Tidak dimungkiri, sistem kerja yang berlaku saat ini tidak
memiliki kepastian kerja dan perlindungan bagi buruh maupun calon buruh. Salah
satu pangkal masalahnya adalah pembolehan perekrutan tenaga kerja kontrak
sementara yang dilakukan secara langsung maupun melalui agen tenaga kerja
(outsourcing). Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), jumlah agen
outsourcing terus bertambah dan mencapai 1.200 perusahaan, di mana 80 persen di
antaranya merupakan agen yang tidak memiliki dasar hukum. Penelitian Akatiga,
FSPMI dan FES di industri metal di Indonesia (2010) menyatakan bahwa sistem
kerja outsourcing telah menimbulkan praktek diskriminasi dan eksploitasi
yang mengarah pada pelanggaran sistematis Konvensi inti ILO tentang kebebasan
berserikat dan tentang kesetaraan upah untuk pekerjaan dan jabatan yang sama.
Sebenarnya, pelanggaran agen outsourcing dapat ditindak dengan
dicabut izinnya sebagaimana diatur dalam Kepmenakertrans No. 101/MEN/VI/2004
tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Bahkan jika
terbukti terdapat pelanggaran, maka hubungan kerja dapat beralih dari
perusahaan outsourcing ke
perusahaan pemberi kerja. Sayangnya, sistem pengawasan di tingkat pusat maupun
daerah tidak dapat berjalan dengan maksimal. Pengawas ketenagakerjaan mengalami
banyak kendala. Pada akhirnya sistem ketenagakerjaan di tiap sudutnya merupakan
persoalan.
Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor
27/PUU-IX/2011 tentang
Outsourcing, telah memutus bahwa sistem kerja outsourcing bertentangan dengan
UUD 1945 kecuali jika memenuhi syarat-syarat tertentu.
Kemenakertrans pun telah menindaklanjuti putusan tersebut dengan Surat Edaran
Nomor B.31/PHIJSK/I/2012. Surat edaran tersebut di antaranya menetapkan bahwa
perjanjian kerja antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya yang tidak
memuat syarat adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang
obyek kerjanya tetap ada (sama), maka harus didasarkan pada Perjanjian
Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Di kalangan serikat buruh putusan MK menuai tanggapan beragam. Sebagian menganggap bahwa putusan tersebut
merupakan jawaban atas persoalan massifnya praktek outsourcing di Indonesia.
Sementara, sebagian lagi beranggapan bahwa putusan tersebut tidaklah menjadi
jawaban kebutuhan buruh selama UU 13 tentang Tenaga Kerja yang melegalkan
outsourcing tetap berlaku. Di sisi lain, kalangan pengusaha menganggap
putusan tersebut sebagai ancaman terhadap iklim investasi.
Jumlah status buruh tidak tetap di industri perkotaan maupun di perkebunan kian hari jumlahnya meningkat. Sejatinya, keberadaan buruh tidak
tetap ini bukan fenomena baru. Jika pada zaman kemerdekaan persoalan buruh kontrak merupakan warisan kolonial,
kini, buruh kontrak merupakan kelanjutan dari peraturan di zaman Orde Baru dan semakin meluas ketika UUK Nomor 13 disahkan.
Dalam konteks perkebunan, putusan MK tentang Outsourcing baru-baru ini, ternyata tidak memberikan
dampak apa-apa terhadap hubungan kerja antara buruh dan perkebunan. Praktek outsourcing tetap saja berlangsung dengan massif tanpa ada pengawasan dan
tindakan dari pemerintah (Dinas Tenaga kerja). Informalisasi tenaga kerja dan
pemindahan tanggungjawab kepada buruh merupakan fenomena yang senantiasa dapat
dilihat di perkebunan. Hal ini merupakan
bagian dari perubahan strategi perkebunan dalam rangka mengelak dari berbagai
biaya ketenagakerjaan. Bentuk yang dikembangkan antara lain mengatur sistem
kerja buruh yang berdampak pada kecilnya upah dan hubungan kerja yang bersifat
fleksibel seperti buruh harian lepas, buruh kontrak atau buruh borongan yang
bekerja dengan target tinggi dengan upah minimal.
Fenomena lain yang massif di perkebunan adalah
berkembangnya agen outsourcing yang berasal dari individu-individu (buruh dan
bukan buruh) yang memiliki kedekatan dengan perkebunan. Bila mengacu pada peraturan, agen outsourcing
dapat ditindak dengan mencabut izin usahanya. Namun bagaimana dengan agen (individu)
yang tidak memiliki dasar hukum ? Praktek outsourcing semacam ini lazim
ditemukan di perkebunan di Sumatera Utara. Praktek outsourcing seperti ini
umumnya dipraktekkan dalam 2 model.
Pertama, pemindahan pekerjaan (pemborongan) dari perkebunan ke individu
yang bukan buruh. Individu yang menerima “borongan” tersebut
lalu mencari buruh untuk mengerjakan pekerjaan tersebut. Jenis pekerjaan yang
diberikan kepada orang-orang tertentu itu adalah pemancangan, penanaman,
penyemprotan, dan pemumpukan. Biasanya tenaga yang direkrut berasal dari warga lokal dan sebagian besar
adalah perempuan. Besaran upah yang diterima para berada pada kisaran Rp 15.000
s/d Rp 22.000,-.per hari. Hubungan kerja semacam ini berlangsung lama hingga
puluhan tahun. Sebutan untuk hubungan kerja semacam ini biasa disebut sebagai
buruh kontraktor, walaupun faktanya adalah buruh outsourcing.
Mereka disebut sebagai buruh kontraktor, karena mereka menerima upah dari agen
tersebut (yang disebut
kontraktor).
Model lain yang
bisa ditemukan di perkebunan di Sumatera Utara adalah penerapan sistem kerja
ancak mandiri. Model ini diterapkan oleh perkebunan
khususnya untuk pekerjaan memanen. Sistem ini mengharuskan buruh pemanen (SKU)
mengerjakan target berdasarkan luas dan
waktu tertentu. Buruh pemanen diharuskan untuk mengerjakan lahan seluas 30
hektar dalam waktu 12 hari. Untuk menyelesaikan pekerjaan ini, buruh pemanen
harus mengerahkan minimal 2 orang tenaga kerja. Mereka kemudian diberi
upah oleh buruh pemanen yang mempekerjakannya. Sistem demikian memaksa buruh pemanen
pada akhirnya menjadi agen outsourcing.
Tenaga kerja yang dikerahkan, biasanya warga lokal. Mereka hanya memperoleh
upah, tanpa jaminan kesehatan dan tidak mendapatkan hak-hak lainnya. Sistem ini
merupakan modifikasi peralihan tanggungjawab perkebunan kepada buruh yang dilakukan
secara rapi dengan alasan pemenuhan target kerja.
Dalam konteks
yang lebih luas, penerapan sistem mandiri ini sebenarnya merupakan strategi
perusahaan untuk mengurangi biaya untuk upah buruh. Dengan sistem ini, secara
halus tanggungjawab perusahaan untuk memberi upah dipindahkan menjadi
tanggungjawab buruh pemanen. Buruh yang bekerja dalam sistem mandiri untuk
dapat mencapai target, harus membawa 2 orang buruh pembantu. Buruh tersebut
sama sekali tidak mempunyai hubungan formal (ikatan kerja) dengan perusahaan.
Hal menyangkut upah dan jaminan pengobatan apabila terjadi kecelakaan kerja
menjadi tanggungjawab buruh pemanen semata, tidak menjadi tanggungjawab
perusahaan.
Hal lain yang menjadi dampak dari
penerapan sistem mandiri ini adalah pengurangan buruh dibagian produksi
(pemanen). Semakin luas lahan yang menjadi target kerja, maka semakin sedikit
pula jumlah buruh tetap (SKU) yang dibutuhkan. Akibatnya, terbuka peluang yang
sangat besar bagi terjadinya pengurangan buruh tetap. Inilah yang kemudian
mendorong terjadinya pemutusan hubungan kerja atau pergeseran status dari buruh
tetap menjadi buruh kontrak atau buruh harian lepas (BHL).
Bila dilihat dari sisi kebijakan, praktek outsourcing dan buruh murah
diperkebunan berlangsung massif disebabkan faktor dilegalkannya outsourcing oleh pemerintah. Di sisi lain, meningkatnya jumlah pengangguran
turut memberi andil dalam praktek outsourcing tersebut. Dalam konteks perkebunan,
industrialisasi perkebunan turut memberi andil dalam hal peningkatan
pengangguran ini. Banyak perkebunan yang secara sepihak
menyerobot lahan-lahan petani. Akibatnya banyak petani yang tidak lagi memiliki
tanah dan sebagian besar pada akhirnya
memilih bekerja di perkebunan yang umumnya berstatus BHL. Di sisi lain, tingginya alih
fungsi lahan pertanian oleh ekspansi perkebunan mengakibatkan sektor pertanian rakyat yang sudah minim,
tidak lagi mampu menampung tenaga kerja. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh perkebunan untuk menampung buruh dengan biaya murah, wujudnya adalah membengkaknya BHL di
perkebunan. Tiadanya
pilihan lain untuk bertahan hidup bagi pencari kerja di sekitar
perkebunan, sehingga bekerja
sebagai buruh outsourcing atau BHL di perkebunan menjadi satu-satunya pilihan.
Situasi demikian menguatkan kecenderungan perubahan (pergeseran) struktur masyarakat (pedesaan) yang tinggal disekitar perkebunan
dari “jaminan atas pekerjaan dan kehidupan
yang layak” bagi petani, buruh dan komunitas masyarakat sekitar kebun ke
arah bekerja/berusaha tanpa
memperoleh jaminan akan kehidupan
yang layak. Kondisi seperti ini menjadi persoalan besar dalam rangka mengatasi
praktek outsourcing atau pengangguran di Indonesia. Setidaknya re-distribusi kepemilikan
tanah dari kepemilikan perkebunan besar menjadi kepemilikan masyarakat sekitar
perkebunan dapat menjadi catatan bagi pengambil kebijakan dalam memandang
permasalahan ini.
*Dimuat di Harian Medan Bisnis 14 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar