Pengikut
Kamis, 10 November 2011
Berpikir Bekerja Kritik Dan Self Kritik-KIAN LING (Resume)
Mengatur cara berpikir tidak diartikan sebagai tindakan mengajari atau mengkritik orang lain tanpa memberikan solusi. Cara berpikir yang baik adalah bagaimana kita mempu mengetahui sebab-sebab terjadinya segala sesuatu dan itu memerlukan ruang dialog dengan orang lain. Dengan cara ini,seorang pemimpin atau kader akan mempu mengerakkan orang lain untuk memperbaiki apa yang dianggap merupakan suatu kekurangan. Ini diperoleh dari proses percakapan dengan orang lain. Inti dari cara berpikir disini adalah membuka ruang seluasnya kepada setiap orangn untuk mengemukakan apa pendapatnya tentang suatu hal.
Kita harus belajar dari rakyat, sebab pengetahuan dan pengalaman rakyat akan memberikan kita pemahaman kondisi yang sebenarnya yang dialami rakyat. Orang yang tidak mau belajar dari rakyat itu disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, Ia merasa dirinya paling berpengalaman dan pendapatnya selalu benar. Kedua, Ia tidak mau berdialog dengan orang lain karena merasa orang lain tidak selevel dengannya. Ketiga, Ia merasa cepat puas karena sudah menganggap dirinya penuh dengan teori-teori dan pengetahuan.
Mengapa harus belajar dari rakyat ? Rakyat merupakan sekumpulan orang yang memiliki identitas tersendiri, pengetahuan, pengalaman yang berbeda satu sama lain. Oleh karena itu bagaimanapun pengetahuan rakyat itu lebih besar dan lebih banyak bila dibandingkan dengan orang yang hanya membaca buku, melihat dan mendengar saja. Belajar dari rakyat mengharuskan kita membuka ruang untuk dikoreksi orang lain,membuka ruang untuk berdialog dengan orang lain dan membuka ruang untuk bertanya pada semua orang.
Dengan belajar dari rakyat, maka kita akan mampu memahami kesulitan –kesulitan yang dialami rakyat. Pengetahuan akan kesulitan rakyat ini kita peroleh ketika kita berdialog dengan rakyat. Selanjutnya penyelesaian masalah rakyat dilakukan bersama-sama dengan rakyat dan dilakukan bukan dengan cara memerintah rakyat melakukan apa yang kita inginkan.
Belajar dari rakyat mengharuskan kita menghapuskan pikiran egois dalam diri kita dan selanjutnya kita menempatkan diri dibawah kepentingan rakyat. Apabila pikiran egois kita buang jauh-jauh dari diri kita, maka pertentangan kita dengan rakyat tidak akan terjadi. Untuk itulah senantiasa kita harus melakukan koreksi diri.
Seorang pemimpin bukanlah orang yang hanya melakukan pekerjaan besar saja karena menganggap dirinya paling pintar dan ingin mendapatkan ketenaran. Pemimpin adalah orang yang mau melakukan pekerjaann-pekerjaan kecil dimanapun ia berada. Selain itu pemimpin harus memiliki disiplin. Disipilin mengerjakan segala yang diamanatkan padanya. Kedisplinan ini memerlukan sikap kuat dan tabah menghadapi resiko tugas dan sanggup menderita dalam pelaksanaan tugas tersebut. Pemimpin juga harus memiliki kesabaran dalam mengerjakan sesuatu dan memiliki keyakinan bahwa pekerjaannya pasti akan selesai.Sikap mau dikritik dan mengakui kesalahan yang diperbuat merupakan ciri yang harus kita miliki. Kita juga harus bersikap adil terhadap semua orang. Untuk itu seorang pemimpin harus memperhatikan semua kadernya tanpa pandang bulu. Selain itu perasaan dendam, iri hati, terhadap orang lain harus dibuang jauh-jauh.
Namun demikian, sikap sabar, tahan menderita, mau dikritik orang lain kadang kala bisa hilang karena tekanan keadaan. Keadaan itu bisa berupa situasi yang membahayakan dirinya, kesukaran dalam mengerjakan tugas, kesulitan ekonomi dan lain-lain. Kondisi seperti ini bisa menekan kita yang akhirnya membawa kita terperangkap dalam sifat egois. Sifat egois ini akan membawa kita kedalam pertentangan apakah tetap berjuang atau berhenti saja.
Komitmen untuk terus berjuang juga dipengaruhi oleh besarnya resiko tugas yang diberikan pada kita. Resiko dan kesukaran dalam mengerjakan tugas-tugas bisa menyebabkan kita kehilangan semangat untuk tetap berjuang. Kita juga bisa dipengaruhi oleh kondisi sosio ekonomi rakyat. Adanya golongan rakyat yang kaya dan hidup senang tanpa bekerja bisa mempengaruhi kader untuk memiliki tujuan sama seperti mereka dan akhirnya lupa dengan perjuangan awal.
Pemimpin juga harus mampu menjaga semangat perjuangan yang sudah ada dalam dirinya agar tidak melenceng dari tujuan semula. Komitmen bahwa perjuangan itu harus dilakukan sungguh-sungguh harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Dengan demikian segala perubahan kondisi yang terjadi tidak akan memperngaruhi komitmen yang sudah tertanam. Apapun yang terjadi dalam pengerjaan tugas-tugas harus dihadapi.
Pikiran-pikiran dan sikap-sikap seperti diatas kemungkinan besar dapat terjadi dalam perjuangan rakyat. Untuk itu sekarang yang penting, bagaimana kita bisa merubah sikap seperti itu. Hal penting disini adalah bagaimana kita bisa membangun kesadaran orang.Tanpa kesadaran maka tidak akan pernah terjadi perubahan. Seorang pemimpin harus memiliki pengetahuan akan sejarah kehidupan masyarakat. Tanpa itu maka perjuangan bisa jadi melenceng dari tujuan semula. Oleh karena itu pemimpin harus banyak membaca buku sehingga dengan demikian, pemimpin memiliki teori-teori yang bisa digunakan dalam perjuangan.
Pembangunan kesadaran dilakukan dengan membaurkan diri bersama orang banyak, sehingga pemimpin bisa mengetahui segala informasi,masalah,kesukaran pikiran orang banyak. Hidup bersama rakyat menyiratkan pemimpin harus siap menghadapi kesukaran sama seperti rakyat yang menghadapi kesukaran hidup. Untuk itu, pemimpin harus banyak melatih diri menghadapi kesukaran. Seorang pemimimpin tidak cukup hanya mendengar rakyat. Lebih dari itu pemimpin harus belajar dari rakyat. Dengan kata lain , pemimpin harus bertanya pada rakyat melalui percakapan-percakapan.
Hal penting lain disini adalah ketetapan hati. Seorang pemimpin harus memiliki ketetapan hati untuk melakukan perubahan. Artinya ia harus memiliki komitmen yang sungguh-sungguh dalam melakukan perjuangan. Dalam perjuangan,pemimpin harus melakukan kritik dan kritik diri. Oleh karena itu percakapan atau dialog dengan orang lain sangat diperlukan untuk semakin memperkaya hasil kritik diri yang telah kita lakukan.
Kritik diri tidak hanya dilakukan sakali saja, tetapi senantiasa dilakukan. Dengan demikian kita senantiasa mendapatkan masukan-masukan penting dalam perjuangan. Perubahan itu akan terjadi apabila orang yang melakukan perubahan itu mengenal dirinya secara benar. Untuk memperoleh ini, maka diperlukan kritik diri secara terus menerus. Keberanian untuk melakukan kritik diri adalah hal ang mutlak.
Dalam perjuangan rakyat, kritik dan kritik diri sangat penting. Dengan adanya kritik dan kritik diri,secara sadar pelaku perubahan bisa menilai apa yang sudah dilakukannya,apa kekurangannya, bagaimana komitmennya untuk terus berjuang, sikapnya terhadap orang lain dalam proses perjuangan. Kritik harus dipahami sebagai sebuah media yang menunjukkan apa yang maju, apa yang baik, apa yang sempurna demi percapaian tujuan perjuangan. Kritik pada hakekatnya adalah bagaimana kita memperoleh apa yang terbaik berdasarkan apa yang telah kita perbuat sebelumnya. Untuk itu media kritik tidak bisa dihilangkan dalam perjuangan.
Namun kritik kadang digunakan untuk menyerang orang lain. Kritik demikian muncul dari orang yang memiliki sifat egois dalam dirinya. Kritik seperti itu tidak akan mempererat persatuan malahan akan menimbulkan pertentangan dan selanjutnya perpecahan dalam perjuangan. Dalam perjuangan diperlukan sikap tegas. Untuk itu setiap kesalahan harus diperingatkan meskipun orang yang melakukan itu adalah orang yang paling dekat dengan kita sekalipun
Kritik diri memerlukan kejujuran. Tanpa kejujuran maka kritik diri hanya akan memberikan pembenaran atas apa yang kita lakukan sebelumnya dan tidak akan bisa menunjukkan keadaan yang sebenarnya. Namun kritik harus didasarkan pada analisa yang mendalam terhadap apa yang mau dikritik. Analisa itu akan memberikan kita pengetahuan tentang sebab-sebab, masalah-masalah dan penjelasan sebab-sebab tersebut sehingga diperoleh solusi. Jadi kritik tidak menimbulkan permasalahan baru.
Harus disadari sebelumnya bahwa tujuan kritik dan kritik diri bertujuan untuk memperkuat persatuan. Dengan adanya kritik maka akan terlihat apa yang sudah dikerjakan sebelumnya dan bagaimana hasilnya. Kritik juga merupakan media yang menunjukkan apa yang salah kita lakukan dan bagaimana memperbaikinya. Kesemua itu sangat penting dalam menjaga perjuangan agar tetap berada dalam jalurnya.
Bagaimanapun perjuangan memerlukan banyak orang yang memiliki ide dan pekerjaan tertentu. Ide-ide dan pekerjaan ini harus dipersatukan sehingga secara bersama-sama dapat bekerja untuk mencapai tujuan bersama. Dalam perjuangan, pekerjaan yang paling kecil sekalipun tetap harus ada yang mengerjakan. Hal paling kecil itu harus dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perjuangan.
Seorang pemimpin harus bisa menerima apa yang dilakukan orang terhadapnya sama seperti ia memberlakukan orang lain. Dalam konteks demikian, bila kita disuruh mengerjakan hal yang kecil maka kita harus mengerjakannya dengan kesungguhan hati, sama seperti kita menyuruh orang lain mengerjakan hal yang sama. Disini diperlukan pemahaman bahwa hal kecil itu merupakan bagian dari hal besar yang tidak bisa dipisahkan atau dilupakan nilainya.
Namun sifat mau mengerjakan hal kecil seringkali terbentur pada pikiran heroisme yang ada pada diri seseorang. Artinya seseorang hanya mau melakukan sesuatu yang dianggapnya besar sehingga dengan demikian ia dikenal banyak orang, sementara hal-hal kecil tidak mau dikerjakannya karena menganggap bahwa hal-hal kecil itu tidak ada manfaatnya atau ia tidak layak mengerjakan hal kecil itu.
Seorang pemimpin memulai mengerjakan hal-hal yang kecil dulu. Ini bisa kita anggap sebagai sebuah ujian untuk melihat sampai sejauh mana tingkat kesungguhan dan kemampuannya dalam pelaksanaan tugas. Bila ia mampu maka dengan sendirinya pekerjaan-pekerjaan besar akan datang. Artinya dalam perjuangan, setiap tugas harus dilakukan tidak peduli apakah itu pekerjaan besar atau kecil karena semuanya adalah bagian dari perjuangan besar.
Perjuangan rakyat sangat memerlukan komitmen, semangat, keikhlasan hati dan sikap tahan menderita,serta tanggungjawab. Tanggungjawab disini bukanlah semata sebuah tindakan melakukan sesuatu asal tidak salah atau menyenangkan hati orang lain, melainkan diartikan bagaimana seseorang bisa mengerjakan suatu pekerjaan dengan baik dan mampu mengatasi tekanan dan siap menghadapi resiko. Pemimpin yang bertanggungjawab juga dapat dilihat dari apakah ia mau membantu orang lain atau tidak. Hal penting disini yang harus diingat adalah tanggungjawab itu lahir dari kesadaran kita sendiri akan kepentingan rakyat, bukan karena disuruh orang lain.
Seseorang yang bekerja untuk rakyat harus memiliki kesadaran untuk apa ia mau bekerja. Dengan begitu maka akan terlihat apakah ia memiliki tanggungjawab atau tidak. Oleh karena itu tugas yang diamanatkan padanya harus dikerjakan dengan sungguh-sungguh karena ia sudah memiliki kesadaran akan perjuangan. Bertanggungjawab merupakan buah dari kesadaran akan perjuangan dan diimplementasikan dengan cara mau melakukan sesuatu yang diamanatkan dengan kesungguhan hati.
Rabu, 09 November 2011
Koeli Kontrak Tempoe Doeloe : Sebuah Catatan
Kondisi sosial politik di wilayah Simatera Timur pada waktu itu berada dalam situasi bergejolak. Beberapa kerajaan terlibat dalam konflik. Seperti kerajaan Deli dengan Kesultanan Aceh dan juga kerajaan-kerajaan kecil lain di wilayah Sumatera Timur. Belanda akhirnya mengambil keuntungan dari konflik ini karena beberapa kerajaan meminta perlindungan Belanda dengan konsesi tertentu,terutama konsesi tanah yang diberikan kerajaan Deli kepada Belanda.
Atas dasar konsesi tersebut, maka investasi asing berbondong-bondong masuk ke wilayah Deli. Beberapa kemudahan yang diberikan pihak kerajaan terhadap pengusaha ini salah satunya dengan memberikan tanah milik warga pribumi. Ini membuat warga pribumi marah dan melakukan perlawanan. Bentuk perlawanan dilakukan membakar gudang-gudang tembakau milik pengusaha asing.
Dalam hal ini perlu kita lihat bagaimana hubungan kerja yang dibangun pada saat itu. Pengusaha asing terutama Neinhuys sudah menerapkan sistem borongan tenaga kerja, sistem makelar, sistem buruh harian. Pada masa awal investasi di perkebunan Sumatera Timur, tenaga kerja sebagian besar berasal dari Tionghoa. Sementara warga asli sangat sedikit yang menjadi buruh di kebun-kebun milik asing. Barulah, sesudah bertambahnya kebun milik swasta asing, tenaga kuli banyak didatangkan dari Jawa. Sebagian besar tenaga kerja ini didatangkan dengan strategi penipuan. Kuli-kuli tersebut ditipu sehingga terjebak bekerja di perkebunan asing.
Buku ini banyak menggambarkan bagaimana peran Nienhuys dalam proses perbudakan di kebun-kebun miliknya. Konsesi yang diberikan kerajaan Deli kepada Nienhuys sangatlah luas. Pemberian konsesi yang sangat luas ini menyebabkan kerajaan terpaksa mengambil tanah rakyat untuk diberikan kepada Nienhuys. Inilah yang memunculkan perlawanan dari rakyat lokal. Salah satu perlawanan yang tercatat dalam buku ini adalah perlawanan yang dilakukan Putra Datuk Jalill di Langkat.
Sampai tahun 1872 terdapat 15 perusahaan perkebunan di wilayahSimatera Timur. Derita kuli perkebunan terlihat jelas digambarkan seperti ditendang, dirantai,dibal-bali, dijemur, dipenjara atau disekap tanpa makan dan minum. Pada masa itu kekuasaan pemilik kebun terhadap orang-orang yang berada di kebunnya sangat besar. Apalagi paska pemberontakan Sunggal, pemilik kebun diberi kuasa melakukan tindakan hukuman apa saja terhadap kuli-kuli dan orang-orang yang dianggap melanggar aturan.
Namun demikian aksi perlawanan terhadap dominasi ini, bukannya tidak ada. Beberapa perlawanan yang tercatat antara lain penyerangan orang Gayo ke kebun Sungai Tawar, penyerangan ke kebun Kwala Begumit, penyerangan ke kebun Sungai Disky. Selain itu penyerangan terhadap kebun-kebun Belanda di Deli dan Langkat juga sering terjadi. Untuk memadamkan perlawanan ini, maka pihak kolonial memilih pendekatan militer.
Untuk menjamin investasi berlangsung dengan tingkat keuntungan yang tinggi maka diberlakukanlah UU Poenale Sanctie.UU ini jika ditilik lebih diarahkan sasarannya kepada kuli kebun. UU ini sebenarnya dikeluarkan untuk mematikan perlawanan buruh dan menegaskan penindasan terhadap kaum kuli di kebun-kebun. UU ini dibuat hanya untuk melegalkan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan kuli, sementara pelanggaran yang dilakukan pemilik kebun tidak ada sanksi hukumnya sama sekali.
Nasib kuli kebun lebih jelas disampaikan oleh Van Kol, anggota Majelis Rendah Belanda dari partai sosialis. Kondisi kuli kebun digambarkannya seperti makanan tidak cukup, penganiayaan kejam, perampasan kebebasan pribadi, merajalelanya pelacuran, rumah sakit yang jelek, pemukulan terhadap kuli perempuan dan sebagainya. Sebegitu jauh, pekerjaan kuli juga dibedakan berdasarkan etnisnya. Agar kuli tetap berada dalam jangkauan pemilik kebun , maka dibuka perjudian selama ikatan kontrak agar kuli terlilit utang. Gaji kuli dibayar dengan Dollar yang terus menurun nilainya. Gaji kuli pun dibayar sangat rendah, sehingga tidak jarang kuli perempuan melacurkan diri untuk membiayai hidup.
Kuli-kuli kebun Tanah Deli dalam realitasnya dijadikan hamba-hamba yang diperas habis-habisan dan ini diformalkan dalam Ordonatie Kuli . Pasal-pasal dalam kuli ordonansi ini memberikan wewenang sangat besar bagi pemilik kebun untuk menghukum kulinya yang dianggap melakukan kesalahan. Namun demikian terdapat juga perlawanan terhadap penindasan tersebut. Beberapa tokoh Belanda mengkampanyekan situasi penindasan yang dilakukan pemilik kebun terhadap kuli-kulinya. Salah satunya oleh Van Den Brand yang menulis brosur “berjuta-juta dari tanah Deli”. Penindasan terhadap kuli ini memang sering dibicarakan ditingkat Dewan Rakyat Belanda, namun tidak ada hasilnya untuk perbaikan nasib kuli kebun. Dewan Rakyat Belanda pada saat itu dikuasai oleh tokoh-tokoh penganut kapitalisme yang memandang bahwa untuk mencapai keuntungan maksimal , maka penindasan terhadap kuli harus dilakukan atau dengan bahasa ringan” dimaklumi”.
Perlawanan terhadap penindasan ini tercatat dilakukan oleh kuli-kuli kebun. Bentuk-bentuk perlawanan itu seperti melakukan pembunuhan asisten kebun, tidak mau bekerja, tidak memenuhi target dan sebagainya. Pada saat itu biaya hidup di Tanah Deli demikian tinggi. Sementara gaji yang diterima kuli sangat rendah. Kuli hanya digaji 33 sen per hari,kuli perempuan hanya 25 sen per hari dengan masa kerja 10 jam tidak peduli cuaca panas atau hujan.
Perjanjian kerja yang menguntungkan pemilik kebun membuat mereka dapat melakukan apa saja. Kuli-kuli itu diwajibkan melakukan apa saja yang diperintahkan pemilik kebun, jika tidak maka hukuman berat sudah menanti. Kebodohan kuli dimanfaatkan pemilik kebun waktu penandatangan perjanjian kerja. Kuli yang tidak mengerti sama sekali isi perjanjian dibujuk untuk menandatangai kontrak kerja. Dari sini bisa dilihat bahwa faktor kebodohan juga merupakan salah satu penyebab terjadinya perbudakan di Tanah Deli. Sementara itu pihak kolonial selain dengan pendekatan kekerasan, juga melakukan penjinakan dengan mendekati penguasa lokal. Pemilik kebun juga menjinakkan buruh dengan melegalkan perjudian dan pelacuran. Selain itu strategi untuk memberi hadiah pada buruh yang dianggap patuh dan rajin juga kadang-kadang diterapkan.
Alih Fungsi Lahan
Sementara itu, sejak 2007-2008, konversi lahan pertanian di Sumut tumbuh sekitar 4,2 persen. Menurut Plt Kadis Pertanian Sumut, lahan pertanian tersebut dialihkan ke tanaman keras dan kawasan pemukiman. Luas lahan sawah berpengairan yang beralih fungsi pada tahun 2006 mencapai 280.847 hektar dan tahun 2008 mencapai 278.560 hektar. Kurun waktu 2007-2008, alih fungsi terbesar terjadi di Kabupaten Asahan yang mencapai 6.800 hektar, disusul Nias 6.700 hektar, Serdang Bedagai 2.300 hektar dan Langkat 1.400 hektar (www.sumutprov.go.id).
Keikutsertaan puluhan perusahaan besar berskala internasional, dengan modal tidak terbatas, telah membuat perkembangan teknologi kelapa sawit, baik dari penyediaan bibit sampai pengolahan pascapanen, melaju cepat di antara lambatnya perkembangan tanaman pangan dan hortikultura.
Senin, 07 November 2011
Upah Minim Buruh Harian Lepas Pemanen Di Perkebunan
Besaran upah yang diterima buruh masih harus dikurangi biaya penyediaan alat kerja dan alat perlindungan kerja.
Penyediaan Alat Kerja dan Alat Pelindung Kerja Penyediaan Alat Kerja
Dikaitkan dengan hubungan kerja antara buruh dan perusahaan, perusahaan diwajibkan menyediakan fasilitas yang diperlukan oleh buruh. Namun hasil investigasi yang dilakukan menunjukkan bahwa tidak semua perkebunan menyediakan segala keperluan kerja yang dibutuhkan buruh. Kondisi ini umumnya dialami oleh buruh pemanen yang harus menyediakan sendiri alat kerja dan alat pelindung kerja. Kondisi yang sama juga dialami oleh buruh berstatus BHL dan outsourcing.Dari investigasi yang dilakukan di beberapa perusahaan perkebunan tersebut, diperoleh data perusahaan juga tidak melengkapi semua alat pelindung kerja yang diperlukan buruh baik berstatus SKU, BHL maupun outsourcing. Alat pelindung kerja ini harus disediakan sendiri oleh buruh dengan biaya sendiri. Rata-rata biaya yang harus dikeluarkan buruh BHL untuk keperluan alat kerja dan alat pelindung kerja mencapai Rp 150.000-Rp 180.000 setiap bulannya.
Upah yang diterima BHL paling rendah ditemukan di PT LNK Rayon Gohor Lama Langkat, dimana BHL pemanen hanya menerima sekitar Rp 260.000 setiap bulannya. Kondisi yang hampir sama dapat dilihat di PT Sulung Laut, dimana BHL pemanen hanya memperoleh upah rata-rata Rp 442.200/bulan. Investigasi yang dilakukan, rata-rata pengeluaran buruh setiap bulannya mencapai Rp 1.100.000 (konsumsi keluarga, pendidikan anak, sandang dan sebagainya. Untuk mensiasati kekurangan ini, buruh terpaksa mengambil pilihan mengurangi kualitas menu dan gizi makanan sehari-hari. Dengan upah yang minimal, mie instan, kangkung, gori, genjer dan telur menjadi menu rutinitas menu sehari-hari buruh. Hasil investigasi yang dilakukan terhadap menu makanan sehari-hari buruh perkebunan PT BSP Kuala Piasa Asahan diperoleh data bahwa menu rutin sehari-hari buruh di perusahaan tersebur adalah mie instan. Menu tersebut menjadi keharusan yang harus dipilih untuk mengurangi uang keluar akibat rendahnya upah yang diterima.
Untuk menambah pemasukan, isteri-isteri buruh ikut membantu suaminya bekerja di kebun sebagai ‘menol’ (sebutan untuk Buruh perempuan yang berstatus BHL) dengan Upah per hari sebesar Rp. 15.000,- (lima belas ribu rupiah).
Keterbatasan upah juga menyebabkan buruh perkebunan tidak bisa menyekolahkan anaknya ke jenjang yang tinggi. Survey yang pernah dilakukan pada tahun 2010 di beberapa perusahaan perkebunan di Langkat, Serdang Bedagai dan Asahan memperoleh data bahwa mayoritas buruh perkebunan hanya bisa menyekolahkan anak hanya sampai jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Upah murah menjadi faktor utama yang menyebabkan sebagian besar anak-anak buruh perkebunan tidak mampu mengecap pendidikan yang layak. Seperti yang disampaikan oleh Wagiman, buruh perkebunan di Serdang Bedagai “Saya tidak tahu mau berbuat apa, Upah hanya cukup untuk makan, tidak cukup untuk untuk biaya pendidikan anak-anak. ”Kalau anak-anak minta uang untuk keperluan sekolah, ya harus ngutang”, katanya.
Selain mengurangi kualitas menu konsumsi keluarga, pilihan lain yang sering diambil buruh adalah bekerja mocok-mocok atau mandah ke perkebunan lain. Pilihan mandah ini sering diambil oleh buruh BHL PT LNK Langkat yang sering mandah kerja ke daerah Riau dan Aceh.
Jumat, 04 November 2011
BHL : Pengingkaran Terhadap Hak Atas Upah Layak
Perusahaan perkebunan selalu memiliki strategi dalam rangka memaksimalkan keuntungan dengan mengurangi tanggungjawabnya. Informalisasi tenaga kerja merupakan salah satu strategi yang dikembangkan oleh perusahaan perkebunan untuk meminimalisir tingkat pengeluaran.. Hal ini merupakan bagian dari perusahaan perkebunan untuk mengelak dari berbagai biaya ketenagakerjaan. Bentuk yang dikembangkan antara lain mengatur sistem kerja buruh yang berdampak pada kecilnya upah dan hubungan kerja yang bersifat fleksibel seperti buruh harian lepas, buruh kontrak, buruh borongan, maupun buruh tetap (SKU) yang bekerja dengan target kerja yang sangat tinggi.
Informalisasi tenaga kerja yang menjadi kecenderungan tersebut memunculkan persoalan perlindungan tenaga kerja, tidak saja dalam hal perlindungan upah, tetapi juga jaminan kerja, kesehatan dan hak-hak normatif lainnya. Dalam konteks peraturan ketenagakerjaan disebutkan bahwa pengusaha wajib mengikutsertakan semua tenaga kerja harian lepas, tenaga kerja borongan dan tenaga kerja kontrak dalam Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja kepada Badan Penyelenggara (Bab II, Pasal 2). Namun, realitas menunjukkan bahwa buruh harian lepas, buruh kontrak atau buruh borongan tersebut tidak pernah memperoleh perlindungan sosial secara formal. ILO mendefenisikan buruh-buruh tersebut sebagai pekerja yang tidak dilindungi secara sosial.
Berkaitan dengan status kerja, penggunaan buruh dengan status kerja harian, borongan atau kontrak berdampak pada pengurangan biaya ketenagakerjaan yang harus dikeluarkan perusahaan. Sementara itu, resiko kerja yang ada tetap dibebankan pada buruh. Selain itu, penyediaan alat kerja dan alat pelindung kerja dibebankan kepada buruh tersebut yang tentunya ini sangat membebani dan mengurangi jumlah pendapatan yang seharusnya diterima.
Hasil investigasi menunjukkan selain penggunaan buruh tetap (SKU), perkebunan juga memakai buruh dengan status harian (BHL), borongan atau kontrak. BHL tidak memiliki ikatan dan kepastian kerja. Ikatan kerja berlangsung bersifat sementara dan berakhir setelah target terpenuhi sesuai keinginan majikan dan harus diperbaharui setiap waktu dengan perjanjian baru. Dalam membuat perjanjian kerja BHL umumnya bersifat individual berhubungan langsung dengan mandor sehingga majikan (perusahaan) terhindar dari kewajiban sosial dan ikatan formal.
Jenis pekerjaan yang harus dipenuhi oleh BHL sama dengan buruh tetap, namun sistem kerja dan pengupahannya berbeda dengan buruh SKU. Sistem pengupahan BHL adalah bentuk pengupahan berbasis eksploitasi. Sistem pengupahan BHL tidak terdapat imbalan dalam bentuk upah pokok yang tetap, tetapi disesuaikan dengan peraturan perusahaan.
Dari hasil investigasi diperoleh data bahwa besar upah BHL berada di kisaran Rp 15.000-Rp 32.000. Upah BHL sebesar Rp 15.000 ditemukan di PT Socfindo Bangun Bandar dan PT Indah Pontjan ( Serdang Bedagai). Upah BHL sebesar Rp 25.000 ditemukan di PT Lonsum Gunung Melayu (Asahan) dan besar upah diatas Rp 30.000 ditemukan di PT Lonsum (Langkat). Di PT LNK Gohor Lama Langkat, besar upah BHL disesuaikan dengan hasil yang diperoleh setiap harinya. BHL di perusahaan ini menerima Rp 50 dari setiap 1 kg sawit yang dipanennya. Setiap hari, rata-rata hasil panen yang bisa dihasilkan BHL sekitar 1 ton dengan pembatasan hari kerja 14 hari. Bila dihitung, gaji tertinggi yang bisa diperoleh BHL di perusahaan ini adalah Rp 50.000 x 14 hari = Rp 700.000.
Diluar BHL, beberapa perkebunan juga melegalkan penggunaan buruh kontrak. Buruh kontrak disini adalah orang yang dipasok oleh mandor atau buruh SKU sendiri untuk mengerjakan pekerjaan harian. Rata-rata upah buruh outsourcing sebesar Rp 15.000/hari. Buruh outsourcing biasanya mengerjakan pekerjaan harian seperti menunas, membibit dan bahkan memanen. Buruh outsourcing yang mengerjakan pekerjaan memanen dapat ditemukan di PT BSP Kuala Piasa Estate dengan upah sebesar Rp 200/janjang.
Selain BHL dan buruh kontrak, ditemukan juga buruh yang pekerjaannya mengutip berondolan yang lazim disebut tukang berondol. Tukang berondolan ini umumnya adalah isteri dari SKU Pemanen. Beberapa perusahaan mewajibkan pemanen membawa tukang berondol seperti PT Lonsum Turangie Estate-Langkat, PT Lonsum Rambung Sialang dan PT Sulung Laut-Serdang Bedagai. Rata-rata upah yang diterima tukang berondol sebesar Rp 15.000-Rp 20.000/hari. Namun demikian terdapat juga sistem pengupahan tukang berondol berbasis hasil yang diperolehnya. Seperti di PT Lonsum Gunung Melayu-Asahan dimana upah tukang berondol dihargai Rp 169.5/Kg dan di PT Sulung Laut dimana upah tukang berondol dihargai Rp 2.500/goni.
Penggunaan buruh BHL memberikan keuntungan yang sangat besar bagi perusahaan perkebunan. Keuntungan yang diperoleh perusahaan tersebut dalam bentuk pengurangan biaya produksi. Perusahaan perkebunan tidak perlu mengeluarkan berbagai jenis jaminan sosial karena resiko kerja sepenuhnya ditanggung pihak buruh. Buruh tidak memperoleh tunjangan dan jaminan perlindungan kerja apapun selain upah. Hubungan kerja lepas ini menyebabkan kemampuan buruh untuk menegosiasikan kepentingannya menjadi rendah.
Informalisasi hubungan kerja yang diterapkan perusahaan perkebunan untuk memaksimalkan keuntungan yang diperoleh menyebabkan terjadinya pengurangan upah buruh dalam jumlah yang sangat besar. Akibatnya buruh perkebunan tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Di sisi lain, kesehatan dan tingkat pendidikan anak buruh juga menjadi tidak terjamin. Dalam konteks yang lebih luas, informalisasi ini tidak pernah diawasi oleh pemerintah.
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia telah menetapkan bahwa buruh berhak menerima upah yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Konstitusi juga menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja selanjutnya disebutkan juga bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
Resume Buku Kuli
Ruki sejak kecil tinggal bersama neneknya karena Ibu kandungnya sudah meninggal dan Ayahnya kawin lagi dengan perempuan muda dan tidak memperhatikan Ruki lagi. Ruki tinggal di komunitas petani yang terletak didaerah pegunungan. Rutinitas kehidupannya sehari-hari adalah membantu neneknya di sawah dan mengembalakan kerbau. Dalam pengasuhan neneknya Ruki menerima pengetahuan bahwa segala ciptaan Tuhan adalah baik, sederhana dan wajar.
Awal proses Ruki menjadi Kuli Kontrak bermula ketika seorang pengerah kuli dari suku Betawi masuk ke kampungnya dan mengiming-imingi pemuda kampung dengan segala macam mimpi, kemewahan dan kesenangan di Tanah Deli. Kemewahan, mimpi-mimpi dan kesenangan itu digambarkan seperti adanya kereta api besi, rumah besar, banyak emas,banyak perempuan muda cantik, bebas main judi, dan mereka akan cepat kaya bila pergi ke Tanah Deli.
Mimpi akan kemewahan dan kesenangan itu sangat mempengaruhi pikiran Ruki dan pemuda kampung. Adanya keinginan untuk memperoleh kesenangan dan kemewahan itu menyebabkan Ruki memutuskan untuk pergi ke Tanah Deli. Ia tidak sendiri, Sidir dan karimun, teman sekampungnya juga ikut. Inilah awal keprrgian Ruki ke Tanah Deli. Selanjutnya bersama dengan pengerah kuli kontrak itu mereka berangkat ke rumah seorang kontrolir berkebangsaan Belanda. Disinipun Ruki sudah diperlakukan seenaknya oleh kontrolir.
Dalam ketidaktahuan dan kebodohan mereka bertiga menandatangi kontrak kerja dan diberi uang sebagai persekot gaji. Persekot gaji inilah yang menjadi alat bagi pengerah kuli kontrak itu untuk menekan mereka agar tidak membatalkan kontrak. Kebodohan mereka dan juga yang lain merupakan salah satu penyebab tingginya arus masuk pemuda Jawa menjadi kuli kontrak di Tanah Deli.
Sebelum diberangkatkan mereka diinapkan di sebuah sebuah bangsal yang telah penuh dengan orang-orang seperti mereka., kuli kontrak. Ada perempuan muda,tua, pemuda dari berbagai suku bercampur di bangsal tersebut. Kuli kontrak, demikian sebutan untuk mereka dibawa ke pelabuhan dan diperlakukan seperti barang yang diperjualbelikan. Namun begitupun, tidak nampak sikap mereka untuk melawan. Dalam perjalanan, konflik antar kuli sudah terjadi. Ruki juga terlibat dalam konflik dengan sesama kuli. Diperjalanan kuli kontrak sudah mulai dbentak-bentak,dipukuli dan diatur-atur. Benih konflik mulai tertanam antara Ruki dengan seorang kuli kontrak dari suku Madura. Dalam konteks yang lebih luas hal seperti inilah yang menyebabkan tidak ada persatuan di kalangan kuli kontrak.
Sebegitu jauh, terdapat sikap fatalis di pikiran para kuli kontrak bahwa menjadi kuli kontrak sudah merupakan nasib yang diberikan Tuhan pada mereka. Ada kepasrahan sikap disitu. Para kuli sebenarnya tidak tahu mereka akan dibawa kemana. Yang ada dalam benak mereka hanyalah Tanah Deli,tanah yang penuh dengan emas dan kesenangan. Walaupun sudah ada bibit konflik, namun ikatan persamaan nasib diantara mereka mulai terjalin. Ikatan orang-orang yang kehilangan kebebasan, kehilangan hak, tanpa keluarga dan tanpa tanah. Para kuli kontrak dalam cerita ini antara lain Sentono, Karminah, Wiryo, Marto,Nur, Saimah.
Pemilik kebun memiliki strategi memecah belah kuli dengan cara memperkerjakan orang-orang lain suku yang sering diperhadapkan satu sama lain dalam posisi bertentangan. Ini bisa dilihat dari mandor yang berasal dari suku Jawa, pengerah kuli dari suku Betawi, pengawas dari orang Benggala. Perkebunan jaman dulu sudah mengenal kelas dan tingkatan pekerja seperti Tuan besar, mandor besar, Centeng, Kerani, Asisten dan kuli. Kuli kontrak yang termasuk dalam rombongan Ruki terdiri dari suku Jawa, Sunda dan orang Cina. Pemilik kebun memisahkan kelompok ini berdasarkan suku kedalam pondok-pondok tertentu. Pemisahan ini bertujuan untuk mencegah/meminimalisir kedekatan antar kuli kontrak dan juga sebagai cara untuk menanamkan bibit permusuhan antar kelompok.
Jam kerja kuli kontrak selama 10 jam sehari . Kondisi kuli kontrak disini sangat menyedihkan. Kuli kontrak harus jongkok bila bertemu atau menjumpai orang yang levelnya berada diatasnya seperti mandor besar, tuan besar, centeng atau kerani. para kuli kontrak juga sering dibentak, dipukuli, dipaksa mengerjakan tugas tanpa melihat kesanggupan fisik kuli.
Sementara itu kuli perempuan bebas dijadikan isteri dengan sesuka hati tinggal meminta persetujuan dari mandor besar. Mandor atau pemilik kebun seringkali meniduri kuli perempuan baik yang sudah berkeluarga maupun yang masih lajang dengan sesuka hati. Pemukulan dan penyiksaan terhadap kuli adalah hal biasa. Kuli harus patuh pada perintah mandor, tidak boleh melawan. Apabila kuli melawan maka pukulan menjadi hukumannya.
Kuli kontrak ditempatkan di pondokan yang berdinding papan, berlantai tanah dan beratpkan rumbia. Nasib kuli kontrak disini sangat tragis. Untuk tidurpun mereka diatur-atur. Jam tidur kuli kontrak ditetapkan pada jam 9 malam. Setiap jam 9 malam kentongan berbunyi sebagai isyarat bahwa para kuli harus segera tidur. Jam 5 pagi kuli kontrak harus bangun dan bersiap untuk bekerja. Di pondokan pemilik kebun membolehkan orang Cina untuk membuka warung. Pemilik kebun juga mengijinkan perjudian dan tidak melarang praktek pelacuran yang terjadi di pondokan kuli. Semua ini merupakan strategi pemilik kebun dalam rangka membuat kuli semakin tergantung pada mereka dan akhirnya para kuli tidak bisa pergi kemana-mana.
Pekerjaan awal para kuli sebelum lahan hutan itu menjadi perkebunan adalah membabat hutan. Dalam kondisi ini, ada target kerja yang harus dipenuhi kuli kontrak seriap harinya. Bila target tidak terpenuhi, maka sebagai hukumannya para kuli akan dipukul oleh mandor.
Kuli kontrak memiliki waktu istirahat dan makan siang. Menu makan siang kuli kontrak adalah nasi bungkus dan ikan asin. Ada kelas khusus kuli kontrak yang dipekerjakan untuk menangani tugas semacam ini. Kuli kontrak yang ditugaskan untuk tugas seperti ini adalah kuli perempuan. Gaji kuli kontrak rata-rata 3 sen /bulan. Pemilik kebun mengijinkan para kuli bermain judi atau main perempuan. Inilah strategi pemilik kebun untuk menahan para kuli agar tetap berada di wilayah kekuasaannya. Dari perjudian itu kuli banyak yang berutang, gaji kuli dihabiskan di rumah pelacuran. Kondisi ini menyebabkan kuli tidak memiliki simpanan dan terpaksa terus bekerja guna membayar hutangnya.
Isteri para kuli sering dijadikan pemuas nafsu mandor dan pemilik kebun. Suami mereka tidak ada yang berani melawan. Mengherankan memang. Penindasan terhadap kuli perempuan bukan hanya dilakukan oleh kaum laki-laki, tetapi juga oleh mandor perempuan (Minah) yang sering membentak. memarahi, dan memukuli kuli perempuan. Selama 1 bulan kuli kontrak bekerja 28 hari dengan 2 hari istirahat.
Hutan yang dirambah telah berganti menjadi perkebunan karet. Kuli kontrak yang sakit atau mengalami kecelakaan kerja tidak pernah diperhatikan oleh pemilik kebun. Malahan kuli kontrak yang sakit atau mengalami kecelakaan kerja tidak mau melaporkan kondisinya karena ketakutan kondisinya akan semakin parah bila diketahui oleh tuan besar atau mandor. Kuli kontrak yang sakit pun malah dibentak-bentak atau dimarahi mandor.
Konflik antar kuli akhirnya terjadi juga. Konflik ini terjadi antara kuli Jawa dan kuli Cina. Kuli Cina seringkali memakai perempuan Jawa untuk memuaskan nafsunya. Kondisi ini membangkitkan sentimen kesukuan di kalangan Kuli Jawa. Seorang kuli Cina dibunuh. Inilah puncak dari konflik yang sudah dipelihara sebelumnya. Namun demikian, kuli Jawa kompak menyembunyikan siapa pelaku pembunuhan itu. Bagi kuli Jawa, terbunuhnya kuli Cina tersebut telah membalaskan perasaan dendam yang selama ini mereka pendam. Pembunuhan kuli Cina tersebut juga merupakan wujud perlawanan para kuli terhadap kondisi yang mereka alami.
Ruki , tokoh sentral dalam cerita ini kadang-kadang merindukan kampung halaman, merindukan kebebasannya. Namun kerinduan akan kebebasan ini tidak memberikan semangat perlawanan dalam diri Ruki. Dimasa perpanjangan kontrak, pemilik kebun melalui mandor tiba-tiba baik kepada para kuli kontrak dengan maksud agar para kuli mau bertahan dan menyambung kontrak kerja. Perasaan malu kalau pulang tanpa membawa emas seperti yang digemborkan dan himpitan utang menyebabkan para kuli terpaksa menyambung kontrak.
Selanjutnya seiring perjalanan waktu, keinginan Ruki untuk pulang dan mendapatkan kebebasannya kembali telah sirna. Yang muncul malah watak konsumerisme dalam diri Ruki dan mungkin juga dalam diri para kuli kontrak yang lain. Perkebunan karet itu telah berkembang. Di wilayah kebun telah dibangun pabrik karet, pertanda modernisasi alat produksi telah memasuki perkebunan di Tanah Deli. Namun begitu pekerjaan kuli kontrak tetaplah menyadap dan menyiangi. Inilah rutinitas yang mereka hadapi selain perjudian dan perempuan. Rutinitas ini ditambah dengan adanya sekat-sekat antar kelompok kuli, jam kerja yang panjang menyebabkan kuli larut dalam keterasingan dan akhirnya semangat perlawanan tidak pernah muncul.
Waktu terus berjalan, Ruki akhirnya menerima kondisi yang dialaminya. Ruki menjadi fatalis, pasrah pada keadaan dan menerima begitu saja keadaan sekelilingnya. Permainan judi dan perempuan tidak bisa dilupakannya. Faktor inilah yang kelak manghambat keinginan Ruki untuk tidak lagi memperpanjang kontrak kerja dan pulang kampung. Watak Ruki juga berubah, awalnya ia memang memiiki sifat melawan, namun pada akhirnya ia menerima kondisinya. Ruki malah sering mengambil hati tuan besar pemilik kebun.
30 tahun masa Ruki menjadi kuli kontrak di Tanah Deli. Keinginannya untuk pulang ke Jawa tidak pernah terwujud karena uangnya habis di meja judi dan sebagai konsekuensinya ia harus menyambung kontrak. Nasibnya tidak berubah, tetap menjadi kuli kontrak. Sama seperti Ruki, para kuli kontrak lain menjalani waktu yang panjang sebagai kuli kontrak di Tanah Deli. Di Tanah Deli para kuli menikah sesama mereka. Keturunan mereka bahkan sudah ada yang menjadi kuli kontrak sama seperti orangtuanya. Ini bisa dilihat dari anak Wiryo yang jadi penyadap. Pelacuran, perjudian, penyiksaan, pemukulan kuli, sekat-sekat diantara kuli, pengelompokan kuli berdasarkan suku merupakan fenomena kondisi kuli kontrak jaman dulu yang digambarkan lewat cerita ini. Kondisi seperti itu tidak berbeda jauh dengan kondisi kuli perkebunan jaman sekarang.
Reduksi Upah Buruh
…Buruh perkebunan di Sumatera Utara bertahan hidup dengan upah jauh di bawah standar kehidupan layak
Perusahaan perkebunan selalu memiliki cara-cara dalam rangka meraup keuntungan maksimal dengan pengeluaran minimal. Pemindahan tanggungjawab kepada buruh merupakan salah satu strategi yang dikembangkan untuk mencari tingkat keuntungan yang sebesar-sebesarnya. Pengalihan tanggungjawab penyediaan alat kerja dan alat pelindung kerja oleh perusahaan kepada buruh ini mengurangi jumlah pendapatan yang seharusnya diterima oleh buruh. Kondisi ini umumnya dialami oleh buruh pemanen yang harus menyediakan sendiri alat kerja dan alat pelindung kerja.
Di PT Lonsum Rambung Sialang misalnya, seorang buruh SKU harian yang bekerja di afdeling IV menyatakan bahwa alat kerja tidak disediakan oleh perusahaan, sehingga buruh harus membawa masing-masing alat kerjanya. Kondisi yang sama juga dapat dilihat di PT Socfindo Bangun Bandar, dimana untuk SKU harian, perusahaan tidak menyediakan parang atau cangkul. Rum (40 tahun), seorang BHL harian di PT Lonsum Rambung Sialang menyatakan perusahaan tidak menyediakan alat kerja yang diperlukannya. Sehari-hari Rum mengerjakan 3 jenis pekerjaan yakni membabat, mengarit dan memupuk Kondisi yang sama juga dapat dilihat di PT Socfindo Bangun Bandar, dimana untuk BHL harian, perusahaan tidak menyediakan parang dan babat.
Dalam konteks penyediaan alat perlindungan kerja, investigasi yang dilakukan di beberapa perusahaan perkebunan, diperoleh data bahwa perusahaan juga tidak melengkapi semua alat pelindung kerja yang diperlukan buruh baik berstatus SKU, BHL maupun outsourcing. Alat pelindung kerja ini harus disediakan sendiri oleh buruh dengan biaya sendiri. Untuk buruh pemanen berstatus BHL maupun outsourcing, kondisinya hampir sama dengan buruh SKU Seorang BHL penunas di PT Socfindo Bangun Bandar menyatakan harus mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli sepatu, sarung tangan dan kaus kaki.
Selain karena pengalihan tanggungjawab penyediaan alat kerja dan alat perlindungan kerja, upah buruh juga masih dikurangi oleh biaya perawatan pondok. Beberapa perusahaan memang menyediakan pondok bagi buruh, namun kondisi pondokan tersebut tidaklah layak huni. Selain tidak layak huni, buruh juga masih dibebankan dengan biaya penyediaan listrik dan air bersih. Seperti yang disampaikan oleh Nb ( buruh PT BSP Kuala Piasa Asahan), “Pondok kami itu terbuat dari papan, luasnya kira-kira 4 x 10 meter gitu. Perusahaan memang menyediakan listrik dan air. (Iuran) Listrik kami dipotong setiap bulannya, air dijatah hanya 4 jerigen setiap hari. Ada juga dikasi perusahaan mesin, tapi kalau rusak, perusahaan tidak mau tahu dan kalau dilaporkan maka proses perbaikannya lamban”, katanya.
Dari aspek kelayakan, kondisi pondok memang jauh dari standar hunian yang layak. “Kami harus mengambil sendiri air ke sumbernya. Jarak pondok ke sumber air sekitar 100 meter. Tidak ada saluran air bersih yang disediakan perusahaan. Kalau WC kami sendiri yang buat. Memang pondok kami ini tidak layak huni. Kalau tidak salah, ini tahun 1997, sudah banyak bolong dan atapnya sering bocor. Padahal di slip gaji ada potongan untuk perawatan pondok”, ia menambahkan. Pondokan buruh di PT BSP Kuala Piasa sebagian besar tidak dilengkapi dengan kamar mandi dan fasilitas MCK.
Di PT SPR, perusahaan membebankan uang listrik sebesar Rp 5.000/pondok untuk biaya operasional mesin genset. Listrik di pondok hidup mulai jam 04.00-07.00, jam 07.00-18.00 mati, kemudian dihidupkan lagi mulai jam 18.00-23.00. Tidak ada fasilitas wc dan kamar mandi di pondok, perusahaan juga tidak menyediakan fasilitas air bersih.
Di beberapa perusahaan, disediakan tempat penitipan anak (TPA) yang difasilitasi oleh perusahaan seperti PT Lonsum Pulo Rambung dan PT Socfindo Bangun Bandar. Beberapa perusahaan tidak menyediakan sama sekali fasilitas TPS sehingga menyebabkan buruh harus menitipkan anaknya pada tetangga dengan biaya Rp 80.000-Rp 150.000. Perusahaan yang tidak menyediakan TPA itu seperti PT BSP Kuala Piasa, PT JBP, PT Lonsum Turangie, PT Sulung Laut dan PT Indah Pontjan. Diluar itu, ada perusahaan yang menyediakan TPA dengan biayanya dibebankan kepada buruh yang menitipkan anaknya. Seperti di PT SPR, yang menyediakan TPA dengan biaya Rp 10.000/bulan
Besar Rata-Rata Upah Yang Diterima
Hasil investigasi yang dilakukan menunjukkan data bahwa, besaran upah maksimal yang diterima buruh SKU setiap bulannya berada di kisaran Rp 1.200.000-Rp 1.250.000. Untuk BHL dan outsourcing, besaran upah yang diterima berada dikisaran Rp 600.000-Rp 1.100.000. Setelah dikurangi dengan berbagai potongan tetap, biaya pembelian alat kerja dan alat pelindung kerja serta biaya transportasi upah yang bisa dibawa pulang buruh hanya sekitar Rp 980.000 (SKU) dan Rp 833.000 (BHL). Upah buruh outsourcing atau kontraktor dipastikan jauh lebih rendah lagi. Besar upah ini merupakan upah maksimal yang diterima buruh tanpa dikenai potongan sanksi kerja dan sudah termasuk premi yang diperolehnya.
Besar upah rata-rata yang diterima buruh SKU maupun BHL tidak sampai pada angka satu juta. Jumlah sebesar itulah yang harus dipergunakan buruh untuk membiayai keluarganya. Investigasi yang dilakukan, rata-rata pengeluaran buruh setiap bulannya mencapai Rp 1.100.000 (konsumsi keluarga, pendidikan anak, sandang dan sebagainya). Untuk mensiasati kekurangan ini, buruh terpaksa mengambil pilihan mengurangi kualitas menu dan gizi makanan sehari-hari. Dengan upah yang minimal, mie instan, kangkung, gori, genjer dan telur menjadi menu rutinitas menu sehari-hari buruh. Hasil investigasi yang dilakukan terhadap menu makanan sehari-hari buruh perkebunan PT BSP Kuala Piasa Asahan diperoleh data bahwa menu rutin sehari-hari buruh di perusahaan tersebur adalah mie instan. Menu tersebut menjadi keharusan yang harus dipilih untuk mengurangi uang keluar akibat rendahnya upah yang diterima. Untuk menambah pemasukan, isteri-isteri buruh ikut membantu suaminya bekerja di kebun sebagai ‘menol’ (sebutan untuk buruh perempuan yang berstatus BHL) dengan upah per hari sebesar Rp. 15.000,- (lima belas ribu rupiah).
Keterbatasan upah juga menyebabkan buruh perkebunan tidak bisa menyekolahkan anaknya ke jenjang yang tinggi. Survey yang dilakukan KPS pada tahun 2010 di beberapa perusahaan perkebunan di Langkat, Serdang Bedagai dan Asahan memperoleh data bahwa mayoritas buruh perkebunan hanya bisa menyekolahkan anak hanya sampai jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Upah murah dan tiadanya tanggungjawab perusahaan perkebunan dalam pendidikan anak-anak buruh menjadi faktor utama yang menyebabkan sebagian besar anak-anak buruh perkebunan tidak mampu mengecap pendidikan yang layak.
Upah rendah yang diterima setiap bulan menyebabkan hampir tidak ada hari istirahat bagi buruh untuk memulihkan kesehatan fisiknya. Sementara bagi perusahaan, keuntungan yang diperoleh dari kerja kontanan ini sangat besar. Selain produksi yang dihasilkan akan besar sebagai konsekuensi keharusan buruh, perusahaan hanya memberi upah hanya kepada satu orang saja, padahal fakta menunjukkan bahwa anak dan isteri buruh juga ikut bekerja.
Kondisi kehidupan buruh yang tidak layak dan tiadanya waktu istirahat bagi buruh yang disebabkan oleh minimnya upah yang diterima merupakan pengingkaran terhadap hak ekosob buruh. Dalam kovenan internasional tentang hak ekosob diatur jaminan hak atas upah yang layak, upah yang sama untuk pekerjaan yang sama, non-diskriminasi dalam persyaratan rekrutmen serta kondisi kerja yang aman dan sehat. Penetapan upah harus memenuhi kebutuhan dasar buruh.
Penetapan upah yang memenuhi kebutuhan dasar buruh ini untuk menjamin pemenuhan hak atas kehidupan yang layak. Pasal 11 kovenan internasional tentang hak ekosob memuat hak atas standar kehidupan yang layak, hak atas peningkatan kondisi hidup yang berkesinambungan, serta hak atas pangan, sandang dan papan yang memadai.
Lebih Baik Mencari Lidi Daripada Memberondol
“Kalau begini, lebih bagus isteri awak cari lidi aja”, demikian penggalan kalimat yang keluar dari Omp (nama samaran) seorang buruh PT AEP Blangkahan Estate Langkat ketika penulis menayakan berapa upah yang diperoleh isterinya kalau ikut memberondol. Omp adalah seorang buruh pemanen yang diharuskan perusahaan untuk membawa kernet ke ancak. Karena ketidaksanggupan Omp untuk mengupahi orang lain, maka ia terpaksa mengajak isterinya meng-angkong buah atau mengutip berondolan diancak setiap hari.
Sore itu, di balai-balai depan pondokan PT AEP Blangkahan Estate , penulis menemui Omp dan isterinya.
Sejak kapan anda mengajak isteri ke ancak membantu pekerjaan anda ?
Sejak perusahaan mengharuskan buruh pemanen membawa kernet ke ancak. Perusahaan beralasan kalau pemanen nggak bawa kernet, maka kerjanya lamban
Kenapa anda mengajak isteri anda, bukan orang lain ?
Kalau saya membawa orang lain saya tidak sanggup membayarnya.
Kalau misalnya anda mengajak orang lain, berapa yang harus anda bayar rata-rata setiap bulannya
Tinggi juga, sekitar Rp 200.000 rata-rata. Upah kernet dari hasil premi dibagi dua. Premi itu di dapat dari kelebihan target kerja. Rata-rata per hari tak tentu dapat premi. Bisa dibilang rata-rata Rp. 12. 000/hari.
Kalau anda mengajak isteri anda, apa saja pekerjaan yang dilakukan isteri anda di ancak ?
Bisa mengangkong buah, bisa mengutip berondolan, tapi biasanya mengutip berondolan. Kalau disini, semua pemanen itu mengajak isterinya. Sekarang itu kalau nggak salah, sudah ada 44 orang pemberondol. Ada juga yang mengajak keluarganya, istilahnya anak lajangnya lah.
Anda memiliki 2 orang anak yang masih kecil, kalau isteri anda ikut memberondol di ancak, siapa yang menjaga anak-anak ?
Disini ada tempat penitipan anak, perusahaan sediain itu. Kalau anak-anak yang masih kecil, ya dititip disitu. Nanti kalau pulang kerja dijemput.
Berapa target borong yang harus anda penuhi setiap harinya ?
Kalau disini tahun tanam 94 ama 95, target kerjanya sekitar 1,2 ton lah
Dengan target kerja setinggi itu, anda bisa memenuhinya setiap hari ?
Ya harus, kalau nggak kena sanksi
Apa sanksinya ?
Kalau misalnya saya tak dapat target kerja, kerjaan saya yang satu hari itu dihitung perusahaan jadi harian.
Kembali ke soal memberondol tadi, apa perusahaan memberi katakanlah semacam upah pada yang memberondol ?
Disini, upah tukang memberondol dihargai Rp 18/kg, jadi kalau sehari dia dapat 100 kg, upahnya berapa lah ? cuma sekitar Rp 1.800/hari, kalau itu dikalikan 24 hari, dapatnya cuma Rp 46.000 saja sebulan. Itu dengan catatan kalau dia dapat 100 kg, kalau hanya dapat 50 kg, gimana ? Kalau diratakan, upahnya tukang memberondol hanya Rp 1.300/hari. Dulu kalau perjanjiannya, pemberondol itu dapat 12 % , tapi yang dikasi sekarang cuma 6 % saja
Makanya dari ini, menurut saya lebih baik isteri saya itu mencari lidi aja. Kalau cari lidi, sebulan itu paling sikit bisa dapat Rp 200.000. Kalau dia rajin bisa dapat lebih. Terus, kalau begitu kenapa anda malah mengajak isteri anda ke ancak ?
Itulah tadi, target kerja yang tinggi itu. Kita kan bukan cuma mengegrek saja, harus kita naikkan buahnya ke angkong, berondolan juga harus kita kutip. Soal upah memberondol tadi itu ya, itu belum dihitung kalau kena denda buah mengkal.
Maksudnya ?
Kita kan mengegrek sawit, menjatuhkan buah. Kita kan nggak jamin buah itu sudah masak semua atau belum, atau bisa juga jatuh. Kalau kedapatan ada buah mengkal, maka kena denda Rp 500 per janjang.
Darimana perusahaan tahu kalau kita mengambil buah mengkal ?
Kan ada mandor, mandor kan terus memantau kita.
Tentang kontanan, kalau di perusahaan ini berapa upah kontanan yang diberikan perusahaan ?
Disini kalau upah kontanan itu, nggak ada patokan. Cuma itu, perhitungannya kalau kontanan, janjang yang dapat itu diharga Rp 17/kg dengan berat diratakan setiap janjang itu 23 kg. Rata-rata paling sedikit buruh yang kontanan itu dapat 30 janjang. Tapi kalau rajin dia, bisa dapat 70 janjang.
……………………………………………………………………………………………………………………………………………
Paparan tentang kernet (tukang memberondol ) di PT AEP Blangkahan Estate yang bekerja tanpa memperoleh upah yang layak layak dicermati. Tukang memberondol sesungguhnya juga mengerjakan pekerjaan yang sama seperti buruh lainnya. Mereka memiliki jam kerja dan waktu kerja yang sama dengan buruh lain. Namun bagi PT AEP, mereka tidak dipandang sebagai buruh yang memiliki hak-hak normatif sesuai UU. Tukang memberondol ini bekerja tanpa adanya ikatan formal dengan perusahaan, harus menyediakan alat kerja sendiri, padahal tukang memberondol ini bekerja untuk perusahaan.
Bila tukang memberondol ini diasumsikan memperoleh upah sama dengan buruh SKU lain yakni sekitar Rp 1 juta setiap bulan dengan jumlah tukang memberondol 44 orang bisa dibayangkan berapa besar keuntungan nominal yang sudah diperoleh PT AEP selama 12 tahun kebijakan ini diterapkan. Ini belum ditambahi dengan biaya pembelian alat kerja yang harus disediakan sendiri, tunjangan atau bonus. Sementara perusahaan melakukan penindasan terhadap tukang memberondol yang bekerja tanpa upah, disisi lain anak-anak mereka terpaksa dititip di tempat penitipan anak tanpa ada jaminan anak-anak itu akan diperlakukan dengan baik.
KEBIJAKAN BERAS PEMERINTAH BELANDA DI SUMATRA BARAT 1930-1942 (Resume)
Buku ini merupakan pengembangan dari tesis Sabar (penulis-red) di Universitas Andalas Sumatra Barat. Tulisan dalam buku ini mengetengahkan naik-turunnya produksi beras di Sumatra Barat sejak tahun 1930 sebagai akibat kebijakan pemerintahan kolonial Belanda yang tidak menentu dalam pengaturan produksi beras .
Sejarah pertanian padi di Sumatra Barat merupakan rangkaian proses yang bersifat sebab akibat dan unik, mengingat beras merupakan komoditi yang sudah lama di perdagangkan. Petani padi di Sumatra Barat bila mengacu pada tulisan ini dikenal sebagai petani desa yang bercocok tanam dalam ruang lingkup keluarga dan memiliki ciri-ciri khas yang berbeda dengan pertanian komersil. Namun demikian bukan berarti, petani di Sumatra Barat menjauhkan diri dan sistem ekonomi pasar dimana, hasil produksi beras dijual ke pasar dengan harapan memperoleh keuntungan (dualistik).
Kehidupan ekonomi Masyarakat Minangkabau sebagai subjek dalam tulisan ini sebelum kedatangan kolonial Belanda bertumpu pada sektor pertanian. Oleh akrena itu penguasaan tanah sebagai milik bersama menjadi sangat penting. Bagi masyarakat Minangkabau, tanah merupakan lambang martabat hidup keluarga dan sekaligus sebagai penanda legalitas sosialnya sebagai orang Minangkabau. Tanah atau sawah merupakan sumber hidup bersama, sarana pergaulan karena proses penggarapannya harus dilakukan secara bersama.
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, fluktuasi produksi beras di Sumatra Barat dipengaruhi oleh kebijakan pertanian pemerintah kolonial Belanda pada saat itu. Pengawasan pemerintah kolonial terhadap produksi beras di wilayah tersebut telah dimulai sejak menancapkan kuku kekuasaanya di wilayah ini. Pemerintah kolonial memandang daerah tersebut sebagai penghasil beras dan menjadikannya sebagai produsen bahan makanan bagi penduduk dan buruh tambang Ombilin.
Pada masa perang Paderi, harga beras mencapai tingkat yang tinggi disebabkan oleh jalur distribusi yang terhambat. Selain itu pada masa perang, banyak lahan persawahan yang dihancurkan dan irigasi tidak diperhatikan. Sebab-sebab penghancuran ini tidak diuraikan lebih lanjut oleh penulis dalam buku ini. Seiring dengan bercokolnya kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di Sumatra Barat, tekanan terhadap petani mulai dirasakan. Pemerintah kolonial melakukan penahanan terhadap petani padi yang tidak mengikuti kebijakan yang telah ditetapkan.
Memasuki tahun 1930-an, terjadi krisis ekonomi dunia (malaise). Bagi masyarakat jajahan, termasuk di Sumatra Barat, krisis ekonomi dunia berarti pengurangan kesempatan kerja, turunnya harga hasil pertanian dan rendahnya upah buruh. Secara khusus, krisis ekonomi dunia ini mengembalikan watak petani Minangkabau yang subsisten. Pada periode ini, pemerintah kolonial mengeluarkan berbagai kebijakan yang mengatur produksi komoditas pertanian, terutama tanaman padi.
Akibat krisis ekonomi dunia, maka produksi komoditas tanaman pertanian yang beorientasi ekspor terhenti dan selanjutnya petani lebih memilih untuk kembali menanam padi. Terjadinya fluktuasi produksi beras pada kurun waktu 1930-1942 merupakan suatu konsekuansi logis akibat terjadinya krisis ekonomi dunia dan watak ekonomi masyarakat Minangkabau yang dualistik.
Penulis buku ini sepertinya kurang memperhatikan penjelasan tentang watak dualistik masyarakat petani Minangkabau. Ini diperlukan karena sebagaimana dinyatakan dalam buku ini, fluktuasi produksi beras tidak semata-mata disebabkan oleh kebijakan pemerintah kolonial saja. Tetapi produksi beras juga dipengaruhi oleh karakter ekonomi masyarakat Minangkabau yang mencari keuntungan dari komoditas lain.
Sebelum krisis ekonomi tahun 1930, produksi padi tetap tinggi walaupun perluasan lahan untuk komoditas lain berlangsung. Namun sejak tahun 1930, produksi beras mengalami penurunan akibat kebijakan pemerintah kolonial yang membatasi produksi. Kebijakan ini direspon oleh masyarakat Minangkabau dengan menanam tanaman perdagangan lain seperti kopi dan karet.
Politik pertanian yang dianut pemerintah kolonial Belanda padapada saat itu diarahkan untuk mencegah kenaikan harga beras. Kebijakan ini diambil untuk memenuhi kebutuhan pangan para buruh di perkebunan milik Belanda dan mencegah terjadinya keresahan masyarakat.
Fluktuasi produksi beras juga memiliki kaitan dengan perubahan dalam tenaga kerja. Sektor pertanian padi pada saat itu merupakan sektor yang banyak menyerap tenaga kerja disamping sektor pertanian tanaman perdagangan. Pada 1920 terjadi perubahan dalam hubungan kerja sejak diperkenalkannya buruh upahan lepas. Pada saat harga kopi dan karet melambung tinggi, banyak penduduk Sumatera Barat yang merantau dipanggil pulang untuk mengolah lahan perkebunan. Ketika harga kopi dan karet jatuh, terjadi pengurangan tenaga kerja. Tenaga kerja yang dipergunakan dalam pengolahan berasal dari anggota keluarga sendiri.
Pada saat harga kopi dan karet melambung, sebagian masyarakat Sumatera Barat lebih memilih mengembangkan lahannya untuk komoditas tersebut. Akibatnya tanaman pertanian padi kurang begitu diperhatikan, sehingga pasca 1930, untuk pemenuhan konsumsi, beras terpaksa didatangkan dari wilayah lain. Untuk mengantisipasi kekurangan beras ini, maka sejak tahun 1931, terjadi perluasan lahan pertanian padi dengan dibukanya areal hutan. Perluasan lahan ini membutuhkan banyak tenaga kerja. Dalam konteks inilah, peran penghulu sangat besar. Penghulu berperan dalam mengorganisir buruh untuk pekerjaan pertanian.
Secara umum buku ini banyak memberikan informasi tentang harga beras, jumlah produksi dan data-data lain berupa angka. Namun penulis sepertinya lebih mengutamakan data-data sekunder sebagai bahan dalam penulisan buku ini. Jika ditelisik lebih jauh, data atau informasi primer jarang sekali ditampilkan oleh penulis.
Selain itu, penulis juga tidak menggambarkan secara rinci apa saja kebijakan yang diambil oleh pemerintah kolonial dalam konteks penentuan produksi beras. Hal yang menjadi pertanyaan besar setelah membaca buku ini adalah informasi, data atau gambaran situasi yang digambarkan penulis dalam tulisannya menunjukkan bahwa seolah-olah wilayah Sumatera Barat itu bukanlah tanah jajahan Belanda. Satu dari beberapa hal yang menjelaskan pernyataan ini adalah diberikannya kebebasan yang besar bagi masyarakat Minangkabau untuk memproduksi dan memperdagangkan tanaman kopi dan karet--suatu hal yang tidak lazim dalam suasana penjajahan.
Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit VS Ketahanan Pangan
Dalam 10 tahun terakhir, industri kelapa sawit mengalami booming dengan beberapa alasan terutama kebutuhan investasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Faktor pendukung diluar itu adalah tekanan terhadap pengurangan bahan bakar fosil secara global. Dengan paradigma pertumbuhan ekonomi, pemerintah melihat bahwa industri kelapa sawit mampu menyerap tenaga kerja dan menghasilkan devisa negara dari pajak.
Ekspansi perkebunan kelapa sawit pada saat ini telah meluas hampir ke semua kepulauan besar di Indonesia. Selama 19 tahun terakhir, ekspansi perkebunan kelapa sawit mencapai rata-rata 315.000 Ha/tahun. Sampai saat ini Indonesia memiliki kurang lebih 7 juta hektar lahan yang telah ditanami kelapa sawit. Diluar itu, sekitar 18 juta hektar hutan telah dibuka atas nama ekspansi perkebunan kelapa sawit. Trend perluasan perkebunan kelapa sawit sekarang bergerak ke wilayah Sulawesi, Kalimantan dan Papua.
Bagi penentu kebijakan, perluasan perkebunan sawit ini sudah barang tentu membuka lapangan usaha baru, karena pada umumnya perkebunan sawit diusahakan diatas tanah yang baru dibuka atau belum diusahakan sebelumnya. Dampak langsung dari kehadiran perkebunan sawit adalah munculnya kesempatan kerja. Penyerapan tenaga kerja pada sektor perkebunan dan industri sawit menghasilkan angka yang cukup besar dibandingkan dengan industri lainnya. Diluar itu, terdapat kelompok masyarakat yang langsung maupun tidak langsung tergantung pada perkebunan kelapa sawit.
Jumlah tenaga kerja yang terserap pada perkebunan kelapa sawit, termasuk perkebunan rakyat diperkirakan mencapai angka 10 juta jiwa. Kehadiran perkebunan kelapa sawit memberikan dampak besar bagi perekonomian Indonesia yang masih memegang teguh paradigma pertumbuhan ekonomi. Industri sawit sangat menguntungkan dilihat dari segi daya penyebaran dan dampak pada peningkatan pendapatan pada para pelaku dan dampak terhadap ekonomi regional. Dari segi sumbangan terhadap devisa negara terbukti bahwa pertumbuhan ekonomi nasional ditopang oleh industri perkebunan kelapa sawit.
Sumatera Utara sebagai salah satu sentra perkebunan kelapa sawit di Indonesia menghasilkan rata-rata 1,7 juta ton CPO per tahun. Jumlah ini mencapai 8,23 % dari total produksi CPO nasional per tahun. Luas perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara setiap tahun juga mengalami peningkatan. Peningkatan luas ini terjadi karena konversi lahan pertanian khususnya sawah, terutama di daerah Langkat, Serdang Bedagai dan Labuhanbatu.
Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Di Sumatera Utara 2004-2009
No | Tahun | Luas (Ha) |
1 | 2004 | 844.882 |
2 | 2005 | 894.911 |
3 | 2006 | 1.044.230 |
4 | 2007 | 1,09 juta |
5 | 2008 | 1,106 juta |
6 | 2009 | 1.138.908 |
Di sisi lain, perkebunan kelapa sawit menghadirkan ketimpangan kepemilikan, konflik tanah, ancaman ketahanan pangan dan kerusakan ekosistem. Pertambahan luas perkebunan kelapa sawit seiring dengan perubahan dalam hal kepemilikan. Perkembangan menunjukkan bahwa pemerintah tidak lagi menjadi aktor utama dalam pemilikan perkebunan kelapa sawit. Fakta memperlihatkan bahwa kepemilikan maupun perluasan perkebunan kelapa sawit justru dilakukan oleh sektor swasta (asing). Perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit swasta asing tidak hanya melakukan perluasan tetapi juga melakukan privatisasi perkebunan-perkebunan kelapa sawit milik negara.
Ekspansi perkebunan kelapa sawit mengubah dinamika perekonomian lokal. Banyak petani yang lahannya terbatas tergelincir dalam proses pemiskinan. Petani yang sebelumnya petani subsistensi dengan bercocok tanam padi terpaksa mengkonversikan lahannya dengan menanami kelapa sawit akibat lahan pertanian mereka sudah dikelilingi dengan perkebunan kelapa sawit. Pilihan ini terpaksa diambil sebagai akibat dari berpindahnya hama dari kelapa sawit menuju lahan pertanian petani. Aspek modal, kualitas produksi dan pemasaran yang sangat terbatas menyebabkan hasil produksi tidak seimbang dengan pengeluaran. Akibatnya dalam posisi yang demikian banyak petani menjual lahannya ke pihak perkebunan dan untuk menyambung hidup mereka terpaksa menjadi tenaga upahan (perubahan status dari pemilik lahan menjadi buruh).
Konversi lahan akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit setiap tahunnya cenderung meningkat. Di Sumatera Utara sebagai contoh, pada tahun 2005-2006 terjadi pengalihan fungsi lahan pertanian seluas 39.669 hektare atau sekitar 7,55 persen dari luas baku lahan sawah berpengairan di Sumut. Alih fungsi lahan pertanian tersebut terutama terjadi ke sektor kelapa sawit dan sub sektor lain di luar sektor pertanian tanaman pangan. Alih fungsi lahan di Sumut sebanyak hampir 40 ribu hektare pada 2005-2006 itu terjadi di 13 Kabupaten. Daerah yang terbesar mengalami pengalihan fungsi lahan adalah Tapanuli Selatan, Asahan dan Labuhan Batu masing-masing sebesar 10. 455 hektare, 7373 hektar dan 6.809 hektare. Di Labuhanbatu, sebagai salah satu wilayah lumbung beras di Sumatera Utara, konversi lahan sawah menjadi perkebunan kelapa sawit rata-rata mencapai 5.000 hektar per tahunnya (Medan Bisnis 9 April 2008).
Tingginya angka konversi lahan pertanian ke sektor diluar pertanian berdampak pada penurunan produksi padi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sumut, produksi padi periode 1998-2006 mengalami penurunan 23 % per tahun. Penurunan itu terjadi akibat berkurangnya lahan pertanian padi sebesar 1,13 persen per tahun. Sementara itu, sejak 2007-2008, konversi lahan pertanian di Sumut tumbuh sekitar 4,2 persen. Lahan pertanian tersebut dialihkan ke tanaman keras dan kawasan pemukiman. Luas lahan sawah berpengairan yang beralih fungsi pada tahun 2006 mencapai 280.847 hektar dan tahun 2008 mencapai 278.560 hektar. Kurun waktu 2007-2008, alih fungsi terbesar terjadi di Kabupaten Asahan yang mencapai 6.800 hektar, disusul Nias 6.700 hektar, Serdang Bedagai 2.300 hektar dan Langkat 1.400 hektar.
Keikutsertaan puluhan perusahaan besar berskala internasional, dengan modal tidak terbatas, telah membuat perkembangan teknologi kelapa sawit, baik dari penyediaan bibit sampai pengolahan pascapanen, melaju cepat di antara lambatnya perkembangan tanaman pangan dan hortikultura lainnya. Sebaliknya, pertanian tanaman pangan berjalan terseok-seok dan lebih banyak menunjukkan tren menurun. Padahal, dari kondisi geografisnya, Sumut memiliki lahan potensial untuk mengembangkan tanaman pertanian, khususnya padi. Dari gambaran itu jelas terdapat korelasi antara penurunan luas areal tanaman padi dan pertambahan luas perkebunan kelapa sawit. Tidak dipungkiri, cerita indah manisnya penghasilan petani kelapa sawit telah membuat laju konversi lahan semakin cepat.
Kehadiran perkebunan kelapa sawit tidak hanya mengakibatkan kerusakan ekologi, tetapi juga mempengaruhi kondisi sosio-ekonomi masyarakat komunitas, terutama petani pangan. Alih fungsi lahan pertanian sebagai akibat pembukaan lahan sawit telah menyebabkan perubahan pola tanam petani pangan, khususnya padi. Kawasan yang dahulunya adalah merupakan areal persawahan berubah menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Pola tanam padi yang tidak serentak akibat dampak perluasan areal tanaman keras, terutama kelapa sawit membawa resiko bagi petani yang masih bertahan di tanaman padi.
Konversi lahan juga mengakibatkan kerugian ekologis bagi sawah di sekitarnya, antara lain hilangnya hamparan efektif untuk menampung kelebihan air limpasan yang bisa membantu mengurangi banjir. Kerugian itu masih bertambah dengan hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan bagi petani penggarap, buruh tani, penggilingan padi, dan sektor- sektor lainnya. Pertanian tanaman padi merupakan komoditas yang paling banyak menyediakan lapangan kerja dalam sektor pertanian.
Luas Areal Pertanian Padi di Sumatera Utara 2004-2008
No | Tahun | Luas (Ha) |
1 | 2004 | 826.091 |
2 | 2005 | 822.073 |
3 | 2006 | 782.404 |
4 | 2007 | 750.232 |
5 | 2008 | 748.540 |
Upaya pemerintah mengantisipasi alih fungsi lahan pertanian pangan tampaknya masih sebatas wacana. Pasalnya, peraturan pemerintah (PP) yang menjadi aturan pelaksana Undang-undang (UU) No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan hingga kini belum disahkan. Belum adanya PP ini membuat pemerintah daerah tidak bisa menyusun rancangan peraturan daerah (perda) yang mengatur perlindungan lahan pertanian pangan. Padahal, kondisi lahan pertanian pangan sudah semakin memprihatinkan, terutama akibat alih fungsi lahan untuk kepentingan lain seperti perkebunan, pemukiman, industri dan sebagainya
Tingginya alih fungsi lahan sawah ini makin menguatkan indikasi bahwa kebijakan pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang ada belum efektif. Disamping itu faktor regulasi pemerintah atau kebijakan juga dapat mempengaruhi petani atau pelaku pertanian untuk tetap mempertahankan lahannya atau justru mengalih fungsikannya baik dalam bentuk komoditi non padi atau justru menjual lahan yang kemudian beralih fungsi menjadi multifungsi penggunaan seperti sarana publik maupun perumahan.
Permasalahan yang ditimbulkan oleh akibat konversi lahan pertanian tanaman pangan ke non pertanian dilihat bukan hanya dampaknya kepada produksi saja, tetapi juga dalam perspektif yang lebih luas. Dampak yang lebih luas tersebut termasuk pengaruhnya terhadap kestabilan politik yang diakibatkan oleh kerawanan pangan, perubahan sosial yang merugikan, menurunnya kualitas lingkungan hidup terutama yang menyangkut sumbangan fungsi lahan sawah kepada konservasi tanah dan air untuk menjamin kehidupan masyarakat dimasa depan. Dampak dari kehilangan lahan pertanian produktif adalah kehilangan hasil pertanian secara permanen, sehingga apabila kondisi ini tidak terkendali maka dipastikan kelangsungan dan peningkatan produksi akan terus berkurang dan pada akhirnya akan mengancam kepada tidak stabilnya ketahanan pangan di Sumatera Utara.