Pemerintah
Indonesia pada 20 Mei 2011 menerbitkan Peraturan Presiden No. 32 tahun 2011 tentang Master Plan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. MP3EI merupakan sebuah rencana
pembangunan ekonomi Indonesia yang dirancang untuk mempercepat pengembangan
berbagai program pembangunan, terutama dalam mendorong peningkatan nilai tambah
sektor-sektor unggulan ekonomi, pembangunan infrastruktur dan energi, serta
pembangunan SDM dan IPTEK.
Ambisi yang hendak dicapai pemerintah dengan meluncurkan program MP3EI
ini adalah penempatan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan
per kapita yang berkisar antara USD 14.250-USD 15.500 dengan nilai total
perekonomian (PDB) berkisar antara USD 4,0-4,5 triliun. Perkiraan pertumbuhan ekonomi riil diproyeksikan sebesar 6,4-7,5 % pada periode 2011-2014, dan sekitar
8,0-9,0 % pada periode
2015-2025. Pertumbuhan ekonomi tersebut akan dibarengi oleh penurunan inflasi
dari sebesar 6,5 % pada periode
2011-2014 menjadi 3,0 % pada 2025. Kombinasi pertumbuhan dan inflasi seperti itu
dipercaya mencerminkan karakteristik negara maju.
Untuk mencapainya, pemerintah Indonesia akan melakukan
tiga visi penting, yaitu: Pertama; Peningkatan nilai tambah dan perluasan rantai nilai proses
produksi serta distribusi dari pengelolaan aset dan akses (potensi) SDA,
geografis wilayah, dan SDM, melalui penciptaan kegiatan ekonomi yang
terintegrasi dan sinergis di dalam maupun antar-kawasan pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi. Kedua; Mendorong terwujudnya peningkatan
efisiensi produksi dan pemasaran serta integrasi pasar domestik dalam rangka
penguatan daya saing dan daya tahan perekonomian nasional. Ketiga; Mendorong penguatan sistem inovasi
nasional di sisi produksi, proses, maupun pemasaran untuk penguatan daya saing
global yang berkelanjutan, menuju innovation-driven
economy.
Proyek
perencanaan pembangunan seperti MP3EI merupakan bagian dari upaya untuk
memperdalam “integrasi dan kerjasama ekonomi antar negara Asia secara umum”.
Dasar pemikiran utama dari model integrasi ekonomi untuk Asia ini bertumpu pada
teori mengenai Geografi Ekonomi Baru (Krugman 1991; 2010) untuk melakukan
reorganisasi spasial dan membentuk ulang geografi ekonomi baru dalam rangka
memperlancar interaksi dan aliran kapital, barang dan tenaga kerja untuk
aktivitas produksi-konsumsi. Asumsi dasar dalam kerangka Geografi Ekonomi Baru
ini adalah untuk melahirkan model-model potensi aglomerasi produksi-konsumsi di
luar model demand-supply konvensional, seperti model
"pusat-pinggiran" yang baru, eksternalitas positif, pembesaran Produk
Domestik Bruto (PDB) antar wilayah, serta berbagai perluasan ekonomi sebagai
efek dari aglomerasi, maupun memecah hambatan bagi proses aglomerasi.
Kerangka pikir
GEB ini kembali digaungkan oleh laporan Bank Dunia (2009), World Development
Report, tahun 2009 yang bertajuk “Reshaping Economic Geography”. Laporan Bank
Dunia ini berupaya untuk menginvestigasi relasi antara pertumbuhan makro
ekonomi dengan pembentukan-ulang geografi pada umumnya dan pembangunan
regional. Laporan Bank Dunia ini memiliki konsep dasar bahwa reorganisasi dan
penataan geografi yang tepat dapat meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya
produksi dan transaksi, serta meningkatkan pertumbuhan.
Desain MP3EI pada dasarnya merupakan
suatu reorganisasi spasial dan produksi ekonomi ruang. Hal itu dapat dibaca
dengan menggunakan analisis sirkuit kapital yang diajukan oleh David Harvey.
Sirkuit kapital terdiri dari sirkuit primer, sirkuit sekunder dan sirkuit
tersier. Sirkuit primer merupakan sirkuit produksi dan konsumsi yang saling
berhubungan. Sirkuit primer ini pada gilirannya berhubungan ke sirkuit sekunder
dimana surplus kapital dilempar dalam bentuk pembangunan kembali kapital
terpasang (fixed capital) dan dana
konsumsi (consumption fund) yang
keduanya difasilitasi dan dimediasi oleh pasar kapital (finansial) dan peranan
negara. Selain ke sirkuit sekunder, pengalihan surplus kapital ini juga
mengarah pada sirkuit tersier dalam bentuk belanja-belanja sosial dan riset atau
pengembangan. Analisis sirkuit kapital semacam itu dapat menjelaskan desain
utama dalam framework MP3EI yang meliputi: pembangunan ekonomi melalui
penciptaan koridor (berada dalam sirkuit
primer); penguatan konektivitas nasional (berada dalam sirkuit sekunder); penguatan kapasitas sumberdaya
manusia dan ilmu pengetahuan dan teknologi (berada
dalam sirkuit tersier).
Dalam kerangka semacam itu, maka MP3EI tak lain adalah suatu produksi ekonomi ruang. Dalam gagasan
Harvey, produksi ekonomi ruang adalah sesuatu yang melekat dalam proses
akumulasi kapital. Pertukaran barang, jasa dan tenaga kerja selalu melibatkan
perubahan lokasi. Pertukaran tersebut juga selalu menciptakan suatu gerak
spasial yang saling bertemu sehingga menciptakan geografi manusia yang khas.
Munculnya pembagian desa dan kota juga sebagai akibat dari hal ini. Aktivitas
kapitalis karenanya selalu menghasilkan pembangunan geografis yang tak seragam.
Dorongan kompetisilah yang menyebabkan kapitalis mengejar keuntungan kompetitif
dengan memanfaatkan struktur dan keuntungan spasial dan karenanya selalu
tergerak untuk untuk mencari lokasi-lokasi yang menguntungkan dimana biaya
lebih rendah atau tingkat laba lebih tinggi.
Dalam menghadapi situasi kompetitif semacam itu, maka berbagai
cara harus dilakukan para kapitalis agar kekuatan monopolinya tetap bekerja dan
awet. Menurutnya, ada dua langkah penting yang pada umumnya dilakukan oleh para
kapitalis: Pertama, melakukan
sentralisasi kapital secara massif dengan berupaya mendominasi kapital finans,
memperkuat posisi pasar, memperbesar skala produksi ekonomis (economy of scale), maupun proteksi
terhadap keunggulan teknologi. Kedua,
melakukan “anihilasi ruang melalui waktu”. Untuk membuat gerak lancar atas
ruang, maka yang dibutuhkan adalah membangun infrastruktur fisik tertentu di
dalam ruang tersebut, seperti membangun industri transportasi, komunikasi, rel,
jalan raya, pelabuhan, bandara, jaringan kabel dan lain sebagainya untuk
mempercepat aliran kapital.
Pendeknya, keuntungan spasial memainkan peranan yang sama dengan
keuntungan teknologis. Penjelasan semacam ini diutarakan oleh teoretisi “lokasi
klasik”, yang menyatakan bahwa pada akhirnya aktivitas kapitalis dalam
penciptaan ekonomi ruang akan menciptakan kesimbangan spasial (spatial equlibrium) di dalam lanskap
geografis, yang ditandai oleh tingginya pertumbuhan, padat investasi dan
keuntungan, serta lancarnya lalu lintas barang dan buruh.
Namun, keseimbangan spasial di dalam aktivitas kapitalis itu tidak
akan pernah terbentuk, karena proses akumulasi kapital akan selalu berekspansi
dan selalu mengganggu tendensi terjadinya keseimbangan itu. Perilaku kompetitif
akan menciptakan pergerakan terus-menerus dan menciptakan suatu instabilitas
yang kronis, karena kapitalis selalu berebut mendapatkan lokasi-lokasi yang
lebih istimewa dan kompetitif. Produk akhir dari kompetisi semacam ini adalah
munculnya kapitalisme monopoli atau oligopoli. Ringkasnya, menurut Harvey
“ketegangan antara kompetisi dan monopoli, antara konsentrasi dan pemecahan,
antara menetap dengan bergerak, antara dinamisme dan inersia, dalam berbagai skala aktivitas pada gilirannya akan
menciptakan lanskap geografis baru yang bisa memfasilitasi aktivitasnya di
suatu waktu dan untuk kemudian dihancurkannya dan dibangun suatu lanskap baru
agar kehendak untuk melakukan akumulasi kapital tanpa henti dapat terus
berlangsung”. Proses ini merupakan suatu proses penciptaan ekonomi ruang yang agregat akhirnya adalah suatu
penghancuran kreatif atas tanah (creative
destruction on the land) secara
terus menerus.
Penghancuran
kreatif atas tanah selalu diawali dengan proses perubahan kontrol atas tanah. Salah
satu hal penting yang harus dilihat dalam konteks MP3EI ini adalah bagaimana kontrol dan penguasaan atas
tanah berubah sebagai akibat dari hadirnya kapital yang bekerja di pedesaan.
Perubahan semacam itu pada umumnya diakibatkan oleh perubahan dalam land property relations yang dipicu oleh
suatu kebijakan atau ketiadaan kebijakan. Hal lain yang harus diperhatikan adalah perubahan tata guna tanah. Arah
perubahan tata guna tanah sebagai konsekuensi perubahan kontrol atas tanah ini
diarahkan pada perubahan
tata guna tanah dari pangan ke non-pangan. Perubahan tata guna tanah ini memiliki dampak dan konsekuensi yang
beragam pada mata pencaharian (livelihood)
masyarakat setempat.
Perubahan kontrol atas tanah ini dapat
dilihat pada pembangunan beberapa proyek besar di Sumatera Utara dalam skema MP3EI.
Rencana pembangunan pelabuhan baru di desa Tanjung Rejo, Percut Sei Tuan
sebagai bagian Kawasan Ekonomi Khusus guna mendukung MP3EI sebagai contoh telah
merubah kontrol rakyat atas tanah. Pembangunan pelabuhan baru ini telah menyebabkan berubahnya peta kepemilikan tanah dan meningkatnya
alih fungsi lahan. Di wilayah yang merupakan areal persawahan di desa tersebut marak terjadi
praktek jual beli tanah (sawah). Disisi lain, rencana pembangunan pelabuhan ini memberi
dampak buruk terhadap nelayan tradisional di desa Percut yaitu semakin jauhnya wilayah tangkapan ikan (perampasan
ruang ekonomi).
Perubahan
kontrol atas tanah dan perampasan ruang kelola rakyat juga terjadi di sekitar Pelabuhan
Kuala Tanjung, Batubara, salah satu proyek yang masuk dalam skema MP3EI. Observasi
yang dilakukan menemukan fakta bahwa pesisir pantai telah dikapling-kapling
oleh korporasi besar dengan tembok tembok tinggi dengan tiadanya akses masuk bagi masyarakat umum. Diluar
itu, kawasan yang dulunya areal pertanian telah berganti kepemilikan dan menjadi
kawasan bisnis. Sebelum pembangunan pelabuhan raksasa tersebut, praktek jual
beli tanah telah berlangsung.
Hal yang sama dapat dilihat di lokasi
pembangunan bandara internasional Kuala Namu. Sampai saat ini sekitar 40 kepala keluarga, masih bertahan di sekitar bandara karena ganti
rugi yang tidak adil. Diluar itu, masyarakat desa Telaga Sari Tanjung
Morawa menyatakan penolakannya atas rencana eksekusi tanah mereka yang akan
dijadikan jalan arteri menuju Kuala Namu. Regulasi-regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk menyokong
pelaksanaan MP3EI telah menyebabkan konflik. Masyarakat dipaksa menerima akibat implementasi MP3EI yaitu
penggusuran dan perampasan tanah.
Disisi lain, pembangunan
Bandara Kuala Namu akan memunculkan pusat-pusat investasi (penciptaan ruang
ekonomi berbasis kapital yang terkoneksi sebagaimana dasar dari MP3EI) seperti
industri perhotelan, pemukiman, perdagangan, pertokoan dan investasi lainnya
yang merubah tata guna lahan. Tentu saja, penciptaan ruang ekonomi ini hanya
bisa dilakukan investor besar dengan dukungan regulasi. Pada tahapan inilah,
praktek jual beli tanah yang pada akhirnya merubah kontrol atas tanah dan
perampasan tanah terjadi.
Perampasan ruang
kelola rakyat pada akhirnya akan memposisikan rakyat pada kelas yang lemah dan
tanpa alat produksi. Dalam
konteks ini, masyarakat pemilik tanah yang berubah menjadi tenaga upahan merupakan
sumber tenaga kerja murah yang sangat
dibutuhkan pasar. Perampasan ruang kelola rakyat secara drastis telah mengubah dinamika
struktur agraria dan perubahan pedesaan. Proses yang secara luas terjadi di pedesaan adalah terjadinya gelombang akumulasi agraria yang memberikan kekuasaan penuh pada kapital domestik dan
korporasi internasional. Salah
satu bentuk perubahan mencolok saat ini dimana kelas pekerja di pedesaan dan sektor pertanian dengan cepat
menghadapi kondisi mata pencaharian yang semakin merosot dan memburuk akibat alih
fungsi lahan sebagai akibat industrialisasi.
Penciptaan ruang ekonomi baru adalah
sisi lain dari perampasan ruang kelola rakyat. Perampasan ruang kelola rakyat
juga adalah kata ganti dari pelucutan rakyat dari faktor-faktor produksi
kebutuhan hidup mereka. Perampasan
ruang dilihat dalam kerangka bagaimana
sarana penghidupan sosial dan sarana produksi
ditransformasikan menjadi kapital dan produsen langsung (rakyat) ditransformasi
menjadi buruh upahan. Penciptaan ruang ekonomi untuk akumulasi kapital pada kenyataannya
justru memperburuk penderitaan rakyat.