Suatu Sore di Kantor Manajer
“Nasib kalian ada di ujung pulpenku, kalian jangan macam-macam. Kalau masih mau makan catu, kerja saja”. Siapa gerangan orang yang bicara itu ? Sepertinya dia sangat berkuasa, ternyata ia memang sangat berkuasa; ia seorang manajer salah satu perkebunan swasta di Mandoge, Asahan, Sumatera Utara.
Sementara di depannya, dengan kepala tertunduk; Sutina, Saijem, Ponirah, Karti dan belasan Menol (perempuan Buruh Harian Lepas) lainya tidak berani bersuara. Seolah-olah manusia yang didepan mereka pantang untuk dipandang, apalagi menentang pendapatnya.
…………………………………………………………………………………………………………………………………………
Sebelumnya di Ancak
Dengan tubuh bermandikan peluh, wajah hitam dipanggang sinar matahari, belasan menol perempuan mengacungkan parang pembabat, memotong lalang, mengumpulkan tankos. Suara riuh yang tadinya terdengar, sekejab hilang seiring munculnya seorang laki-laki berpakaian rapi. Laki-laki itu asisten.
Asisten : “ Kenapa di ancak sebelah bukit sana belum di semprot ? Apa nya kerjaan kalian ? Apa kalian tidak tahu, kalau tidak disemprot, sawit itu bisa mati diserang hama ?
Tidak ada yang menjawab. Semua takut.
Lama kemudian, seorang menol yang dikenal berani menjawab, “ Tuan Asisten, hari ini kami kan disuruh membabat di ancak ini. Lagian kami kan pembabat, bukan penyemprot”.
Asisten : “Kau melawan ya? Aku tidak mau tahu, pokoknya kalian harus kesana setelah babatan kalian selesai. Semua pokok disana harus kalian semprot”.
Karti, menol yang berani itu menukas : “ Tuan Asisten, kami mau saja kesana, habis membabat, tapi upah kami ditambahin”.
Asisten : “ Tidak ada itu, kalian jangan banyak permintaan. Kalian sudah bisa kerja disini, itu sudah syukur”.
Karti : “ Kalau begitu, kami tidak mau”.
Asisten : Goblok, kalau kalian tidak mau kesana, sudah. Kalian pulang saja semua sekarang, tapi jangan harap kalian dapat upah. Pulang kalian, cepat!
Bergegas para menol itu berhamburan mengumpulkan alat kerja mereka lalu meninggalkan Sang Asisten yang masih memaki-maki dalam hati.
Ditengah jalan….
Saijem : “ Aku bingung, emang Mbak Surti, Mbak Tiyas pada kemana ? Apa mereka tidak kerja ya ?” ( Surti,Tiyas adalah 2 dari 10 orang menol penyemprot yang bekerja di ancak sebelah bukit)
Ponirah : “Mbak Surti, Mbak Tiyas, Sumi ama si Nur hari ini tidak kerja. Mereka tidak bisa kerja karena lagi menyusui anaknya. Wong, orang itu kan baru melahirkan, kan nggak bisa langsung kerja.”
Karti : “ Tapi Tuan Asisten tidak mau tahu soal itu. Beginilah nasib kita”.
Sore di Kantor Manajer
Sutina : “ Ngapain ya, kita disuruh kemari ?”
Karti : “ Tuan Asisten mengadu sama Manajer. Tuan Asisten bilang ama Manajer, kita tidak mau kerja, kita melawan perusahaan. Makanya kita disuruh menghadap”.
Ponirah : “Mudah-mudahan kita tidak dipecat. Kalau dipecat, mau makan apa anakku. Mas Gito sampai sekarang belum bisa kerja, kakinya yang kejatuhan janjang kemarin masih bengkak. Perusahaan kan tidak mau ngasi biaya perobatan buat buruh harian “.
Lalu kemudian…
“Nasib kalian ada di ujung pulpenku, kalian jangan macam-macam. Kalau masih mau makan catu, kerja saja”.
Sepenggal petikan diatas menggambarkan kondisi miris buruh perempuan di perkebunan. Buruh perkebunan dibedakan menurut statusnya. Selain buruh tetap (SKU), perkebunan juga mengenal status kerja Buruh Harian Lepas (BHL). Annemer untuk laki-laki dan Menol untuk perempuan. BHL di perkebunan umumnya adalah perempuan terutama untuk jenis pekerjaan yang bersifat pemeliharaan. Perbedaan status kerja juga menjadi faktor yang berpengaruh terhadap sistem kerja dan target kerja.
BHL biasanya bekerja berdasarkan borongan tanpa ada ikatan permanen dan jam kerja tertentu. Perusahaan mempunyai kekuasaan penuh menentukan saat apa dan berapa jam BHL dipekerjakan. Perusahaan juga memiliki kekuasaan penuh menentukan jenis pekerjaan apa saja yang harus dilakukan BHL, sebagaimana digambarkan dalam petikan diatas.
Upah yang diterima menol sangat minim. Seperti yang dirasakan oleh Tumi (nama samaran) seorang BHL di PT Asian Agri Asahan. Tumi hanya menerima gaji Rp. 32.000 per hari dengan jam kerja mulai dari pukul 07.00-14.00 setiap harinya. Upah tersebut masih harus dipotong biaya antar jemput sebesar Rp.5.000 per hari. Menurut pengakuan Tumi, upah yang diperolehnya masih jauh dari kurang karena tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hidup sekarang yang semuanya serba mahal ditambah lagi Jamsostek yang tidak ada. Minimnya upah ini ditambah dengan beban kerja yang sangat berat, pergi kerja harus subuh dan pulang jam 2 siang dan harus dapat target borongan semakin membuat Tumi semaput.
Begitulah kondisi BHL perempuan di perkebunan. Kisah memiriskan ini sama saja dengan kondisi buruh pada jaman kuli kontrak. Para menol harus bekerja tanpa ada ikatan permanen, jam kerja yang sewaktu-waktu bisa berubah tergantung kemauan perusahaan, tidak bekerja berarti melawan perusahaan. Kalau melawan maka... “Nasib kalian ada di ujung pulpenku, kalian jangan macam-macam. Kalau masih mau makan catu, kerja saja”…itulah yang akan terdengar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar