Perusahaan perkebunan selalu memiliki cara-cara dalam rangka meraup kentungan maksimal dengan pengeluaran minimal. Salah satu cara yang digunakan perusahaan perkebunan kepala sawit untuk menggenjot produksi (keuntungan) tapi dengan biaya yang minimal adalah sistem ancak mandiri. Sistem ancak mandiri ini diterapkan di PT Indah Pontjan, salah satu perusahaan perkebunan yang terletak di Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.
Dengan sistem ini, seorang buruh pemanen diharuskan mengerjakan lahan seluas rata-rata 30 hektar selama 12 hari. Agar dapat mencapai target tersebut, seorang buruh pemanen harus mengikutsertakan minimal 2 tenaga kerja (kernet) untuk membantunya. Upah untuk kernet ini dibayar sendiri oleh buruh pemanen. RK ( 35), buruh pemanen yang ditemui mengatakan, “Sejak ancak mandiri ini diberlakukan, bisa dapat sekitar Rp 3 juta lah sebulan. Lebih banyak dapatlah dibanding yang biasa. Kalau yang biasa itu, kalau kita rajin bisa dapat Rp 2 juta. Tapi kalau pas lagi target puncak, bisa dapat Rp 1,5 juta hanya dari premi saja”.
Sekilas, melalui sistem ancak mandiri ini, buruh terkesan diuntungkan karena mereka memperoleh pendapatan yang jauh lebih besar. Benarkah ? Mari kita lihat. Sebagaimana penuturan RK, rata-rata seorang buruh pemanen itu bisa mengerjakan lahan seluas 1,5 hektar setiap hari. Berarti selama 1 bulan buruh pemanen bisa memanen seluas 45 hektar ( 1,5 dikali 30 ) dan menerima upah sekitar Rp 2 juta ( sudah termasuk premi dan berondolan). Dengan sistem mandiri, dalam waktu yang sama, seorang buruh pemanen diharuskan memanen seluas 75 hektar dengan upah yang diterima sekitar Rp 3,5 juta ( belum dipotong upah untuk kernet).
Upah kernet seperti disampaikan RK setiap harinya Rp 10.000. Seorang buruh pemanen menurutnya paling tidak harus membawa 2 orang kernet. Bila kernet tersebut bekerja selama 30 hari, maka biaya yang harus dikeluarkan pemanen untuk upah kernet selama satu bulan Rp 600.000. Bila dihitung, dalam sistem mandiri ini, upah yang diterima buruh pemanen hanya Rp 2,9 juta saja, sementara luas lahan yang harus dikerjakan buruh pemanen bertambah 75 %. Bila diasumsikan, upah rata-rata per hektar Rp 44.000 ( upah Rp 2 juta dibagi luas lahan yang dikerjakan 45 hektar), dengan sistem mandiri ini, seorang buruh pemanen seharusnya memperoleh pendapatan bersih Rp 3,3 juta.
Dari perhitungan sederhana diatas dapat dilihat bahwa perusahaan memotong Rp 400.000 pendapatan seorang buruh pemanen setiap bulannya. Dalam setahun, jumlah yang diperoleh perusahaan dari pemotongan upah seorang buruh pemanen ini mencapai Rp 4.800.000. Bila jumlah ini dikalikan dengan banyaknya jumlah pemanen di perusahaan tersebut, bisa dibayangkan berapa besar keuntungan yang diraup perusahaan melalui penerapan sistem ini. Sekedar informasi, menurut RK, jumlah buruh pemanen di perusahaan perkebunan tersebut mencapai 90 orang.
Dalam konteks yang lebih luas, penerapan sistem mandiri ini sebenarnya merupakan strategi perusahaan untuk mengurangi biaya untuk upah buruh. Dengan sistem ini, secara halus tanggungjawab perusahaan untuk memberi upah dipindahkan menjadi tanggungjawab buruh pemanen. Disisi lain, sistem ini juga menunjukkan secara kasat mata adanya praktek informalisasi buruh. Buruh yang bekerja dalam sistem mandiri untuk dapat mencapai target, harus membawa 2 orang buruh pembantu (kernet). Kernet tersebut sama sekali tidak mempunyai hubungan formal (ikatan kerja) dengan perusahaan. Hal menyangkut upah dan jaminan pengobatan terhadap kernet apabila terjadi kecelakaan kerja menjadi tanggungjawab buruh pemanen semata, tidak menjadi tanggungjawab perusahaan. Kondisi demikian memperlihatkan perusahaan mengabaikan hak-hak normatif buruh, padahal buruh tersebut bekerja untuk keuntungan perusahaan.
Hal lain yang menjadi dampak dari penerapan sistem mandiri ini adalah pengurangan buruh dibagian produksi (pemanen). Semakin luas lahan yang menjadi target kerja, maka semakin sedikit pula jumlah buruh yang dibutuhkan. Akibatnya, jumlah buruh pemanen dikurangi dengan cara dimutasi ke bagian harian (pembabat, perawatan atau zonder) yang tidak memperoleh premi. Menurut RK, sepanjang yang diketahuinya, sudah belasan orang buruh pemanen dimutasi ke bagian harian pasca penerapan sistem mandiri tersebut. “Beberapa buruh pemanen malah dimutasi ke ancak yang jauh dari pondokan”, katanya menambahkan.
Catatan diatas setidaknya memberikan gambaran bahwa perusahaan perkebunan memiliki banyak strategi dalam rangka meraup keuntungan maksimal dengan pengeluaran minimal. Bila tidak didalami, bisa saja ada penilaian bahwa perusahaan perkebunan sudah menerapkan cara kerja yang menguntungkan buruh, sebagaimana penilaian awal buruh terhadap sistem ancak mandiri di PT Indah Pontjan. Harus diingat bahwa, perusahaan tidak akan pernah menerapkan sistem kerja yang tidak memberikan keuntungan maksimal bagi perusahaan sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar