Pada
2009 organisasi pangan dunia (FAO) meluncurkan tema
kampanye global untuk mengatasi krisis pangan.
Pemerintah Indonesia merespons kampanye tersebut dengan menyatakan kesiapan
mendukung pemenuhan pangan dunia. Indonesia menyatakan siap menjadi lumbung
pangan dunia.
Namun,
cita-cita besar pemerintah tidak dibarengi dengan pengadaan lahan kepada
masyarakat. Justru yang terjadi adalah konflik dan perebutan lahan antara
masyarakat dan perusahaan-perusahan perkebunan. Di sisi lain, alih fungsi lahan
pertanian pangan menjadi kawasan perkebunan dan pemukiman cenderung meningkat
setiap tahunnya. Data kementerian pertanian menunjukkan rata-rata alih fungsi
lahan pertanian setiap tahun mencapai 140 ribu hektar. Konversi lahan yang
paling memprihatinkan terjadi di Jawa,
diikuti di Kalimantan, Sumatera, dan Bali. Di Sumatera dan Kalimantan, lahan
pertanian terutama sawah berubah menjadi lahan perkebunan sawit.
Tingginya alih fungsi lahan sawah ini makin menguatkan indikasi bahwa kebijakan pengendalian
alih
fungsi
lahan pertanian yang ada
belum
efektif.
Disamping
itu
minimnya pembangunan maupun rehabilitasi sarana produksi pertanian disinyalir
menjadi faktor lain yang mempengaruhi petani mengalihfungsikan
lahan pertanian pangannya ke non pangan
atau justru menjual lahan
yang kemudian
beralih fungsi menjadi
perkebunan atau pemukiman.
Lahan pertanian di Indonesia sebagian besar terdapat di wilayah
pedesaan. Seiring dengan perkembangan, desa
di Indonesia mengalami banyak perubahan. Desa yang senantiasa melekat
dengan dunia pertanian menghadapi
banyak tantangan terkait dengan alih fungsi lahan sebagai
dampak dari serbuan industrialisasi.
Rencana pemerintah memperkuat
lumbung pangan ternyata hanya diatas kertas semata. Keberpihakan terhadap
lumbung pangan ini tidak tercermin
dari kebijakan yang
sifatnya melindungi lahan persawahan serta mencegah alih fungsi.
Kecendrungan yang terjadi adalah pemerintah lebih mengutamakan pemanfaatan SDA
oleh pemodal besar, ekspansi lahan untuk
perusahaan perkebunan, pembiaran pemerintah atas rusaknya sarana
produksi pertanian.
Fenomena diatas dapat
dilihat pada desa pertanian pangan di Kecamatan
Percut Sei Tuan dengan total lahan sawah produktif sekitar 4.600 hektar.
Wilayah ini merupakan salah satu lumbung beras bagi Kabupaten Deli Serdang,
Sumatera Utara. Total produksi gabah petani di daerah itu dalam setiap panen
minimal rata-rata 6 ton per hektar. Para petani di kecamatan yang berbatasan
langsung dengan kota Medan itu dalam satu tahun mampu melaksanakan dua kali
panen.
Sentra produksi pangan terbesar di
Percut Sei Tuan tersebar di Desa Pematang Lalang, Cintai Damai, Tanjung
Selamat, Tanjung Rejo, Percut dan Desa Cinta Rakyat. Selama ini lahan sawah di
enam desa itu mengandalkan air irigasi dari Bendungan Bandar Sidoras. Namun
sejak Maret 2011, sebagian bangunan fisik bendungan tersebut jebol dan tidak
mampu mengairi lahan sawah petani setempat.
Selain
ancaman kekeringan, pasca-kerusakan bendungan tersebut, sekitar 4.000 hektare
lebih areal sawah petani di Kecamatan Percut sei Tuan telah dua kali direndam
banjir. Kerusakan bendungan itu membuat cemas para petani setempat, terutama
saat menjelang musim panen. Selama ini
bendungan itu berfungsi sebagai penyediaan air bersih, irigasi untuk mengairi
sawah dan pengendali banjir.
Faktor lain yang
sangat mempengaruhi kesinambungan lumbung pangan ini adalah adalah rencana besar
pemerintah Sumatera Utara menjadikan Percut Sei Tuan sebagai kawasan yang masuk
dalam 10 proyek pembangunan Medan-Binjai-Deliserdang-Karo (Mebidangro). Sesuai
dengan rencana itu, kawasan Percut Sei Tuan akan dijadikan kawasan ekonomi
terpadu. Rencana ini tentu saja tidak memperhatikan posisi Percut Sei Tuan
sebagai kawasan lumbung pangan bagi Deli
Serdang.
Kawasan ekonomi Percut Sei Tuan
direncanakan dalam bentuk kawasan industri dan pergudangan untuk memanfaatkan
potensi yang ada sesuai dengan rencana perluasan Kawasan Industri Medan (KIM).
Perluasan kawasan industri ini telah menyebabkan berubahnya peta kepemilikan
tanah dan meningkatnya alih fungsi lahan menjadi pergudangan dan
lokasi pabrik di kawasan Percut Sei Tuan, terutama desa Tanjung Selamat. Luas lahan persawahan di desa ini awalnya mencapai 600 hektar, sekarang tinggal 200 hektar
lokasi pabrik di kawasan Percut Sei Tuan, terutama desa Tanjung Selamat. Luas lahan persawahan di desa ini awalnya mencapai 600 hektar, sekarang tinggal 200 hektar
Disamping rusaknya sarana produksi dan
ekspansi industrialisasi, persoalan alih fungsi hutan mengrove di pesisir
Percut Sei Tuan tentu tidak boleh dilupakan. Kawasan mangrove atau hutan bakau
amatlah penting artinya bagi masyarakat pesisir Percut Sei Tuan. Saat ini
terdapat sekitar 500 hektar hutan mangrove di pesisir Pantai Labu dan Percut
Sei Tuan telah beralih fungsi menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Alih
fungsi lahan diperkirakan terjadi sejak tahun 2008. Padahal sebagian besar
status lahan yang sudah beralih fungsi itu sebelumnya ditetapkan sebagai jalur
hijau dan hutan mangrove.
Konversi mangrove
menimbulkan permasalan baru bagi nelayan dan masyarakat pesisir Percut Sei
Tuan. Terdapat 53 kelompok nelayan yang menerima dampak alih fungsi hutan
mangrove ini. Dampak tersebut antara lain abrasi pantai akibat konversi
ekosistem mangrove, hilangnya sebagian tempat mencari nafkah masyarakat,
hilangnya kesempatan memanfaatkan lahan darat untuk pertanian dan menurunnya
pendapatan nelayan akibat tangkapan berkurang. Selain itu, musnahnya
produktivitas perikanan dan hilangnya habitat pesisir lainnya serta kian
meningkatkan kerentanan masyarakat pesisir atas badai dan gelombang tinggi.
Alih fungsi hutan
mangrove ini tidak saja memberikan dampak buruk bagi nelayan, tetapi juga bagi
petani. Tertutupnya saluran pembuangan air hujan menuju laut menimbulkan
kekhawatiran petani akan banjir. Saluran ini tertutup oleh perkebunan sawit
yang dibuka diatas hutan mangrove yang selama ini dipergunakan sebagai jalur
pembuangan air hujan menuju laut.
Realita diatas menunjukkan ketidaksinkronan
rencana pemerintah dengan kebijakan yang dikeluarkan. Disatu sisi, pemerintah mengkampanyekan
penghentian alih fungsi lahan pertanian, namun disisi lain pemerintah
memberikan kemudahan perizinan pembangunan
industri yang mengambil lokasi di
wilayah pertanian. Kondisi demikian diperburuk dengan minimnya perhatian
pemerintah terhadap rehabilitasi sarana pendukung produksi pertanian pangan. Pemerintah
perlu menyadari bahwa ketahanan pangan sebagaimana yang sering didengungkan
tidak akan bisa diwujudkan tanpa adanya perlindungan terhadap lahan pertanian
pangan.
Lebih jauh, wujud
desa semakin hilang bersamaan dengan
kapitalisasi yang masuk ke ranah desa,
bersama dengan pembangunan yang berorientasi pada
pertumbuhan dan industrialisasi. Sumberdaya ekonomi yang tumbuh di kawasan desa diambil
oleh negara dan pemilik modal, sehingga desa kehabisan sumberdaya
dan menimbulkan arus urbanisasi penduduk desa ke kota. Harus
diingat bahwa, desa sebenarnya merupakan basis penghidupan sebagian besar
rakyat Indonesia, mengingat
lebih dari 60%
penduduk Indonesia tinggal di desa. Tetapi selama
ini kebijakan pembangunan tidak berpihak terhadap desa,
sehingga yang terjadi desa hanya menjadi obyek
pengaturan demi kemajuan kota.
Ketika pertanian sebagai basis
ekonomi digantikan oleh industrialisasi, maka hal yang berubah bukan hanya corak
produksi, tetapi juga aspek kepemilikan tanah. Pada akhirnya, sebagian besar
pemilik atau pihak yang dapat memanfaatkan sumber daya pedesaan, adalah mereka
yang justru berada di luar wilayah desa itu sendiri. Desa kemudian menjadi wilayah penyedia alat produksi semata (tenaga
kerja), sementara masyarakatnya tidak
memperoleh manfaat dari pengolahan sumber daya alam di atas tanah itu sendiri.
*Dimuat di Harian Medan Bisnis 30 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar