…Buruh perkebunan di Sumatera Utara bertahan hidup dengan upah jauh di bawah standar kehidupan layak
Perusahaan perkebunan selalu memiliki cara-cara dalam rangka meraup keuntungan maksimal dengan pengeluaran minimal. Pemindahan tanggungjawab kepada buruh merupakan salah satu strategi yang dikembangkan untuk mencari tingkat keuntungan yang sebesar-sebesarnya. Pengalihan tanggungjawab penyediaan alat kerja dan alat pelindung kerja oleh perusahaan kepada buruh ini mengurangi jumlah pendapatan yang seharusnya diterima oleh buruh. Kondisi ini umumnya dialami oleh buruh pemanen yang harus menyediakan sendiri alat kerja dan alat pelindung kerja.
Di PT Lonsum Rambung Sialang misalnya, seorang buruh SKU harian yang bekerja di afdeling IV menyatakan bahwa alat kerja tidak disediakan oleh perusahaan, sehingga buruh harus membawa masing-masing alat kerjanya. Kondisi yang sama juga dapat dilihat di PT Socfindo Bangun Bandar, dimana untuk SKU harian, perusahaan tidak menyediakan parang atau cangkul. Rum (40 tahun), seorang BHL harian di PT Lonsum Rambung Sialang menyatakan perusahaan tidak menyediakan alat kerja yang diperlukannya. Sehari-hari Rum mengerjakan 3 jenis pekerjaan yakni membabat, mengarit dan memupuk Kondisi yang sama juga dapat dilihat di PT Socfindo Bangun Bandar, dimana untuk BHL harian, perusahaan tidak menyediakan parang dan babat.
Dalam konteks penyediaan alat perlindungan kerja, investigasi yang dilakukan di beberapa perusahaan perkebunan, diperoleh data bahwa perusahaan juga tidak melengkapi semua alat pelindung kerja yang diperlukan buruh baik berstatus SKU, BHL maupun outsourcing. Alat pelindung kerja ini harus disediakan sendiri oleh buruh dengan biaya sendiri. Untuk buruh pemanen berstatus BHL maupun outsourcing, kondisinya hampir sama dengan buruh SKU Seorang BHL penunas di PT Socfindo Bangun Bandar menyatakan harus mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli sepatu, sarung tangan dan kaus kaki.
Selain karena pengalihan tanggungjawab penyediaan alat kerja dan alat perlindungan kerja, upah buruh juga masih dikurangi oleh biaya perawatan pondok. Beberapa perusahaan memang menyediakan pondok bagi buruh, namun kondisi pondokan tersebut tidaklah layak huni. Selain tidak layak huni, buruh juga masih dibebankan dengan biaya penyediaan listrik dan air bersih. Seperti yang disampaikan oleh Nb ( buruh PT BSP Kuala Piasa Asahan), “Pondok kami itu terbuat dari papan, luasnya kira-kira 4 x 10 meter gitu. Perusahaan memang menyediakan listrik dan air. (Iuran) Listrik kami dipotong setiap bulannya, air dijatah hanya 4 jerigen setiap hari. Ada juga dikasi perusahaan mesin, tapi kalau rusak, perusahaan tidak mau tahu dan kalau dilaporkan maka proses perbaikannya lamban”, katanya.
Dari aspek kelayakan, kondisi pondok memang jauh dari standar hunian yang layak. “Kami harus mengambil sendiri air ke sumbernya. Jarak pondok ke sumber air sekitar 100 meter. Tidak ada saluran air bersih yang disediakan perusahaan. Kalau WC kami sendiri yang buat. Memang pondok kami ini tidak layak huni. Kalau tidak salah, ini tahun 1997, sudah banyak bolong dan atapnya sering bocor. Padahal di slip gaji ada potongan untuk perawatan pondok”, ia menambahkan. Pondokan buruh di PT BSP Kuala Piasa sebagian besar tidak dilengkapi dengan kamar mandi dan fasilitas MCK.
Di PT SPR, perusahaan membebankan uang listrik sebesar Rp 5.000/pondok untuk biaya operasional mesin genset. Listrik di pondok hidup mulai jam 04.00-07.00, jam 07.00-18.00 mati, kemudian dihidupkan lagi mulai jam 18.00-23.00. Tidak ada fasilitas wc dan kamar mandi di pondok, perusahaan juga tidak menyediakan fasilitas air bersih.
Di beberapa perusahaan, disediakan tempat penitipan anak (TPA) yang difasilitasi oleh perusahaan seperti PT Lonsum Pulo Rambung dan PT Socfindo Bangun Bandar. Beberapa perusahaan tidak menyediakan sama sekali fasilitas TPS sehingga menyebabkan buruh harus menitipkan anaknya pada tetangga dengan biaya Rp 80.000-Rp 150.000. Perusahaan yang tidak menyediakan TPA itu seperti PT BSP Kuala Piasa, PT JBP, PT Lonsum Turangie, PT Sulung Laut dan PT Indah Pontjan. Diluar itu, ada perusahaan yang menyediakan TPA dengan biayanya dibebankan kepada buruh yang menitipkan anaknya. Seperti di PT SPR, yang menyediakan TPA dengan biaya Rp 10.000/bulan
Besar Rata-Rata Upah Yang Diterima
Hasil investigasi yang dilakukan menunjukkan data bahwa, besaran upah maksimal yang diterima buruh SKU setiap bulannya berada di kisaran Rp 1.200.000-Rp 1.250.000. Untuk BHL dan outsourcing, besaran upah yang diterima berada dikisaran Rp 600.000-Rp 1.100.000. Setelah dikurangi dengan berbagai potongan tetap, biaya pembelian alat kerja dan alat pelindung kerja serta biaya transportasi upah yang bisa dibawa pulang buruh hanya sekitar Rp 980.000 (SKU) dan Rp 833.000 (BHL). Upah buruh outsourcing atau kontraktor dipastikan jauh lebih rendah lagi. Besar upah ini merupakan upah maksimal yang diterima buruh tanpa dikenai potongan sanksi kerja dan sudah termasuk premi yang diperolehnya.
Besar upah rata-rata yang diterima buruh SKU maupun BHL tidak sampai pada angka satu juta. Jumlah sebesar itulah yang harus dipergunakan buruh untuk membiayai keluarganya. Investigasi yang dilakukan, rata-rata pengeluaran buruh setiap bulannya mencapai Rp 1.100.000 (konsumsi keluarga, pendidikan anak, sandang dan sebagainya). Untuk mensiasati kekurangan ini, buruh terpaksa mengambil pilihan mengurangi kualitas menu dan gizi makanan sehari-hari. Dengan upah yang minimal, mie instan, kangkung, gori, genjer dan telur menjadi menu rutinitas menu sehari-hari buruh. Hasil investigasi yang dilakukan terhadap menu makanan sehari-hari buruh perkebunan PT BSP Kuala Piasa Asahan diperoleh data bahwa menu rutin sehari-hari buruh di perusahaan tersebur adalah mie instan. Menu tersebut menjadi keharusan yang harus dipilih untuk mengurangi uang keluar akibat rendahnya upah yang diterima. Untuk menambah pemasukan, isteri-isteri buruh ikut membantu suaminya bekerja di kebun sebagai ‘menol’ (sebutan untuk buruh perempuan yang berstatus BHL) dengan upah per hari sebesar Rp. 15.000,- (lima belas ribu rupiah).
Keterbatasan upah juga menyebabkan buruh perkebunan tidak bisa menyekolahkan anaknya ke jenjang yang tinggi. Survey yang dilakukan KPS pada tahun 2010 di beberapa perusahaan perkebunan di Langkat, Serdang Bedagai dan Asahan memperoleh data bahwa mayoritas buruh perkebunan hanya bisa menyekolahkan anak hanya sampai jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Upah murah dan tiadanya tanggungjawab perusahaan perkebunan dalam pendidikan anak-anak buruh menjadi faktor utama yang menyebabkan sebagian besar anak-anak buruh perkebunan tidak mampu mengecap pendidikan yang layak.
Upah rendah yang diterima setiap bulan menyebabkan hampir tidak ada hari istirahat bagi buruh untuk memulihkan kesehatan fisiknya. Sementara bagi perusahaan, keuntungan yang diperoleh dari kerja kontanan ini sangat besar. Selain produksi yang dihasilkan akan besar sebagai konsekuensi keharusan buruh, perusahaan hanya memberi upah hanya kepada satu orang saja, padahal fakta menunjukkan bahwa anak dan isteri buruh juga ikut bekerja.
Kondisi kehidupan buruh yang tidak layak dan tiadanya waktu istirahat bagi buruh yang disebabkan oleh minimnya upah yang diterima merupakan pengingkaran terhadap hak ekosob buruh. Dalam kovenan internasional tentang hak ekosob diatur jaminan hak atas upah yang layak, upah yang sama untuk pekerjaan yang sama, non-diskriminasi dalam persyaratan rekrutmen serta kondisi kerja yang aman dan sehat. Penetapan upah harus memenuhi kebutuhan dasar buruh.
Penetapan upah yang memenuhi kebutuhan dasar buruh ini untuk menjamin pemenuhan hak atas kehidupan yang layak. Pasal 11 kovenan internasional tentang hak ekosob memuat hak atas standar kehidupan yang layak, hak atas peningkatan kondisi hidup yang berkesinambungan, serta hak atas pangan, sandang dan papan yang memadai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar