Kehadiran perkebunan kelapa sawit skala besar di Indonesia telah mendatangkan keuntungan besar bagi negara. Data Kementerian Perdagangan Republik Indonesia 2012, menunjukkan bahwa industri kelapa sawit adalah penyumbang devisa kedua terbesar setelah sektor minyak dan gas. Devisa negara yang dihasilkan adalah sebesar USD 21 miliar atau sekitar Rp 205 triliun. Penghasilan devisa tersebut setara dengan 13,7 persen dari ekspor non-migas Indonesia, yang besarnya mencapai USD 153 miliar. McKinsey memprediksi Indonesia akan melampaui Jerman dan Inggris pada 2030, dengan pendapatan sebesar USD 1,8 triliun yang disumbang oleh sektor agri bisnis, konsumsi dan perusahaan energi.
Luas perkebunan kepala sawit di Indonesia saat ini sudah mencapai 14,3 juta hektar dengan 30 % diantaranya dimiliki petani, pertumbuhan luas perkebunan kelapa sawit ini sangat tinggi bila
dibandingkan pada tahun 1980 dimana luas perkebunan kepala sawit hanya 294.560
hektar. Pertumbuhan perkebunan sawit
ini tidak terlepas dari kebijakan ekspor non migas awal tahun 1980-an
dimana pemerintah saat itu mendorong ekspor komoditas non migas termasuk kelapa
sawit.
Dampak
langsung dari kehadiran perkebunan sawit adalah munculnya kesempatan kerja.
Penyerapan tenaga kerja pada sektor perkebunan dan industri sawit menghasilkan
angka yang cukup besar dibandingkan dengan industri lainnya. Diluar itu,
terdapat kelompok masyarakat yang langsung maupun tidak langsung tergantung
pada perkebunan kelapa sawit. Menurut KADIN, perkebunan kelapa sawit di
Indonesia telah menyerap 21 juta orang tenaga kerja baik yang bekerja secara
langsung maupun tidak langsung. Sawit Watch memprediksi jumlah buruh yang bekerja di perkebunan sawit sudah mencapai 10,4 juta orang dimana 70 % dari buruh tersebut berstatus sebagai buruh
harian lepas. Jutaan
buruh tersebut bekerja di perkebunan sawit lama di Sumatera dan wilayah
perkebunan sawit baru di Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Jumlah buruh
perkebunan akan semakin meningkat mengingat pesatnya laju ekspansi sawit
terutama di wilayah timur Indonesia.
Konsumsi dunia akan CPO pada tahun 2004 masih 30 juta ton. Konsumsi ini
diperkirakan akan mencapai 50 juta ton pada tahun 2030. Sejak tahun 2000 luas perkebunan
sawit semakin meningkat. Hal ini dipicu oleh meningkatnya kebutuhan atas sawit,
baik sebagai kebutuhan manusia, pakan hewan, hingga bahan bakar (agrofuel)
secara global disatu sisi, dan semakin
langkanya minyak fosil disisi lain. Saat ini pemerintah Indonesia sedang sibuk
mempromosikan penggunaan bahan bakar bio solar yang bersumber dari minyak
sawit. RSPO memperkirakan keperluan pembukaan kebun baru mencapai 4-6 juta
hektar untuk sektor minyak nabati dan non-biofuel. Indonesia sendiri telah menargetkan
produksi CPO sampai 40 juta ton /tahun pada tahun 2020. Untuk tahun 2015,
produksi CPO Indonesia mencapai 33 juta ton. Dari jumlah itu hanya 10,8 juta ton untuk
konsumsi domestik, sisanya diekspor.
Terdapat
dua hal penting terkait ekspansi perkebunan sawit. Pertama, bagaimana marginalisasi
petani karena mereka menjadi petani tak bertanah dan dipaksa untuk menjual
tenaga mereka ke perkebunan. Kedua, informalisasi tenaga kerja, suatu kondisi
dimana buruh bekerja tanpa perikatan kerja yang jelas, dipaksa untuk
mengikutsertakan keluarganya terutama isteri dan anak-anaknya harus bekerja
untuk mengejar target kerja, tetapi tenaga yang mereka keluarkan tidak dibayar
oleh perusahaan.
Dari penelitian yang dilakukan Sawit Watch
terungkap adanya praktek mirip kerja paksa di perkebunan sawit di Indonesia.
Buruh mengalami perlakuan buruk, upah murah, target kerja tinggi, pemberlakuan
denda, tekanan dan intimidasi karena mendirikan serikat, ketiadaan alat kerja, dan
alat pelindung diri yang layak, minimnya fasilitas air bersih dan kesehatan,
penggunaan buruh anak dan penempatan buruh di barak khusus dengan pengawasan
ketat.
Kondisi buruh perkebunan sawit semakin
diperparah dengan kecenderungan informalisasi hubungan kerja. Informalisasi hubungan kerja
disatu sisi memberikan keuntungan yang besar bagi perkebunan namun disisi lain
menghilangkan jaminan kepastian kerja bagi buruh. Informalisasi hubungan kerja
ini mengecilkan pendapatan buruh karena buruh harus menyediakan sendiri alat
kerja dan alat pelindung diri, mengalokasikan sendiri biaya pemeriksaan
kesehatan sebagai akibat ketiadaan hubungan kerja formal (perikatan
kerja) dengan
perkebunan. Bentuk-bentuk informalisasi hubungan kerja ini dapat dilihat dari
penggunaan buruh harian lepas, buruh kontrak, buruh borongan maupun pelibatan
anak dan isteri untuk bekerja.
Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh buruh
kategori ini sama dengan buruh permanen, namun sistem kerja dan pengupahannya
berbeda. Buruh kategori ini tidak memiliki dokumentasi perikatan kerja dan
kepastian peningkataan status. Selain itu, upah yang diterima ditetapkan
berdasarkan pencapaian target kerja dan tanpa perlindungan jaminan kesehatan
(BPJS).
Informalisasi hubungan kerja yang
ditandai dengan massifnya BHL, buruh borongan, buruh kontrak, perikatan kerja
yang tak jelas, buruh tak terdokumentasi merupakan pelanggaran atas jaminan
kepastian kerja. Informalisasi buruh memunculkan persoalan
perlindungan buruh, tidak saja dalam hal perlindungan upah, tetapi juga jaminan
kerja, kesehatan dan hak-hak normatif lainnya. ILO mendefenisikan buruh-buruh
tersebut sebagai pekerja yang tidak dilindungi secara sosial.
Diluar masalah hubungan kerja, perlindungan
terhadap keselamatan dan kesehatan kerja buruh perkebunan dirasakan tidak
memadai. Penggunaan bahan beracun dan berbahaya dalam proses produksi, lemahnya
penegakan hukum dan kurangnya pengawasan, serta minimnya perlindungan terhadap keselamatan
kerja berlangsung tanpa ada terobosan yang berarti didalam memperbaiki kondisi
kerja bagi buruh. Temuan penting menunjukkan bidang kerja yang paling
rentan terhadap resiko kecelakaan adalah
buruh bagian pemanen, bagian penyemprotan hama dan pemupukan.
Bentuk kecelakaan kerja di perkebunan, khususnya
perkebunan sawit adalah tertimpa pelepah dan buah bagi buruh pemanen, terkena percikan gramoxone, glifosat dan terhirup racun pestisida, fungisida dan insektisida
terutama pekerjaan yang berhubungan dengan penyemprotan dan
terkena paparan pupuk bagi buruh pemupuk. Kecelakaan kerja tersebut berdampak pada resiko cacat anggota tubuh seperti mata rabun
atau buta bagi penyemprot, iritasi kulit
dan luka berat bagi buruh pemanen. Minimnya perlindungan terhadap
keselamatan dan kesehatan kerja buruh perkebunan dapat dilihat dari alat
pelindung diri yang tidak memenuhi standar, fasilitas kesehatan (poliklinik
perkebunan) yang tidak memadai, sarana antar-jemput buruh yang tidak layak dan birokratisnya
prosedur pelayanan kesehatan.
Terdapat
berbagai prinsip, kesepahaman, panduan terkait dengan peningkatan kondisi buruh
perkebunan seperti Kovensi ILO, Prinsip Kriteria Indikator RSPO, Panduan OECD
dan UN Global Compact. Namun harus disadari bahwa prinsip tersebut masih dalam
konteks kesukarelaan, tanpa ada sanksi legal bagi pelanggaran. Dalam intepretasi
nasional Prinsip Kriteria dan Indikator RSPO yang dilaksanakan pada September
2014, hampir tidak ada perubahan yang berarti terkait dengan perbaikan kondisi
buruh perkebunan sawit. Perkebunan sawit sebagaimana draf intepretasi nasional
tersebut tetap melegalkan penggunaan buruh kontrak dan pengupahan berbasis
sistem pengupahan buruh manufaktur. Selain itu, penyediaan perumahan layak,
persediaan air, kebutuhan medis, pendidikan
dan fasilitas yang diperlukan buruh dimasukkan dalam indikator minor
(dianggap tidak penting).
Pemerintah
Indonesia perlu memastikan bagaimana praktek kerja di setiap jenis hubungan
kerja berjalan dengan baik. Untuk itu, adanya sistem monitoring dan evaluasi
kepatuhan korporasi perkebunan sawit di sektor perburuhan yang melibatkan
pemerintah lokal (dinas tenaga kerja) merupakan hal yang sangat penting. Adanya
regulasi yang khusus mengatur hubungan kerja korporasi dengan buruh di
perkebunan sawit juga menjadi hal yang tak bisa dikesampingkan.
Disisi
lain, keberadaan organisasi rakyat yang terkena dampak kehadiran perkebunan
sawit merupakan suatu keharusan untuk mengimbangi besarnya kekuasaan perkebunan.
Dalam konteks buruh, serikat buruh merupakan elemen sangat penting dalam rangka
memperjuangkan kesejahteraan buruh. Bagaimana kemudian kesejahteraan buruh
perkebunan sawit tidak lagi menjadi “milik” NGO semata, tetapi menjadi tujuan perjuangan
buruh yang dipresentasikan dalam sebuah serikat.
*Dimuat di Medan Bisnis 11 April 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar