruang yang memungkinkan mereka membangun identitas kelompok tertindas
atau menjauhkan mereka dari akses informasi. Pemukiman pondokan buruh dibangun
sedemikian rupa terkonsentrasi ditengah-tengah perkebunan serta berada dalam
pengawasan dan kekuasaan mandor. Kondisi ini menngakibatkan buruh terisolir
dari segala macam perkembangan-perkembangan di luar perkebunan baik
perkembangan sosial, ekonomi maupun budaya.
Itulah sebabnya di
kalangan buruh tidak terjadi penguatan identitas. Secara teoritis rasa tertekan
dan penderitaan yang mereka alami seharusnya menjadi salah satu faktor
penyebab terjadinya penguatan identitas dan sekaligus menyatukan kepentingan
mereka. Namun pada kenyataannya, hal demikian tidak terjadi. Situasi yang kontradiktif
terjadi akibat realitas buruh dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman
situasional mereka, seperti terbatasnya
ruang mewacanakan kehidupan mereka, keterbatasan pendidikan, ekonomi serta hukum kurang melindungi kepentingan mereka.
Buruh juga
mendapat pengawasan serba ketat dari perusahaan sebagai konsekuensi besarnya
perusahaan yang dimiliki perusahaan. Penggunaan pengawasan untuk mengontrol buruh yang sebetulnya sudah
dalam posisi yang lemah membatasi ruang gerak buruh. Pengawasan buruh ini
dilakukan oleh asisten, mandor, centeng, serikat buruh kuning dan Papam. Pengawasan yang dilakukan
manajemen perkebunan tidak hanya pada saat proses kerja, melainkan dilakukan
pada keseluruhan hidup buruh yakni kerja, relasi sosial, mobilitas, dan
pengetahuan. Sistem pengawasan di perkebunan ini tidak hanya dilakukan secara
internal melalui kebijakan target kerja, cara kerja dan sanksi kerja.
Pengawasan secara eksternal (terhadap relasi dan mobilitas buruh ) juga
dilakukan dengan melibatkan perangkat keamanan perkebunan.
Penataan pemukiman dan pembangunan pemukiman buruh merupakan bagian sistem pengawasan. Pola pemukiman buruh terkonsentrasi dan berada
ditengah-tengah lokasi perkebunan relatif terisolasi jauh dari pemukiman
penduduk. Pemukiman petinggi perkebunan berada paling depan atau jalan masuk
perkebunan. Di pondok (pemukiman buruh) pengawasan juga dilakukan dengan menempatkan
mandor tinggal di pemukiman tersebut.
Relasi
tidak seimbang antara buruh perkebunan dengan manajemen perkebunan bersumber
dari relasi kekuasaan yang timpang antara buruh dan perkebunan. Buruh sebagai
kelas masyarakat yang tidak memiliki modal produksi (kecuali tenaga) sangat
tergantung pada keberadaan perkebunan. Besarnya kekuasaan yang demikian menyebabkan
posisi buruh perkebunan semakin terpinggirkan. Mereka adalah kelompok
masyarakat yang bungkam, tidak bersuara, pasrah pada keadaan. Keluh kesah,
penderitaan mereka tenggelam oleh cerita keberhasilan perkebunan, perluasan
areal perkebunan dan untung besar perkebunan. Berbagai aturan kerja, hukuman
dan sanksi diproduksi demi peningkatan
produktivitas kerja. Bila ada buruh yang mengkritik dan melawan ia akan
menerima hukuman pencabutan hak sebagai buruh
tetap (SKU), potongan upah dan
tunjangan, dimusuhi, diasingkan dari pergaulan sosial dan sebagainya.
Pemilu bagi buruh perkebunan tidak dapat dimaknai sebagai
momentum awal perbaikan nasib. Ekspetasi buruh pasca reformasi 1998 ternyata
kontradiktif dengan realitas yang dihadapi. Munculnya UU No.13 tahun 2003
tentang ketenagakerjaan dipandang buruh justru jauh dari harapan. Dalam kontek
pengupahan misalnya, kepala daerah (bupati atau gubernur) justru tidak berdaya
dihadapan BKSPPS yang sering menetapkan upah dibawah UMK/UMP).
Buruh perkebunan sawit sangat berbeda dengan buruh di lingkungan
industri di perkotaan yang relatif terbuka akses pada informasi dan mobilitas
sosial baik horizontal maupun vertikal. Buruh di perkebunan sawit menghadapi
banyak keterbatasan. Buruh perkebunan adalah kelompok yang mempunyai status
terendah dalam masyarakat perkebunan yang memiliki keterbatasan ruang gerak karena
faktor keberadaan kebun sawit relatif terisolasi dan pengawasan yang dilakukan
perkebunan.
Selain itu keseluruhan praktek kerja mereka berbasis pada
penghisapan. Mulai dari rekruitmen warisan, praktek
outsourcing, pemberlakuan sanksi kerja dikonversikan dengan pengurangan
upah, kriminalisasi, mutasi dan PHK bagi buruh yang kritis terhadap
perusahaan sampai penggunaan manajemen kekerasan dalam bentuk pengerahan
aparat keamanan termasuk premanisme lokal secara berlapis untuk
mengendalikan buruh demi maksimalisasi keuntungan perusahaan.
Akibat upah yang rendah, kaum buruh mesti bekerja keras untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga kelompok ini mesti rela kehilangan
kesempatan untuk terlibat langsung di dalam kegiatan-kegiatan berorganisasi.
Kebanyakan buruh lebih memilih menggunakan waktu luang mencari kerja
tambahan di luar perkebunan, misalnya bertukang membangun rumah. Akhirnya buruh
hanya tertarik berbicara bila itu menyangkut kepentingan-kepentingan jangka
pendek seperti pesangon, status kerja, bonus dan sebagainya.
Bicara partisipasi politik buruh adalah bicara bagaimana
buruh kebun mengartikulasikan kepentingan buruh dalam konteks
pemilu. Dalam konteks pemilihan umum 2014, gejala di lapangan memperlihatkan bahwa
buruh perkebunan masih memandang sebelah mata. Pada Pilgubsu Maret lalu
sebagai contoh, banyak buruh perkebunan tidak berharap banyak bahwa hasil
pilgubsu akan membawa perubahan nasib mereka. Namun situasi demikian tidak
serta merta dapat dikatakan bahwa tingkat partisipasi buruh akan rendah.
Sikap demikian tidak terlepas dari pengalaman dan situasi sosial
dimana mereka hidup. Para petinggi perkebunan terutama pemilik dan
administrator perkebunan merupakan aktor yang sering terlibat dalam partai
atau menjadi caleg dari salah satu partai politik. Perilaku para
petinggi perkebunan sawit yang ikut berpolitik praktis itu kerap menggunakan
kedudukannya untuk memaksa buruh memilih diri atau parpol yang mendukung atau
didukungnya sebagaimana yang terjadi pada pemilu legislatif 2009 lalu. Dikhawatirkan,
petinggi perkebunan juga akan memaksa buruh untuk memilih kandidat yang
diyakini bisa menjamin kepentingan perkebunan.
Pendekatan kekuasaan sengaja digunakan untuk
mendapatkan suara dari buruh. Misalnya saja cara melarang berdirinya bendera
atau baliho dari kandidat lain diluar kandidat yang didukung para petinggi perkebunan.
Demikian pula nasib buruh yang masuk atau ikut terlibat sebagai tim sukses
kandidat lain, biasanya langsung diintimidasi dengan mutasi kerja. Pendekatan
lain yang digunakan elit perkebunan sawit biasanya menggiring buruh memilih kandidat
yang memiliki “gizi” tak terbatas. Tujuannya selain mendapatkan uang dari kandidat,
kelak apabila terpilih, maka kepentingan politik si elit perkebunan tadi akan
diakomodir oleh kandidat terpilih. Sering kali buruh mengidentifikasi kandidat
bukan atas dasar sumbangan terhadap perbaikan kehidupan mereka, tetapi dilihat
dari seberapa banyak sumbangan atau pemberian kandidat tersebut dalam
kegiatan-kegiatan buruh.
Demikian juga karena keterbatasan informasi yang diterima oleh
buruh perkebunan. Hampir dipastikan bahwa hanya kandidat-kandidat tertentu yang
dekat dengan elite perkebunan yang bisa masuk ke daerah perkebunan.
Sungguhpun demikian sering terjadi bahwa perkebunan membatasi partai-partai
politik dalam sosialisasi dan kampanye karena dianggap bisa menganggu proses
kerja. Dalam konteks pemilihan legislatif, sangat sedikit kaum buruh mengetahui
track
record kandidat yang akan bertarung. Oleh karena tidak ada kandidat yang
diketahui dan dipercaya maka hubungan kesukuan, agama dan daerah dipakai
sebagai ukuran buruh menentukan pilihan politiknya.
Hal lain, sebagaimana gejala umum kekecewaan masyarakat terhadap
hasil pemilu, di kalangan buruh perkebunan juga terjadai hal yang sama. Keengganan
wakil rakyat hasil pemilu sebelumnya dalam mendukung perjuangan memenuhi
hak-hak normatif buruh perkebunan selama ini menjadi dasar penilaian buruh yang
sangat menentukan partisipasi politiknya dalam Pileg 2014. Bila partisipasi buruh
perkebunan dalam Pileg 2014 mendatang tinggi, tidak serta merta dapat dikatakan
bahwa itu merupakan buah dari kesadaran politik. Mobilisasi dukungan kepada
kandidat tertentu dengan ancaman mutasi atau PHK sebagaimana kecendrungan yang
terjadi pada pemilu legislatif lalu setidaknya dapat dipandang sebagai faktor
penyebab utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar