Usaha perkebunan saaat ini menjadi primadona bagi pemilik modal dan pemerintah untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Pesatnya perkembangan usaha perkebunan memang memberikan keuntungan yang sangat besar bagi segelintir orang, tetapi di sisi lain ‘keuntungan besar” itu tidak terlihat dalam realitas kehidupab buruh kebun itu sendiri. Buruh perkebunan hidup dalam kondisi terisolir, diawasi ketat,terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan sebagainya.
Buruh kebun menjalani ritme monoton dalam kesehariannya.Mulai dari bangun pagi, berangkat ke ancak, lembur,pulang, menerima gaji, belanja. Itulah ritme monoton yang dialami oleh buruh perkebunan. Dalam banyak hal,kehidupan buruh selalu diidentikkan dengan buruh laki-laki, bagaimana dengan keberadaan perempuan, isteri buruh, anak-anak mereka ? Sebenarnya kalau ditelisik secara mendalam yang menjadi buruh di kebun bukan hanya yang berstatus SKU, BHL, anemeer, borongan, tetapi juga anak dan isteri buruh juga telah menjadi buruh.
Perkebunan sering memasang target basis borongan yang tinggi terhadap buruhnya. Sebagai contoh misalnya PT BSP di Asahan. Terget basis yang tinggi ini sering memaksa anak dan isteri buruh menjadi buruh tanpa ikatan formal dengan perusahaan. Seperti yang dialami oleh isteri Sugito (nama samaran), buruh pemanen di Afdeling III Serbangan. Target basis borong di afdeling itu 85 janjang dengan komedil 20, berarti sekitar 1600 kg/ harinya. Dengan target sebesar itu Sugito harus mengajak isterinya memanen sawit untuk mencapai target kerja.
Dasar logika yang diambil Sugito sangat sederhana. Di tengah kondisi terbatasnya upah yang diterima, maka kebanyakan cara yang ditempuh melibatkan anak istri. Dari pada “rejeki” jatuh ke orang lain, maka tanpa berpikir panjang Sugito mengajak istrinya walaupun pekerjaanya sekedar memungut berondolan ataupun mengangkat tandan buah segar (TBS) dari ancak (tempat kerja) sangat berarti untuk mengejar basis borong demi tercapainya target kerja atau untuk mengejar over basis yang banyak sebagai dasar perhitungan premi.
Inilah realitas yang terjadi di kehidupan buruh perkebunan. Hal yang sama juga dialami oleh beto (nama samaran), anemer PT Socfindo Aek Loba yang terpaksa mengajak anak dan isterinya memanen sawit demi tercapainya target kerja. Bila yang diajak kerja itu adalah anak ataupun istri, maka sesungguhnya jerih payah itu sama saja Bapak menggaji anak atau istri sendiri. Pola-pola seperti itu sering disebut “Supir-kernet” dan ini terjadi secara alamiah. Untuk membantu suami , kalangan isteri buruh juga kadang-kadang ikut berkerja menjadi tenaga borongan. Pekerjaan memupuk adalah pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh buruh perempuan. Mereka melakukan pemupukan dengan cara menggendong goni atau kain selama bekerja.
Ada satu contoh terkait dengan kaum perempuan dan anak-anak yang ikut bekerja di kebun. Ini bisa dilihat di PT BSP Asahan kebun Tanah Raja. Jumlah buruh di kebun ini sekitar 950 orang terdiri atas buruh SKU sebanyak 600 orang tersebar di 5 afdeling, dengan pola pemukiman terpusat di tengah lahan. Rata-rata 100-120 perumahan (pondokan) buruh terdapat di setiap afdeling. Dari jumlah tersebut 350 orang merupakan BHL, sebagian adalah istri-istri, anak dan keponakan buruh SKU yang tinggal di pondokan tersebut.
Terbatasnya upah yang diterima buruh, sementara beban kerja harus tercapai sesuai target kerja ditentukan sepihak oleh perkebunan, maka cara yang ditempuh buruh adalah mengikutsertakan istri/suami dan anak-anak bekerja “magang” digaji oleh Bapaknya dan setelah mencapai umur kerja akan menggantikan bapaknya.
Di perkebunan untuk para BHL terkenal dengan sebutan “menol” . Suatu sebutan yang ditujukan pada para ibu-ibu muda yang menjadi BHL. “Annemer” bagi para laki-laki yang ikut BHL. Kebanyakan dari menol ini adalah ibu-ibu yang berusia muda, disamping ada juga ibu-ibu tua yang sudah uzur, perempuan lajang bahkan juga anak-anak umur 13-15 yang putus sekolah karena ketiadaan biaya terpaksa membantu orang tua mengatasi kesulitan ekonomi. Salah satu menol yang berhasil ditemui adalah isteri Nasip di Perladaan. Dia menjadi Menol dalam rangka membantu suaminya Nasip yang pekerjaannya sebagai kernet pemanen sawit.
Sementara itu untuk mensiasati tekanan upah rendah yang diterima buruh, isteri buruh sering memanfaatkan hubungan kekeluargaan dan solidaritas bersama (arisan) menutupi biaya hidup seperti sakit atau keperluan anak sekolah, “gali lobang-tutup lobang” seperti “ngutang” diwarung, dan tidak jarang terjebak pada “uang panas” atau kredit pada para tengkulak atau lintah darat.
Di perusahaan perkebunan umumnya fasilitas pondokan disediakan bagi Buruh yang berstatus Buruh SKU. Namun tidak semua Buruh SKU tertampung karena keterbatasan jumlah perumahan yang disediakan. Demikian halnya mereka yang berstatus BHL ada beberapa BHL yang tinggal di luar perkebunan.
Kondisi pondokan umumnya semi permanent berukuran 9 x 5 m, dua kamar tidur, kamar bertamu dan dapur kecil. Pondokan buruh sebagian besar tidak dilengkapi dengan kamar mandi dan fasilitas MCK. Untuk fasilitas MCK, buruh memilih di pokok-pokok sawit/karet atau membuat sendiri WC dengan menggali tanah untuk dijadikan buang air besar.
Kerakteristik wilayah perkebunan sangat menentukan terhadap tersedianya fasilitas pendidikan. Bagi wilayah perkebunan yang relatif dekat dengan perkotaan (sub-urban) akses buruh menjangkau fasilitas pendidikan bagi anak-anaknya akan lebih terbuka terutama untuk sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Sementara bagi wilayah yang ada di pedalaman maka fasilitas pendidikan terbatas hanya setingkat Sekolah Dasar.
Fasilitas pendidikan untuk anak Buruh di beberapa perkebunan terutama dipedalaman sangat minim dimana hanya terdapat Sekolah Dasar (SD) yang berada dekat emplasmen perkebunan. Bagi afdeling yang relatif jauh dari emplasmen, anak-anak sekolah harus menempuh perjalanan yang cukup jauh di tempuh dengan bersepeda atau berjalan kaki.
Apabila ada anak buruh yang berkeinginan melanjutkan sekolah ke tingkat lebih tinggi misalnya Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah menengah Umum (SMU) terpaksa harus bersekolah di luar perkebunan yang jaraknya umumnya jauh. Ada juga Buruh yang menyekolahkan anaknya di daerah lain dimana untuk mencapai sekolah itu, anak buruh harus menempuh dengan alat transportasi. Untuk itu Buruh harus mengeluarkan biaya lebih besar karena harus membayar uang kost (sewa kamar) dan biaya makan diluar biaya sekolah. Tetapi sebagian besar buruh perkebunan, hanya mampu menyekolahkan anaknya hingga tingkat SMP saja. Anak buruh yang laki-laki biasanya disuruh membantu orangtuanya bekerja di perkebunan dan setelah cukup umur nantinya akan bekerja di perkebunan. Suatu hal yang ironi, buruh perkebunan malah melanggengkan penindasan sampai anak-anak mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar