Sejarah perkebunan di Indonesia harus dilihat dari persfektif ekonomi politik. Perkebunan lahir dari kebijakan politik yang ditentukan oleh corak produksi suatu negara. Ini penting, dalam rangka melihat bagaimana perkebunan mampu bertahan dan bagaimana perkebunan menciptakan penindasan.
Perkebunan di Indonesia merupakan produk sistem ekonomi kapitalis yang masih bertahan sampai saat ini. Perkebunan merupakan pendukung pertumbuhan industri yang mulai berkembang di negara-negara Eropa pada abad 18. Perkebunan di Indonesia selalu tidak terlepas dari watak eksploitatif dan penindasan. Sistem ekonomi perkebunan digerakkan oleh modal besar, teknologi, tenaga kerja murah dan pasar internsional. Perkebunan memiliki ciri antara lain : Pertama, sistem ekonomi perkebunan dilandasi paradigma bahwa ekspor hasil perkebunan harus diprioritaskan demi pertumbuhan ekonomi nasional. Kedua, perkebunan menguasai dan memiliki peluang sangat besar untuk menguasai tanah yang tidak terbatas. Ketiga, kebutuhan akan tenaga kerja murah sangat besar. Keempat, pengelolaan perkebunan sangat ketat. Kelima, kehidupan perkebunan umumnya tidak terjangkau oleh kontrol sosial, karena dikondisikan untuk terisolasi dari masyarakat luar.
Perkebunan dan negara merupakan dua lembaga yang sejak jaman penjajahan hingga saat ini selalu berkolaborasi. Negara, menggunakan perkebunan sebagai alat penghasil devisa guna menunjang pertumbuhan ekonomi. Sementara, perkebunan menggunakan negara untuk menjamin dan memperlebar kekuasaan ekonominya. Ini dapat dilihat dari jaman penjajahan hingga pergantian rejim penguasa di Indonesia, perkebunan selalu mampu bertahan.
Di masa penjajahan, perkebunan dijadikan sebagai alat untuk menghasilkan devisa bagi Belanda. Sistem tanam paksa di perkebunan oleh pemerintahan kolonial Belanda ternyata mampu menyelamatkan Belanda dari krisis utang. Perkebunan besar selalu selalu adaptif- dinamis menyesuaikan jaman. Komoditas-komoditas usaha perkebunan besar boleh berubah menyesuaikan kebutuhan pasar dunia tetapi sistem perkebunan besar masihlah kokoh berdiri. Saat ini, komoditas kelapa sawit adalah komoditas yang ekspansi kebun besarnya sangat massif dilakukan, dimana perluasan perkebunan kelapa sawit mencapai sekitar 600-700 ribu per tahun.
Dampak kapitalisasi terhadap pemilikan dan penguasaan tanah (lahan) telah menjadi permasalahan besar. Gejala yang muncul dipermukaan adalah konflik vertikal kepemilikan lahan. Di Sumatera Utara, hampir semua perusahaan perkebunan besar baik milik negara, swasta asing dan swasta nasional pernah dan masih terus ada bersinggungan konflik lahan dengan masyarakat lokal. Kehadiran perkebunan bisa jadi menjadi konflik horizontal (antar masyarakat) karena ada yang pro-perkebunan dan anti perkebunan serta konflik vertikal (kelembagaan/pemerintahan). Praktek perampasan tanah-tanah rakyat di Sumatera Utara melalui tindakan kekerasan, ini telah menjadi warisan sumber masalah pertanahan yang potensial meledak menjadi gejolak sosial. Saat ini, satu persatu tuntutan masyarakat bermunculan ke permukaan.
Konflik mengenai tanah sepertinya telah menjadi bagian inheren dari usaha perkebunan kelapa sawit. Konflik pertanahan telah dikategorikan sebagai salah satu dampak dari kehadiran perkebunan sawit. Sejauh ini, dua soal yang selalu menghiasi konflik ini adalah penyerobotan tanah-tanah ulayat serta bentuk dan besaran ganti rugi. Para pelaku usaha perkebunan sawit dan pemerintah dianggap tidak menghormati hukum adat dan tanah adat, utamanya tanah ulayat.
Pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit sering berlangsung tanpa diketahui oleh masyarakat lokal pemilik tanah. Upaya masyarakat lokal untuk mendapatkan sertifikat kepemilikan lahan sering terbentur pada akses yang minim. Disisi lain, perjuangan masyarakat lokal untuk merebut lahan milik sendiri dianggap sebagai penghalang investasi dan tidak jarang diperhadapkan dengan tindakan represif dari negara dalam bentuk penahanan atau tindak kriminalisasi lainnya.
Ekspansi perkebunan kelapa sawit, juga mengubah dinamika perekonomian lokal. Banyak petani yang lahannya terbatas tergelincir dalam proses pemiskinan. Petani yang sebelumnya petani subsistensi dengan bercocok tanam padi terpaksa menkonversikan lahannya dengan menanami kelapa sawit akibat lahan pertanian mereka sudah dikelilingi dengan perkebunan kelapa sawit. Fenomena lain berkaitan dengan ekspansi ini adalah perubahan status masyarakat sekitar perkebunan dari pemilik lahan menjadi buruh akibat okupasi yang dilakukan perkebunan.
Dampak lain akibat sistem monokultur dalam industri kelapa sawit adalah kompetisi antara pohon kelapa sawit dengan tanaman pertanian rakyat dan proliferasi hama. Di Langkat sebagai contoh, terjadi penyempitan lahan pertanian pangan akibat perluasan perkebunan kelapa sawit. Hama-hama yang bersarang di perkebunan kelapa sawit kemudian berpindah dan menyerang tanaman pertanian pangan.
Kehadiran perkebunan juga telah mengubah sistem nilai masyarakat. Kehadiran perkebunan menyebabkan timbulnya konflik horizontal di masyarakat. Petani kecil yang masih mempertahankan tanah pertanian mereka untuk tanaman pangan harus bersaing dengan petani yang telah mengubah lahan mereka menjadi perkebunan kecil dalam hal perebutan air dan sistem irigasi. Selain itu, industrialisasi di daerah pedesaan telah mengikis nilai-nilai solidaritas di antara rakyat.
Dalam konteks sengketa tanah, Rikardo Simarmata menyatakan sekalipun negara mengakui bahwa masyarakat adat dan penggarapan tersebut lah yang telah memelihara tanah, namun negara tidak menganggapnya sebagai bagian dari rejim property rights. Alasannya karena masyarakat adat dan penggarap tersebut tidak memelihara tanah menurut ketentuan rejim property rights yang formal. Sebaliknya, masyarakat adat dan penggarap mendasarkan konsep property rights atas tanah pada prinsip siapa yang secara faktual menggarap. Perbedaan inilah yang turut memberi bara pada konflik pertanahan pada usaha perkebunan kelapa sawit.
Pemberian izin-izin usaha perkebunan terbentur dengan resistensi komunitas lokal atau penggarap yang merasa berhak atas tanah tersebut. Komunitas yang menamakan dirinya masyarakat adat memprotes atau bahkan menolak izin dengan alasan bahwa lokasi izin merupakan tanah adat, termasuk tanah ulayat. Mereka mengaku memiliki hubungan historis dengan tanahnya karena sudah digarap secara turun temurun. Sementara para penggarap, yang bukan tergolong sebagai masyarakat adat, juga mempersoalkan pemberian izin karena menganggap diri juga sebagai rights holder, sekalipun tidak dibuktikan dengan sertifikat hak. Bukti-bukti tertulis yang ditandatangani oleh kepala desa ataupun camat serta jangka waktu penggarapan telah mereka gunakan sebagai senjata untuk menuntut ganti rugi yang layak atau bahkan untuk menolak kehadiran izin.
Perusahaan perkebunan kelapa sawit telah menjadi pelanggar terbesar dibidang pertanahan dalam hal sebagaimana yang disebutkan diatas. Dalam banyak kasus, lahan perkebunan kelapa sawit merupakan tanah adat atau ulayat, lahan hutan dan lahan pertanian yang digunakan oleh masyarakat lokal sebagai sumber mata pencaharian. Hilangnya lahan ini yang dimiliki dan digunakan secara kolektif-tradisional menjadi kerugian yang sangat besar terutama bagi mata pencaharian penduduk lokal. Problema tersebut semakin parah dengan ditambah fakta sebagaimana telah disampaikan, bahwa sebagian besar masyarakat lokal tidak mempunyai sertifikat tanah sebagai alat pembuktian kepemilikan yang sah. Akibatnya, ketika sengketa tanah ini dibawa ke ranah hukum yang tidak berbasis keadilan dan kebijakan negara yang lebih mengedepankan investasi, sudah dapat diduga bahwa pemerintah lebih memilih kepentingan perusahaan perkebunan.
Diperkirakan minyak kelapa sawit akan menjadi komoditas yang paling banyak diproduksi, dikonsumsi dan paling banyak diperdagangkan di dunia. Seiring dengan itu, ekspansi lahan diperkirakan juga akan meningkat berikut dengan sengketa lahan didalamnya. Dorongan pemerintah untuk menyediakan lahan seluasnya untuk perkebunan kelapa sawit bagi investor hanya akan menguntungkan perkebunan besar. Ekspansi perkebunan kelapa sawit dipastikan akan meningkatkan konflik sosial, penyerobotan tanah, sengketa antara masyarakat dengan perusahaan.
Pemerintah Indonesia seharusnya tidak melupakan bahwa tanah menjadi sentral kegiatan mayoritas rakyat. Oleh karena itu pengaturan dan penataan penguasaan, pemilikan, pemanfaatan tanah mutlak diperlukan melalui suatu kebijakan reformasi agraria. Langkah kongkrit yang bisa dilakukan adalah implementasi pengakuan atas tanah-tanah ulayat dan tanah-tanah garapan. Langkah ini tidak hanya akan menjamin keadilan sosial tetapi juga kelestarian ekologis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar