Menjelang
pergantian tahun, kontroversi penetapan besarnya upah minimum selalu menjadi
fenomena rutin di berbagai daerah. Ironisnya, penetapan upah yang telah dilaksanakan
melalui rangkaian proses panjang itu hampir pasti menimbulkan ketidakpuasan di
salah satu pihak terutama buruh. Sistem pengupahan ditetapkan berpatokan pada
kebutuhan hidup “layak” dari survei harga sejumlah kebutuhan pokok sampai
pengusulan angka kebutuhan hidup layak (KHL) yang dilakukan oleh Dewan
Pengupahan Daerah (Depeda) yang kemudian ditetapkan oleh Gubernur.
Meskipun
telah melalui tahap demi tahap, penetapan upah minimun selalu ramai diprotes
oleh aktivis gerakan buruh di berbagai daerah. Pemerintah selalu berkilah
berada dalam posisi yang sulit, dilematis, dan terjepit dalam menentukan sikap mengatasi masalah
ketenagakerjaan. Pemerintah lebih
mendahulukan kepentingan pemodal (investasi) dengan alasan demi
kepentingan mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan mengatasi masalah pengangguran
sehingga “memaksa” kebijakan pengupahan
buruh berbasis “sekedar bertahan hidup”.
Sedangkan
buruh mendesak agar upah dinaikkan dalam skala yang dapat memenuhi kebutuhan
hidup layak karena dalam kenyataannya harga kebutuhan pokok terus membubung
tinggi tidak sebanding dengan kenaikan
upah yang diperbaharui setiap tahunnya. Pihak pengusaha pun tidak kalah
menggertak. Pengusaha sering mengancam bila upah selalu dinaikkan, PHK tidak akan
terhindarkan atau bahkan berancang- ancang akan merelokasi perusahaan ke daerah
lain yang upahnya lebih rendah. Bila terjadi rasionalisasi tenaga kerja, jelas
akan berimplikasi negatif terhadap kondisi makro perekonomian Indonesia
terutama makin bertambahnya angka pengangguran.
Bila
besaran upah buruh industri di perkotaan diusulkan oleh Depeda yang kemudian
ditetapkan oleh Gubernur, maka di perkebunan besaran upah buruh ditetapkan
melalui Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Badan Kerjasama Perusahaan Perkebunan
Sumatera (BKSPPS) dengan serikat buruh SPSI sebagai satu-satunya serikat
pekerja yang diakui untuk menandatangani PKB tersebut. Tidak berbeda dengan
upah buruh industri, realitas pengupahan di perkebunan tetap
mengacu pada pradigma pengupahan property
private. Dengan pandangan bahwa buruh hanya memiliki tenaga yang kemudian diserahkan melalui
proses produksi kepada pemilik modal. Sebagai hasil dari penyerahan tenaga
dalam produksi, buruh kemudian menerima upah sesuai dengan tenaga dan waktu
yang diberikannya dalam proses produksi.
Upah
yang diberikan tetap dalam kerangka “jaring pengaman sosial” dalam bentuk
penetapan upah minimum berbasis kebutuhan hidup miniman (KHM) buruh lajang dan masa kerja kurang dari 1 tahun yang
dikonversi dalam bentuk uang (moneterisasi upah) serta komponen natura terdiri
atas beras. Penetapan besar kenaikan upah setiap tahunnya tetap
mempertimbangkan kesesuaian dengan “pertumbuhan ekonomi” dan kondisi
perusahaan. Hal ini berarti bahwa prinsip utama kenaikan upah buruh
tergantung pada “pasar” dan bukan pada prinsip pemenuhan kebutuhan pokok buruh
terdiri atas sandang, pangan dan papan sebagaimana sistem pengupahan berbasis
kesejahteraan yang pernah diberlakukan pasca kemerdekaan terutama di perusahaan
yang berbasis ekplorasi sumber daya alam seperti perusahaan perkebunan.
Besar
upah yang diterima buruh perkebunan tersebut
justru berada dibawah UMP. Pada tahun 2010 misalnya, buruh perkebunan di
3 kabupaten (Asahan, Langkat dan Serdang Bedagai) menerima upah minimum sebesar
Rp 1.005.000/bulan. Upah ini sebenarnya lebih besar bila dibandingkan dengan
UMP Sumut tahun 2010 sebesar Rp 965.000. Namun besaran upah yang ditetapkan
BKSPPS ini justru dibawah UMK yang ditetapkan 3 kabupaten pada tahun tersebut
dimana UMK kabupaten Asahan sebesar Rp
1.014.000, Langkat sebesar Rp 1.050.000 dan UMKS Perkebunan Serdang Bedagai
sebesar Rp 1.083.500.
Situasi
yang sama berulang pada tahun 2011. Upah minimum yang diterima buruh perkebunan
sesuai dengan PKB adalah sebesar Rp 1.090.425/bulan. Ini lebih rendah dari
besaran upah yang ditetapkan kabupaten Batubara yang sebesar Rp 1.156.000 atau
Deli Serdang sebesar Rp 1.170.000. Perusahaan perkebunan di 2 kabupaten ini
hanya mau membayar upah buruh Rp 1.090.425 sesuai dengan PKB BKSPPS-serikat
buruh.
Ditinjau
dari aspek hukum, jelas bahwa penetapan besaran upah tersebut sudah melanggar UU
Ketenagakerjaan. Pasal 91 ayat 1 UU Ketenagakerjaan menyatakan “pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas
kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat
buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sejatinya penetapan tersebut
batal demi hukum, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 91 ayat 2 UU
Ketenagakerjaan “dalam hal kesepakatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum dan
pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan
perundang-undangan”.
Kenyataannya, tidak ada tindakan apapun yang diambil oleh
pemerintah daerah yang mewakili peran negara terhadap pelanggaran ini. Justru
kemudian, yang diwacanakan adalah mekanisme penetapan tersebut sudah
berlangsung demokratis antara perkebunan dengan serikat buruh. Padahal, tidak
semua buruh perkebunan menjadi anggota serikat pekerja yang dimaksud, namun
keputusan itu diberlakukan untuk seluruh buruh perkebunan.
Sistem penetapan upah sebagaimana praktek di perkebunan telah
berlangsung lama dan tanpa pengawasan dari negara (disnaker). Diluar itu,
praktek pengupahan sewenang-wenang juga
banyak ditemui di perusahaan perkebunan atau pengupahan dibawah UMP dan
UMK. Praktek pengupahan diperkebunan misalnya sangat diskriminatif tercermin dari
kesenjangan pengupahan kepada pihak manajemen dengan pihak buruh perkebunan,
pemberian upah dibawah UMP propinsi, pelonggaran jaminan kerja dan jaminan
keselamatan dan kesehatan kerja buruh akibat perubahan organisasi produksi
perkebunan yang lebih mengutamakan outsourcing dan buruh harian lepas
dari pada buruh tetap (SKU). Ketiadaan
peran negara dalam mengawasi sistem penetapan upah dan praktek pengupahan di
perkebunan telah menempatkan perkebunan menjadi pemilik kuasa atas kehidupan
buruh dan memiliki kuasa penuh mengeluarkan kebijakan perburuhan.
Walaupun dalam penetapan besaran upah perkebunan tersebut
dihasilkan melalui PKB dimana keterlibatan serikat buruh ada didalamnya, namun harus
dilihat bahwa keterlibatan SB tidak membantu, malah justru melegitimasikan upah
murah yang diterima. Dengan demikian,
upaya demokratisasi proses perumusan dan penetapan upah masih dalam tataran prosedural semata,
belum menyentuh akar persoalan yaitu substansi demokratisasi ekonomi bagi
buruh.
Besar upah
yang ditetapkan jelas tidak bisa menjamin hidup buruh lebih layak, apalagi
untuk mensejahterakan. Dari sisi kebutuhan buruh, diperoleh catatan belanja
buruh sebatas pengeluaran rutin belum termasuk pengeluaran seperti pakaian dan peralatan rumah tangga sudah
mencapai Rp. 1.296.700. Sementara upah tertinggi yang mungkin
diperoleh buruh kebun yang berstatus buruh tetap (SKU) hanya mencapai Rp.
1.335.000 per bulan. Bandingkan dengan upah yang diterima tingkat manajemen yang
memperoleh upah di kisaran 4 juta sampai 20 juta/bulan lengkap dengan fasilitas perumahan, transportasi serta
pelayanan kesehatan yang lebih.
Ketika
kebijakan negara memberi keleluasaan terhadap modal dalam bentuk investasi di perkebunan,
terjadi apa yang disebut dengan “monoterisasi” upah, dimana catu 11 yang dulu
pernah dinikmati buruh dikonversikan dalam bentuk uang sebagai cikal bakal
pengupahan berbasis kebutuhan hidup minimal (KHM) yang terstandarisasi dalam
bentuk UMP sama pada semua sektor. Khusus di perkebunan, perusahaan tidak lagi
diwajibkan memenuhi “perumahan” bagi buruh, yang tersisa saat ini upah dalam
bentuk natura hanyalah beras untuk tanggungan 3 orang anak.
Pengalaman buruk perburuhan jaman kolonial seharusnya menjadi
bahan bagi negara untuk memikirkan hukum perburuhan yang memproteksi kepentingan
buruh. Tercatat, pasca kemerdekaan, secara konsisten pemerintah pada waktu itu
memperjuangkan hubungan kerja majikan-buruh
bersifat kolektif berbasis kesejahteraan. Kebijakan pemerintah waktu itu
juga didukung oleh peranan serikat buruh berupa tekanan-tekanan politik kepada
pemilik modal sehingga kebijakan-kebijakan perburuhan dan kebijakan perkebunan
sangat responsif terhadap kepentingan buruh. Kebijakan perkebunan terkait
dengan sistem pengupahan sekitar tahun 1950-an adalah pengupahan yang berbasis
kebutuhan sandang, pangan dan papan, dimana selain menerima upah dalam bentuk
nominal, buruh perkebunan juga menerima upah dalam bentuk natura yang dikenal
dengan “Catu 11” dan perumahan.
Negara
seharusnya turun tangan mendelegitimasi kebijakan-kebijakan perkebunan yang
mengancam kelangsungan hidup yang layak
bagi buruh. Namun dalam konteks pengupahan di perkebunan, negara memilih tidak
berperan atau justru takluk pada kekuatan kapital perkebunan.
*Dimuat Di Harian Medan Bisnis 21 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar