Sejak tahun 2000 luas perkebunan sawit semakin meningkat.
Pembukaan perkebunan sawit secara
massif dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pasar internasional. Indonesia
sendiri telah menargetkan produksi CPO sampai 40 juta ton /tahun pada tahun
2020[1]. Badan Pengelolaan Dana
Perkebunan (BPDP) sendiri mencanangkan Visi Sawit Indonesia 2045 dengan salah
satu target, produksi
CPO hingga 60 juta ton per tahun[2]. Sementara itu, konsumsi dunia terhadap minyak
sawit setiap tahun terus meningkat dan diperkirakan akan mencapai 50 juta ton
pada tahun 2030. Pertumbuhan
pasar ini kemudian memacu produksi kelapa sawit di Asia Tenggara yang memang
memiliki iklim yang sesuai.
Saat ini
Indonesia memiliki 15,9 juta hektar perkebunan kelapa sawit, dengan rencana
ekspansi mencapai sekitar sekitar 20 juta hektar lahan, yang telah dialokasikan
– tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Massifnya ekspansi perkebunan sawit didukung oleh 2
faktor utama, upah buruh dan sewa lahan yang murah. Di sisi lain, pemerintah
Indonesia terus memberikan fasilitas penunjang seperti peraturan perundangan
yang menarik, pinjaman lunak, land amnesty dan insentif fiskal.
Industri kelapa sawit memberikan
kontribusi besar terhadap negara. Menteri
Pertanian Amran Sulaiman mengatakan, minyak sawit merupakan salah satu
penyumbang devisa terbesar di Indonesia dengan nilai Rp 250 triliun setiap
tahunnya[3]. Kelapa Sawit menjadi komoditas andalan bagi Indonesia,
hal ini terbukti dari produk-produk turunan kelapa sawit yang memberikan
kontribusi ekspor sebesar 75% dari sektor non migas. Diluar itu,
kehadiran perkebunan kelapa sawit menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar[4].
Ekspansi
perkebunan kelapa sawit telah menimbulkan banyak implikasi, terutama potensi
terjadinya realokasi besar-besaran peruntukan lahan dan sumberdaya. Selain akan
menimbulkan perubahan bentang alam, ekspansi perkebunan skala besar juga
menimbulkan perubahan struktur perekonomian lokal dan regional, serta perubahan
sumber penghidupan masyarakat lokal, terutama komunitas lokal dan adat yang
selama ini tergantung pada hutan, termasuk didalamnya perubahan dari petani
menjadi tenaga upahan. Proses ekspansi juga telah mengakibatkan munculnya
berbagai konflik sosial, terutama yang berkaitan dengan konflik lahan, yang
tidak jarang juga menimbulkan munculnya kekerasan
“Kalau saya, 15 tahun tak
pernah lagi garap sawah. Itu sejak PT sawit ada, tidak bisa tanam lagi.
PT bangun kanal 8 meter dalamnya, lebar juga, dibikin tanggul juga”, kata
Sri Yani. Sri Yani adalah salah seorang perempuan warga desa Belanti, kabupaten Ogan
Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.
“Biasa dapat 6 ton per hektar, tapi
sekarang cuma
dapat 25 kaleng saja (200 Kg). Banyak warga karena tak bisa lagi itu ditanam,
mandah cari kerja di tempat lain. Ada yang mandah ke Palembang jadi kuli, ke
Riau atau ke Jambi nebang kayu”, kata Kas, 35
tahun, warga desa SP Padang, kabupaten OKI, Sumatera Selatan. “Kalau perempuan disini, sejak sawah banjir,
banyak juga yang jadi kuli di PT Cinta Manis (perkebunan tebu), upahnya 30 ribu
satu hari. Kalau ada yang manggil kita kerja, kalau gak ada yang manggil, kita
jadi upahan di sawah orang”, lanjut Kas.
Hasil investigasi yang dilakukan
Sawit watch pada akhir 2016, terdapat ribuan hektar lahan persawahan yang tak
bisa dikelola karena banjir. Menurut warga, banjir terjadi sejak perkebunan
sawit di wilayah mereka membangun tanggul dan kanal. Kondisi ini sudah terjadi
sejak tahun 2008.
Perampasan
lahan oleh korporasi sawit dan kehadiran perkebunan sawit sangat jelas
berdampak pada hilangnya basis produksi perempuan dan mengubah kaum perempuan
dari produsen pangan menjadi pembeli pangan atau menjadi tenaga upahan yang
dibayar murah. Pola hidup dan kebiasaan-kebiasaan
sebagai produsen pangan terdistorsi menyesuaikan diri dengan lingkungan baru,
yakni tempat kerja. Perempuan yang menjadi tenaga upahan harus menyesuaikan
diri dengan standar rutinitas, pola kerja, mekanisme kerja yang telah
ditetapkan dan diawasi secara sepihak oleh perkebunan.
Inda Fatinaware,
Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan perempuan yang bekerja di perkebunan sawit seringkali dianggap tidak ada,
padahal proses produksi sangat dipengaruhi oleh keberadaan perempuan yang
bertugas menyemprot atau membantu panen. Perempuan tidak dianggap sebagai buruh
perusahaan, sehingga tidak
mendapatkan hak-hak yang selayaknya didapatkan.
Besarnya penerimaan negara dari industri sawit,
keuntungan yang diperoleh perkebunan sawit[5]
dan tingginya permintaan pasar internasional tidak memberikan kontribusi bagi
peningkatan kesejahteraan buruh. Pada tahun 2010 misalnya, dimana pada saat itu
harga jual minyak sawit mencapai US$1.100 per ton, tapi buruh perkebunan sawit tetap berada dalam kondisi
memprihatinkan. Dari penelitian yang dilakukan Sawit Watch terungkap adanya
praktek mirip kerja paksa di perkebunan sawit, minimnya fasilitas air bersih
dan kesehatan, informalisasi hubungan kerja khususnya terhadap buruh perempuan
serta pelibatan isteri dan anak bekerja tanpa dibayar[6].
Beberapa perkebunan menetapkan
kebijakan mewajibkan buruh pemanen membawa isteri ke ancak (tempat kerja). Bila
buruh pemanen tidak membawa isteri, buruh dinyatakan mangkir atau mandor akan mendatangkan kernet yang
upahnya harus dibayar sendiri oleh buruh pemanen bersangkutan.
Di PT SLM Kalimantan Tengah
misalnya, target kerja buruh pemanen untuk tahun tanam 2004 sebanyak 180
janjang (TBS). Perusahaan tersebut menetapkan 180 janjang ini harus dibagi oleh
pemanen dan isterinya. Biasanya pemanen 100 janjang dan isterinya 80 janjang,
pekerjaan memanen tetap dilakukan suami, sementara isteri mengutip berondolan,
merapikan pelepah, memindahkan TBS ke Tempat Penampungan Hasil. Perusahaan
hanya membayar upah suami, sementara isteri tidak. Praktek yang
sama juga ditemukan di beberapa perkebunan sawit di wilayah Sumatera dan Kalimantan.
Isteri
buruh tidak memiliki hubungan kerja dengan perusahaan namun terpaksa ikut bekerja demi mencapai
target kerja suami dan praktek ini berlangsung bertahun-tahun. Bila satu orang buruh pemanen
bekerja untuk 2,5-3 hektar, maka bisa dibayangkan berapa jumlah perempuan yang
bekerja tanpa upah di perkebunan sawit di Indonesia. Sawit Watch
menyebut buruh tanpa perikatan kerja dan upah ini dengan istilah “buruh hantu”.
Perempuan : Menjadi Buruh Harian Lepas Permanen
Salah
satu aspek menggambarkan informalisasi hubungan kerja di perkebunan sawit di
Indonesia adalah praktek kerja buruh harian lepas (BHL). Terdapat 3 jenis pola perikatan kerja BHL diperkebunan yaitu
: Pertama, perikatan permanen
(kontrak tahunan), dimana sistem dan beban kerja BHL sama dengan buruh tetap,
namun hari kerja dibatasi dibawah 20 hari.
Kedua, perikatan semi permanen (kontrak/borongan). Dalam pola ini,
kepastian kerja tergantung pada ada tidaknya “pekerjaan” dengan jam kerja, upah
dan target ditentukan perkebunan. Ketiga,
outsourcing baik resmi dan tidak resmi. Mayoritas buruh yang bekerja dalam status seperti ini adalah perempuan.
Di perkebunan sawit, buruh tanpa
jaminan kepastian ini jumlahnya massif, biasanya berhubungan dengan pekerjaan
pemupukan dan penyemprotan dan mayoritas adalah perempuan. Beberapa perkebunan
yang teriindikasi menggunakan pola ini seperti PT LNK di Sumatera Utara, PT
HMBP, PT SLM dan PT KSI di Kalimantan Tengah, PT HHM dan PT MM di Kalimantan
Timur dan PT Ma di Sulawesi Barat. Di perkebunan
sawit yang dimaksud, ditemukan buruh perempuan berstatus BHL yang masa kerjanya
diatas 5 tahun.
Bekerja dengan Racun
Menyemprot, pekerjaan yang
dilakukan oleh buruh perempuan. Mayoritas dari buruh penyemprot ini berstatus
BHL. Gramoxone, Glifosat, Rhodiamine dan
Roundup adalah produk yang digunakan dalam proses kerja. Perusahaan tidak
menyediakan informasi tentang potensi dampak dan bahaya dari pestisida yang
digunakan, juga tidak memberikan pelatihan tentang bagaimana menggunakan
pestisida secara tepat dan cara untuk menghindari bahaya kesehatan. Akibatnya,
buruh perempuan yang bekerja sebagai penyemprot rentan mengalami kecelakaan
kerja atau mengalmi penyakit akibat kerja seperti gangguan pernafasan, tangan
terbakar, pusing, mata kabur bahkan buta. Di PT SPMN, ditemukan 3 orang buruh
penyemprot yang mengalami gangguan dibagian mata (terancam buta) akibat terkena percikan
Gramoxone.
Memupuk, jenis pekerjaan lain yang
dilakukan buruh perempuan. Seorang buruh pemupuk diharuskan menghabikan
rata-rata 13-15 karung setiap harinya,
dimana 1 karung pupuk beratnya 50 kilogram. Buruh pemupuk melakukan pemupukan
dengan cara menggendong goni (atau menggunakan alat kerja tambahan seperti ember namun disediakan sendiri oleh buruh) langsung
menaburkan pupuk di sekeliling pohon sawit
dengan tangan telanjang tanpa menggunakan sarung tangan.
Mr (47 tahun),
seorang buruh pemupuk PT HHM, Kalimantan Timur. Sebagaimana buruh lainnya, ia
sudah harus berada di lapangan pada pukul 07.00. Pada pukul 06.00, ia dan
anggota kelompok lainnya diabsen. Pukul 07.00, ia sudah mulai bekerja sampai
pukul 13.00 atau 13.30. Sebagaimana buruh pemupuk lainnya, ia harus mengikat
ember yang berisi 15 kilogram pupuk diatas perutnya. Ember tersebut
disandangkan ke badannya dengan tali yang disediakan perusahaan. Bila pupuk
dalam ember tersebut habis, pemupuk harus kembali lagi ke lokasi pengisian
pupuk terdekat dan mengisi sendiri embernya. Ia mengatakan 1 karung pupuk itu
biasanya dihabiskan dalam 3 kali gendongan. Jadi target kerjanya yang 16
karung, dihabiskan paling sedikit dalam 48 kali gendongan.
Pemerintah Indonesia perlu secepatnya mengeluarkan
kebijakan moratorium pembukaan perkebunan sawit. Disisi lain, konflik-konflik
yang terjadi antara komunitas dengan korporasi diselesaikan dengan
mengedepankan kepentingan rakyat atas wilayah kelolanya. Pemerintah Indonesia
perlu menata sistem perburuhan yang menempatkan buruh sebagai subjek yang hidup
layak. Dalam kerangka peningkatan kesejahteraan buruh, pemerintah perlu
mengeluarkan regulasi dalam rangka perbaikan dan perlindungan buruh
perkebunan sawit, utamanya menghentikan informalisasi hubungan kerja.
Sumber :
http://sawitwatch.or.id/2017/03/ketika-perkebunan-sawit-merampas-kehidupan-perempuan-part-1-pendahuluan/
http://sawitwatch.or.id/2017/03/ketika-perkebunan-sawit-merampas-kehidupan-perempuan-part-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar