Perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja buruh perkebunan
dirasakan tidak memadai. Penggunaan bahan beracun dan berbahaya dalam proses produksi, lemahnya
penegakan hukum dan kurangnya pengawasan, serta minimnya perlindungan terhadap keselamatan
kerja berlangsung tanpa ada terobosan yang berarti didalam memperbaiki kondisi
kerja bagi buruh. Bentuk kecelakaan kerja di perkebunan, khususnya perkebunan sawit adalah
tertimpa pelepah dan buah, terkena tetesan gromoxone, glifosat dan terhirup racun pestisida, fungisida dan insektisida terutama pekerjaan
yang berhubungan dengan penyemprotan. Kecelakaan kerja tersebut
berdampak pada resiko cacat anggota tubuh seperti mata rabun atau buta bagi
penyemprot.
Nur (38 tahun), buruh perempuan pemupuk di perkebunan sawit di
kabupaten Seruyan mengatakan perusahaan melengkapi buruh dengan alat kerja dan
alat pelindung diri. “Saya sudah 12 tahun bekerja disini, kemarin bekerja 3
bulan, habis itu diangkat jadi KHT. Tapi saya terdaftar di jamsostek baru tahun
2006. Pekerjaan saya bermacam-macam, kadang disuruh mupuk, dongkel anak sawit,
sekarang saya deteksi. Waktu mupuk, target kerja saya itu 3 hektar, pernah saya
ngabiskan 25 goni sehari”, kata Nur.
“Saya pindah kerja
ke bagian deteksi jamur karena paru-paru saya bolong kena racun”, ujar Nur.
“Gak tahu juga sih kenapa, mungkin kena racun pupuk itu. Memang waktu kerja
dikasi masker, baju, sarung tangan, tapi hari-hari kita kan megang pupuk
terus”, katanya. “Perusahaan tidak pernah
periksa kesehatan kami”, ujarnya menambahkan.
Di salah satu
perkebunan sawit di kecamatan Parenggean, Kotim, 3 orang buruh perempuan
penyemprot terkena percikan Gramoxone. Po dan Ida, buruh penyemprot di
perkebunan tersebut mengaku terkena cairan sewaktu menuang Gramoxone ke Kap
(alat semprot). Cairan beracun tersebut mengenai matanya dan akibatnya kedua
korban mengalami sakit di bagian mata dan harus dirawat di RS Dr Murjani
Sampit. Jos, buruh perempuan penyemprot lainnya mengakui terkena percikan
Gramoxone dari Kap di punggungnya. “Waktu dia melewati titi parit gajah, dia
terpeleset, jatuh, punggung dan matanya terkena percikan racun itu”, demikian
menurut suami korban.
Dari berbagai sumber
informasi yang dihimpun, perusahaan baru melaksanakan pemeriksaan kesehatan
terhadap buruh pada Januari 2015. Hasil dari pemeriksaan tersebut, menurut
buruh tidak pernah disampaikan kepada buruh yang bersangkutan. “Untuk apa kami
diperiksa, kalau hasilnya tak diberikan kepada kami. Alat pelindung diri yang
dikasi perusahaan rasanya tidak layak”, ujar salah seorang mandor di perusahaan
tersebut.
Di Berau Kalimantan
Timur, salah satu perkebunan sawit asal Malaysia hanya
menyediakan satu klinik melayani lebih
kurang 600 orang buruh. Tidak mudah bagi buruh untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan yang layak karena harus berurusan dengan birokrasi perkebunan.
Selain itu, buruh yang mengurus izin tidak bekerja karena sakit sering
dipersulit oleh manajemen perusahaan. Buruh yang sudah mengantongi rekomendasi
agar tidak bekerja dari klinik perusahaan, seringkali harus bekerja karena
manajemen (Asisten) tidak memberikan izin.
“Kalau sakit, harus
ada surat dari kantor. Kalau surat itu tak ada, tak bisa diperiksa sama mantri
di klinik”, kata Mr, buruh perintis di perkebunan tersebut. “Kalau sakit
biasanya pergi ke klinik lalu dikasih obat tapi setelah ke klinik disuruh
kembali kerja tanpa diperbolehkan untuk istirahat. Kalau sakit parah seperti
“mau mati” baru diperbolehkan untuk izin meninggalkan kerja” tambahnya.
Di perkebunan ini juga, terdapat 7
orang buruh perempuan mengalami kecelakaan kerja (jatuh dari truk pengangkut
sawit yang dijadikan sarana transportasi buruh). “Kalau naik dikasi tangga memang, tapi kalau turun baru pakai loncat”,
ujar seorang buruh perempuan di perkebunan tersebut. Buruh perempuan tersebut
mengaku beberapa kali pernah terjatuh saat menaiki bak truk.
Akibatnya ia mengalami luka-luka ringan. Ia juga pernah terkilir akibat jatuh
saat turun dari truk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar