Pengikut

Senin, 15 Oktober 2012

Reduksi Upah Buruh Perkebunan


Sejarah pengupahan di Indonesia telah menunjukkan bahwa kualitas upah buruh dari waktu ke waktu mengalami degradasi. Pada jaman Orde Lama, selain menerima upah dalam bentuk nominal, buruh juga masih menerima tunjangan natura guna menjamin pemenuhan kebutuhan fisik buruh dan keluarganya. Pasca perubahan politik 1965, kebijakan upah murah dijadikan sebagai penarik investasi asing masuk ke Indonesia.
Pemerintah Orde Baru merubah sistem pengupahan berbasis kebutuhan pokok  kembali pada sistem pengupahan berbasis eksploitasi  sebagaimana dipraktekkan oleh kolonialisme. Pemerintah Orde Baru merumuskan sistem pengupahan dengan  konsep upah minimal. Selain itu merombak sistem pengupahan buruh melalui mekanisme “moneterisasi upah”. Pemerintah menetapkan bahwa upah buruh dibayar dalam bentuk uang, sementara tunjangan lainnya seperti yang dikenal dengan istilah catu 11 pada jaman orde lama dicabut.
Kehadiran usaha perkebunan memang membuka lapangan kerja dan disisi lain menjadi primadona bagi pemilik modal dan pemerintah. Namun, peningkatan produksi dan keuntungan yang diperoleh perkebunan tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan buruh. Upah layak sebagai salah satu indikator kesejahteraan buruh masih tetap menjadi persoalan utama yang dihadapi buruh perkebunan.
Informalisasi hubungan kerja dan pemindahan tanggungjawab dari perusahaan disatu sisi telah memberikan keuntungan maksimal bagi perusahaan. Namun disisi lain, menimbulkan  persoalan dalam hal perlindungan upah, jaminan kerja, kesehatan dan hak-hak dasar lainnya. Informalisasi hubungan kerja dan pemindahan tanggungjawab ini menjadi faktor-faktor yang mereduksi upah buruh. Upah minim yang diterima buruh sebagai akibat tindakan reduksi yang dilakukan perusahaan menyebabkan buruh perkebunan tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak.
Berkaitan dengan status kerja, penggunaan buruh dengan status kerja harian, borongan atau kontrak berdampak pada pengurangan biaya ketenagakerjaan yang harus dikeluarkan perusahaan. Sementara itu, resiko kerja yang ada tetap dibebankan pada buruh. Selain itu, penyediaan alat kerja dan alat pelindung kerja dibebankan kepada buruh tersebut yang tentunya ini sangat membebani dan mengurangi jumlah pendapatan yang seharusnya diterima. Buruh perkebunan sebenarnya memiliki hak akan upah setara untuk pekerjaan yang sama. Hak ini termuat dalam Konvensi ILO No.100 tentang Kesetaraan Upah yang diratifikasi menjadi UU No.80/1957, UU No.39/1999, pasal 38 tentang HAM dan Pasal 2 Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM). Namun realita di lapangan menunjukkan hal yang sebaliknya.
Selain upah murah, buruh perkebunan juga menerima perlakuan tertentu yang pada akhirnya mengurangi  (reduksi) besaran upah riil yang diterima. Reduksi upah dilakukan melalui potongan denda, penyediaan alat kerja dan alat pelindung kerja, serta penyediaan fasilitas pondok (rumah) buruh. Potongan denda dikenakan perusahaan terhadap buruh yang dinilai melakukan pelanggaran. Besar denda ini merupakan keputusan sepihak perusahaan, tanpa pernah melibatkan buruh. Umumnya potongan tidak tetap melalui denda ini dikenakan pada buruh pemanen.
Penerapan denda merupakan salah satu bentuk dominasi represif yang dilakukan perusahaan terhadap buruh. Adanya denda ini mengkondisikan buruh bekerja dalam tekanan yang sangat besar akan terjadinya kesalahan. Kesalahan yang dilakukan akan menyebabkan pengurangan upah yang diterimanya. Ancaman denda tersebut “mengarahkan” buruh bekerja hati-hati tanpa melakukan kesalahan dan disisi lain target tercapai.
Diluar itu, penerapan denda ini merupakan strategi perusahaan untuk mengurangi biaya produksi (politik produksi). Perusahaan akan mengalami kerugian bila buruh melakukan kesalahan dalam proses produksi. Kerugian itu dapat berupa target produksi yang tidak tercapai yang berimplikasi pada keharusan penambahan waktu atau biaya untuk mengganti waktu yang telah terpakai. Untuk mengantisipasi kerugian tersebut, perusahaan menerapkan denda sehingga dengan demikian target kerja bisa tercapai dan kerugian waktu dan biaya bisa ditekan.
Dikaitkan dengan hubungan kerja antara buruh dan perusahaan, perusahaan diwajibkan menyediakan fasilitas yang diperlukan oleh buruh. Namun kenyataan menunjukkan bahwa bahwa tidak semua perkebunan menyediakan segala keperluan kerja yang dibutuhkan buruh. Kondisi ini umumnya dialami oleh buruh pemanen yang harus menyediakan sendiri alat kerja dan alat pelindung kerja. Kondisi yang sama juga dialami oleh buruh berstatus BHL dan outsourcing. Selain alat kerja, beberapa perusahaan perkebunan juga mengharuskan buruh menyediakan sendiri alat pelindung kerjanya.
Beberapa perkebunan memang menyediakan fasilitas pondok (perumahan) bagi buruh, namun kondisi pondokan tersebut tidaklah layak huni. Selain tidak layak huni, buruh juga masih dibebankan dengan biaya penyediaan listrik dan air bersih. “Pondok kami itu terbuat dari papan, luasnya kira-kira 4 x 10 meter gitu. Perusahaan memang menyediakan listrik dan air. (Iuran) Listrik kami dipotong setiap bulannya, air dijatah hanya 4 jerigen setiap hari. Ada juga dikasi perusahaan mesin, tapi kalau rusak, perusahaan tidak mau tahu dan kalau dilaporkan maka proses perbaikannya lamban”, demikan menurut seorang buruh.
Kondisi ini akan sangat kontradiktif bila dibandingkan dengan Hak Atas Pemukiman yang layak yang dimuat dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekosob. Sebagaimana dijelaskan dalam Kovenan Hak Ekosob, pemukiman layak tidak ditafsirkan hanya dengan penyediaan tempat berteduh semata. Pemukiman yang layak harus mempunyai fasilitas tertentu yang penting bagi kesehatan, keamanan, kenyamanan dan pemenuhan gizi. Semua yang berhak atas pemukiman yang layak harus mendapatkan akses yang berkelanjutan atas sumber daya alam serta sumber daya umum, air minum yang aman, energi untuk memasak, pemanas ruangan dan penerangan, sanitasi dan fasilitas untuk mencuci, sarana penyimpanan makanan, tempat pembuangan sampah, saluran pembuangan dan pelayanan-pelayanan darurat.
Untuk SKU, besaran upah maksimal yang diterima buruh setiap bulannya berada di kisaran Rp 1.200.000-Rp 1.335.000. Untuk BHL dan outsourcing, besaran upah yang diterima berada dikisaran Rp 600.000-Rp 1.100.000. Besar upah ini merupakan upah maksimal yang diterima buruh tanpa dikenai potongan sanksi kerja dan sudah termasuk premi yang diperolehnya. Rata-rata pengeluaran buruh setiap bulannya mencapai Rp 1.300.000 (pengeluaran rutin). Bila dikurangi dengan biaya penyediaan alat kerja, alat pelindung kerja dan fasilitas pondokan, sudah pasti upah yang diterima secara riil menjadi semakin berkurang (tidak cukup). Untuk mensiasati kekurangan ini, buruh terpaksa mengambil pilihan mengurangi kualitas menu dan gizi makanan sehari-hari.
Keterbatasan upah juga menyebabkan buruh perkebunan tidak bisa menyekolahkan anaknya ke jenjang yang tinggi. Survey yang dilakukan pada tahun 2011 di beberapa perusahaan perkebunan di Langkat, Serdang Bedagai dan Asahan memperoleh data bahwa mayoritas buruh perkebunan hanya bisa menyekolahkan anak hanya sampai jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Kondisi demikian bertentangan dengan pasal 13, Hak Atas Pendidikan Kovenan Internasional tentang Hak Ekosob. Pasal ini berhubungan dengan hak atas pendidikan dalam keseluruhan dimensinya. Kovenan mensyaratkan agar negara mengambil langkah-langkah yang terinci guna memenuhi kewajiban ini. Fakta bahwa mayoritas buruh perkebunan hanya bisa menyekolahkan anak sampai jenjang pendidikan SMP merupakan bukti lain tindakan pembiaran negara yang melegitimasi kondisi diatas.
Dalam konteks yang lebih luas, informalisasi dan pemindahan tanggungjawab ini tidak pernah diawasi oleh pemerintah. Hak buruh atas upah layak direspon pengusaha dengan memberlakukan berbagai peraturan yang semakin memberatkan buruh. Realitas ini menunjukkan bahwa kondisi demikian disengaja oleh pemerintah untuk mengakomodir kepentingan pengusaha perkebunan (investasi).
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia telah menetapkan bahwa buruh berhak menerima upah yang layak  untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Konstitusi juga menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja selanjutnya disebutkan juga bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
Implikasi dari aturan ini adalah adanya kewajiban perkebunan untuk memberi upah yang layak bagi buruh. Disisi lain, perkebunan juga memiliki kewajiban untuk menyediakan segala keperluan buruh dalam konteks hubungan kerja seperti jamsostek, alat kerja, alat pelindung kerja dan fasilitas pondokan yang layak bagi hidup sehat. Tentu, merupakan kewajiban negara untuk memastikan apakah hak-hak ini diterima oleh buruh. 

Penetapan Upah Buruh Perkebunan Suatu Catatan Ketiadaan Peran Negara


Menjelang pergantian tahun, kontroversi penetapan besarnya upah minimum selalu menjadi fenomena rutin di berbagai daerah. Ironisnya, penetapan upah yang telah dilaksanakan melalui rangkaian proses panjang itu hampir pasti menimbulkan ketidakpuasan di salah satu pihak terutama buruh. Sistem pengupahan ditetapkan berpatokan pada kebutuhan hidup “layak” dari survei harga sejumlah kebutuhan pokok sampai pengusulan angka kebutuhan hidup layak (KHL) yang dilakukan oleh Dewan Pengupahan Daerah (Depeda) yang kemudian ditetapkan oleh Gubernur.
Meskipun telah melalui tahap demi tahap, penetapan upah minimun selalu ramai diprotes oleh aktivis gerakan buruh di berbagai daerah. Pemerintah selalu berkilah berada dalam posisi yang sulit, dilematis, dan terjepit dalam  menentukan sikap mengatasi masalah ketenagakerjaan. Pemerintah lebih  mendahulukan kepentingan pemodal (investasi) dengan alasan demi kepentingan mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan mengatasi masalah pengangguran sehingga “memaksa”  kebijakan pengupahan buruh berbasis “sekedar bertahan hidup”.
Sedangkan buruh mendesak agar upah dinaikkan dalam skala yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak karena dalam kenyataannya harga kebutuhan pokok terus membubung tinggi tidak sebanding dengan  kenaikan upah yang diperbaharui setiap tahunnya. Pihak pengusaha pun tidak kalah menggertak. Pengusaha sering mengancam bila upah selalu dinaikkan, PHK tidak akan terhindarkan atau bahkan berancang- ancang akan merelokasi perusahaan ke daerah lain yang upahnya lebih rendah. Bila terjadi rasionalisasi tenaga kerja, jelas akan berimplikasi negatif terhadap kondisi makro perekonomian Indonesia terutama makin bertambahnya angka pengangguran.
Bila besaran upah buruh industri di perkotaan diusulkan oleh Depeda yang kemudian ditetapkan oleh Gubernur, maka di perkebunan besaran upah buruh ditetapkan melalui Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Badan Kerjasama Perusahaan Perkebunan Sumatera (BKSPPS) dengan serikat buruh SPSI sebagai satu-satunya serikat pekerja yang diakui untuk menandatangani PKB tersebut. Tidak berbeda dengan upah buruh industri, realitas pengupahan di perkebunan tetap mengacu pada pradigma pengupahan property private. Dengan pandangan bahwa buruh hanya memiliki tenaga yang kemudian diserahkan melalui proses produksi kepada pemilik modal. Sebagai hasil dari penyerahan tenaga dalam produksi, buruh kemudian menerima upah sesuai dengan tenaga dan waktu yang diberikannya dalam proses produksi.
Upah yang diberikan tetap dalam kerangka “jaring pengaman sosial” dalam bentuk penetapan upah minimum berbasis kebutuhan hidup miniman (KHM) buruh lajang  dan masa kerja kurang dari 1 tahun yang dikonversi dalam bentuk uang (moneterisasi upah) serta komponen natura terdiri atas beras. Penetapan besar kenaikan upah setiap tahunnya tetap mempertimbangkan  kesesuaian dengan  “pertumbuhan ekonomi” dan  kondisi  perusahaan. Hal ini berarti bahwa prinsip utama kenaikan upah buruh tergantung pada “pasar” dan bukan pada prinsip pemenuhan kebutuhan pokok buruh terdiri atas sandang, pangan dan papan sebagaimana sistem pengupahan berbasis kesejahteraan yang pernah diberlakukan pasca kemerdekaan terutama di perusahaan yang berbasis ekplorasi sumber daya alam seperti perusahaan perkebunan.  
Besar upah yang diterima buruh perkebunan tersebut  justru berada dibawah UMP. Pada tahun 2010 misalnya, buruh perkebunan di 3 kabupaten (Asahan, Langkat dan Serdang Bedagai) menerima upah minimum sebesar Rp 1.005.000/bulan. Upah ini sebenarnya lebih besar bila dibandingkan dengan UMP Sumut tahun 2010 sebesar Rp 965.000. Namun besaran upah yang ditetapkan BKSPPS ini justru dibawah UMK yang ditetapkan 3 kabupaten pada tahun tersebut dimana UMK kabupaten  Asahan sebesar Rp 1.014.000, Langkat sebesar Rp 1.050.000 dan UMKS Perkebunan Serdang Bedagai sebesar Rp 1.083.500.
Situasi yang sama berulang pada tahun 2011. Upah minimum yang diterima buruh perkebunan sesuai dengan PKB adalah sebesar Rp 1.090.425/bulan. Ini lebih rendah dari besaran upah yang ditetapkan kabupaten Batubara yang sebesar Rp 1.156.000 atau Deli Serdang sebesar Rp 1.170.000. Perusahaan perkebunan di 2 kabupaten ini hanya mau membayar upah buruh Rp 1.090.425 sesuai dengan PKB BKSPPS-serikat buruh.
Ditinjau dari aspek hukum, jelas bahwa penetapan besaran upah tersebut sudah melanggar UU Ketenagakerjaan. Pasal 91 ayat 1 UU Ketenagakerjaan menyatakan “pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sejatinya penetapan tersebut batal demi hukum, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 91 ayat 2 UU Ketenagakerjaan “dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan”.
Kenyataannya, tidak ada tindakan apapun yang diambil oleh pemerintah daerah yang mewakili peran negara terhadap pelanggaran ini. Justru kemudian, yang diwacanakan adalah mekanisme penetapan tersebut sudah berlangsung demokratis antara perkebunan dengan serikat buruh. Padahal, tidak semua buruh perkebunan menjadi anggota serikat pekerja yang dimaksud, namun keputusan itu diberlakukan untuk seluruh buruh perkebunan.
Sistem penetapan upah sebagaimana praktek di perkebunan telah berlangsung lama dan tanpa pengawasan dari negara (disnaker). Diluar itu, praktek  pengupahan sewenang-wenang juga banyak ditemui di perusahaan perkebunan atau pengupahan dibawah UMP dan UMK.  Praktek pengupahan diperkebunan misalnya sangat diskriminatif tercermin dari kesenjangan pengupahan kepada pihak manajemen dengan pihak buruh perkebunan, pemberian upah dibawah UMP propinsi, pelonggaran jaminan kerja dan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja buruh akibat perubahan organisasi produksi perkebunan yang lebih mengutamakan outsourcing dan buruh harian lepas dari pada buruh tetap (SKU).  Ketiadaan peran negara dalam mengawasi sistem penetapan upah dan praktek pengupahan di perkebunan telah menempatkan perkebunan menjadi pemilik kuasa atas kehidupan buruh dan memiliki kuasa penuh mengeluarkan kebijakan perburuhan.
Walaupun dalam penetapan besaran upah perkebunan tersebut dihasilkan melalui PKB dimana keterlibatan serikat buruh ada didalamnya, namun harus dilihat bahwa keterlibatan SB tidak membantu, malah justru melegitimasikan upah murah yang diterima. Dengan demikian,  upaya demokratisasi proses perumusan dan penetapan  upah masih dalam tataran prosedural semata, belum menyentuh akar persoalan yaitu substansi demokratisasi ekonomi bagi buruh.
Besar upah yang ditetapkan jelas tidak bisa menjamin hidup buruh lebih layak, apalagi untuk mensejahterakan. Dari sisi kebutuhan buruh, diperoleh catatan belanja buruh sebatas pengeluaran rutin belum termasuk pengeluaran seperti  pakaian dan peralatan rumah tangga sudah mencapai Rp. 1.296.700. Sementara upah tertinggi yang mungkin diperoleh buruh kebun yang berstatus buruh tetap (SKU) hanya mencapai Rp. 1.335.000 per bulan. Bandingkan dengan upah yang diterima tingkat manajemen yang memperoleh upah di kisaran 4 juta sampai 20 juta/bulan lengkap dengan  fasilitas perumahan, transportasi serta pelayanan kesehatan yang lebih.
Ketika kebijakan negara memberi keleluasaan terhadap modal dalam bentuk investasi di perkebunan, terjadi apa yang disebut dengan “monoterisasi” upah, dimana catu 11 yang dulu pernah dinikmati buruh dikonversikan dalam bentuk uang sebagai cikal bakal pengupahan berbasis kebutuhan hidup minimal (KHM) yang terstandarisasi dalam bentuk UMP sama pada semua sektor. Khusus di perkebunan, perusahaan tidak lagi diwajibkan memenuhi “perumahan” bagi buruh, yang tersisa saat ini upah dalam bentuk natura hanyalah beras untuk tanggungan 3 orang anak.
            Pengalaman buruk perburuhan jaman kolonial seharusnya menjadi bahan bagi negara untuk memikirkan hukum perburuhan yang memproteksi kepentingan buruh. Tercatat, pasca kemerdekaan, secara konsisten pemerintah pada waktu itu memperjuangkan hubungan kerja majikan-buruh  bersifat kolektif berbasis kesejahteraan. Kebijakan pemerintah waktu itu juga didukung oleh peranan serikat buruh berupa tekanan-tekanan politik kepada pemilik modal sehingga kebijakan-kebijakan perburuhan dan kebijakan perkebunan sangat responsif terhadap kepentingan buruh. Kebijakan perkebunan terkait dengan sistem pengupahan sekitar tahun 1950-an adalah pengupahan yang berbasis kebutuhan sandang, pangan dan papan, dimana selain menerima upah dalam bentuk nominal, buruh perkebunan juga menerima upah dalam bentuk natura yang dikenal dengan  “Catu 11”  dan perumahan.
            Negara seharusnya turun tangan mendelegitimasi kebijakan-kebijakan perkebunan yang mengancam  kelangsungan hidup yang layak bagi buruh. Namun dalam konteks pengupahan di perkebunan, negara memilih tidak berperan atau justru takluk pada kekuatan kapital perkebunan.

*Dimuat Di Harian Medan Bisnis 21 September 2012 

Praktek Outsourcing Di Perkebunan



Tidak dimungkiri, sistem kerja yang berlaku saat ini tidak memiliki kepastian kerja dan perlindungan bagi buruh maupun calon buruh. Salah satu pangkal masalahnya adalah pembolehan perekrutan tenaga kerja kontrak sementara yang dilakukan secara langsung maupun melalui agen tenaga kerja (outsourcing). Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), jumlah agen outsourcing terus bertambah dan mencapai 1.200 perusahaan, di mana 80 persen di antaranya merupakan agen yang tidak memiliki dasar hukum. Penelitian Akatiga, FSPMI dan FES di industri metal di Indonesia (2010) menyatakan bahwa sistem kerja outsourcing telah menimbulkan praktek diskriminasi dan eksploitasi yang mengarah pada pelanggaran sistematis Konvensi inti ILO tentang kebebasan berserikat dan tentang kesetaraan upah untuk pekerjaan dan jabatan yang sama.
Sebenarnya, pelanggaran agen outsourcing dapat ditindak dengan dicabut izinnya sebagaimana diatur dalam Kepmenakertrans No. 101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Bahkan jika terbukti terdapat pelanggaran, maka hubungan kerja dapat beralih dari perusahaan outsourcing ke perusahaan pemberi kerja. Sayangnya, sistem pengawasan di tingkat pusat maupun daerah tidak dapat berjalan dengan maksimal. Pengawas ketenagakerjaan mengalami banyak kendala. Pada akhirnya sistem ketenagakerjaan di tiap sudutnya merupakan persoalan.
Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 27/PUU-IX/2011 tentang Outsourcing, telah memutus bahwa sistem kerja outsourcing bertentangan dengan UUD 1945 kecuali jika memenuhi syarat-syarat tertentu. Kemenakertrans pun telah menindaklanjuti putusan tersebut dengan Surat Edaran Nomor B.31/PHIJSK/I/2012. Surat edaran tersebut di antaranya menetapkan bahwa perjanjian kerja antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya yang tidak memuat syarat adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang obyek kerjanya tetap ada (sama), maka  harus didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Di kalangan serikat buruh putusan MK menuai tanggapan beragam. Sebagian menganggap bahwa putusan tersebut merupakan jawaban atas persoalan massifnya praktek outsourcing di Indonesia. Sementara, sebagian lagi beranggapan bahwa putusan tersebut tidaklah menjadi jawaban kebutuhan buruh selama UU 13 tentang Tenaga Kerja yang melegalkan outsourcing tetap berlaku. Di sisi lain, kalangan pengusaha menganggap putusan tersebut sebagai ancaman terhadap iklim investasi.
Jumlah status buruh tidak tetap di industri perkotaan maupun di perkebunan kian hari jumlahnya meningkat. Sejatinya, keberadaan buruh tidak tetap ini bukan fenomena baru. Jika pada zaman kemerdekaan persoalan buruh kontrak merupakan warisan kolonial, kini, buruh kontrak merupakan kelanjutan dari peraturan di zaman Orde Baru dan semakin meluas ketika UUK Nomor 13 disahkan.
Dalam konteks perkebunan, putusan MK tentang Outsourcing baru-baru ini, ternyata tidak memberikan dampak apa-apa terhadap hubungan kerja antara buruh dan perkebunan. Praktek outsourcing tetap saja berlangsung dengan massif tanpa ada pengawasan dan tindakan dari pemerintah (Dinas Tenaga kerja). Informalisasi tenaga kerja dan pemindahan tanggungjawab kepada buruh merupakan fenomena yang senantiasa dapat dilihat di perkebunan. Hal ini  merupakan bagian dari perubahan strategi perkebunan dalam rangka mengelak dari berbagai biaya ketenagakerjaan. Bentuk yang dikembangkan antara lain mengatur sistem kerja buruh yang berdampak pada kecilnya upah dan hubungan kerja yang bersifat fleksibel seperti buruh harian lepas, buruh kontrak atau buruh borongan yang bekerja dengan target tinggi dengan upah minimal.
Fenomena lain yang massif di perkebunan adalah berkembangnya agen outsourcing yang berasal dari individu-individu (buruh dan bukan buruh) yang memiliki kedekatan dengan perkebunan.  Bila mengacu pada peraturan, agen outsourcing dapat ditindak dengan mencabut izin usahanya. Namun bagaimana dengan agen (individu) yang tidak memiliki dasar hukum ? Praktek outsourcing semacam ini lazim ditemukan di perkebunan di Sumatera Utara. Praktek outsourcing seperti ini umumnya dipraktekkan dalam 2 model.
Pertama, pemindahan pekerjaan (pemborongan) dari perkebunan ke individu yang bukan buruh. Individu yang menerima “borongan” tersebut lalu mencari buruh untuk mengerjakan pekerjaan tersebut. Jenis pekerjaan yang diberikan kepada orang-orang tertentu itu adalah pemancangan, penanaman, penyemprotan, dan pemumpukan. Biasanya tenaga yang direkrut  berasal dari warga lokal dan sebagian besar adalah perempuan. Besaran upah yang diterima para berada pada kisaran Rp 15.000 s/d Rp 22.000,-.per hari. Hubungan kerja semacam ini berlangsung lama hingga puluhan tahun. Sebutan untuk hubungan kerja semacam ini biasa disebut sebagai buruh kontraktor, walaupun faktanya adalah buruh outsourcing. Mereka disebut sebagai buruh kontraktor, karena mereka menerima upah dari agen tersebut (yang disebut kontraktor).
            Model lain yang bisa ditemukan di perkebunan di Sumatera Utara adalah penerapan sistem kerja ancak mandiri. Model ini diterapkan oleh perkebunan khususnya untuk pekerjaan memanen. Sistem ini mengharuskan buruh pemanen (SKU) mengerjakan target berdasarkan  luas dan waktu tertentu. Buruh pemanen diharuskan untuk mengerjakan lahan seluas 30 hektar dalam waktu 12 hari. Untuk menyelesaikan pekerjaan ini, buruh pemanen harus mengerahkan minimal 2 orang tenaga kerja. Mereka kemudian diberi upah oleh buruh pemanen yang mempekerjakannya. Sistem demikian memaksa buruh pemanen pada akhirnya menjadi agen outsourcing. Tenaga kerja yang dikerahkan, biasanya warga lokal. Mereka hanya memperoleh upah, tanpa jaminan kesehatan dan tidak mendapatkan hak-hak lainnya. Sistem ini merupakan modifikasi peralihan tanggungjawab perkebunan kepada buruh yang dilakukan secara rapi dengan alasan pemenuhan target kerja.
Dalam konteks yang lebih luas, penerapan sistem mandiri ini sebenarnya merupakan strategi perusahaan untuk mengurangi biaya untuk upah buruh. Dengan sistem ini, secara halus tanggungjawab perusahaan untuk memberi upah dipindahkan menjadi tanggungjawab buruh pemanen. Buruh yang bekerja dalam sistem mandiri untuk dapat mencapai target, harus membawa 2 orang buruh pembantu. Buruh tersebut sama sekali tidak mempunyai hubungan formal (ikatan kerja) dengan perusahaan. Hal menyangkut upah dan jaminan pengobatan apabila terjadi kecelakaan kerja menjadi tanggungjawab buruh pemanen semata, tidak menjadi tanggungjawab perusahaan.
            Hal lain yang menjadi dampak dari penerapan sistem mandiri ini adalah pengurangan buruh dibagian produksi (pemanen). Semakin luas lahan yang menjadi target kerja, maka semakin sedikit pula jumlah buruh tetap (SKU) yang dibutuhkan. Akibatnya, terbuka peluang yang sangat besar bagi terjadinya pengurangan buruh tetap. Inilah yang kemudian mendorong terjadinya pemutusan hubungan kerja atau pergeseran status dari buruh tetap menjadi buruh kontrak atau buruh harian lepas (BHL).
            Bila dilihat dari sisi kebijakan, praktek outsourcing dan buruh murah diperkebunan berlangsung massif disebabkan faktor dilegalkannya outsourcing oleh pemerintah. Di sisi lain, meningkatnya jumlah pengangguran turut memberi andil dalam praktek outsourcing tersebut. Dalam konteks perkebunan, industrialisasi perkebunan turut memberi andil dalam hal peningkatan pengangguran ini.  Banyak perkebunan yang secara sepihak menyerobot lahan-lahan petani. Akibatnya banyak petani yang tidak lagi memiliki tanah dan  sebagian besar pada akhirnya memilih bekerja di perkebunan yang umumnya berstatus BHL. Di sisi lain, tingginya alih fungsi lahan pertanian oleh ekspansi perkebunan mengakibatkan sektor pertanian rakyat yang sudah minim, tidak lagi mampu menampung tenaga kerja. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh perkebunan untuk menampung buruh dengan biaya murah, wujudnya adalah membengkaknya BHL di perkebunan. Tiadanya pilihan lain untuk bertahan hidup bagi pencari kerja di sekitar perkebunan,  sehingga bekerja sebagai buruh outsourcing atau BHL di perkebunan menjadi satu-satunya pilihan.
Situasi demikian menguatkan kecenderungan  perubahan (pergeseran) struktur masyarakat  (pedesaan) yang tinggal disekitar perkebunan dari “jaminan atas pekerjaan dan kehidupan  yang  layak” bagi petani, buruh  dan komunitas masyarakat sekitar kebun ke arah  bekerja/berusaha  tanpa  memperoleh  jaminan akan kehidupan yang layak. Kondisi seperti ini menjadi persoalan besar dalam rangka mengatasi praktek outsourcing atau pengangguran di Indonesia. Setidaknya re-distribusi kepemilikan tanah dari kepemilikan perkebunan besar menjadi kepemilikan masyarakat sekitar perkebunan dapat menjadi catatan bagi pengambil kebijakan dalam memandang permasalahan ini. 

*Dimuat di Harian Medan Bisnis 14 September 2012



Lumbung Pangan Ditengah Arus Alih Fungsi Lahan Catatan Dari Percut Sei Tuan



Pada 2009 organisasi pangan dunia (FAO) meluncurkan tema kampanye global untuk mengatasi krisis pangan. Pemerintah Indonesia merespons kampanye tersebut dengan menyatakan kesiapan mendukung pemenuhan pangan dunia. Indonesia menyatakan siap menjadi lumbung pangan dunia.
Namun, cita-cita besar pemerintah tidak dibarengi dengan pengadaan lahan kepada masyarakat. Justru yang terjadi adalah konflik dan perebutan lahan antara masyarakat dan perusahaan-perusahan perkebunan. Di sisi lain, alih fungsi lahan pertanian pangan menjadi kawasan perkebunan dan pemukiman cenderung meningkat setiap tahunnya. Data kementerian pertanian menunjukkan rata-rata alih fungsi lahan pertanian setiap tahun mencapai 140 ribu hektar. Konversi lahan yang paling memprihatinkan terjadi di  Jawa, diikuti di Kalimantan, Sumatera, dan Bali. Di Sumatera dan Kalimantan, lahan pertanian terutama sawah berubah menjadi lahan perkebunan sawit.
            Tingginya alih fungsi lahan sawah ini makin menguatkan indikasi bahwa kebijakan   pengendalian  alih  fungsi  lahan  pertanian yang  ada  belum  efektif. Disamping itu minimnya pembangunan maupun rehabilitasi sarana produksi pertanian disinyalir menjadi faktor lain yang mempengaruhi   petani  mengalihfungsikan lahan pertanian pangannya ke non pangan atau  justru  menjual  lahan  yang  kemudian  beralih  fungsi  menjadi  perkebunan atau pemukiman.
            Lahan pertanian di Indonesia sebagian besar terdapat di wilayah pedesaan. Seiring dengan perkembangan, desa di Indonesia mengalami banyak perubahan. Desa yang senantiasa   melekat  dengan dunia  pertanian  menghadapi   banyak   tantangan  terkait dengan alih fungsi lahan sebagai dampak dari serbuan  industrialisasi.
            Rencana pemerintah memperkuat lumbung pangan ternyata hanya diatas kertas semata. Keberpihakan   terhadap   lumbung pangan ini  tidak   tercermin   dari   kebijakan   yang   sifatnya melindungi lahan persawahan serta mencegah alih fungsi. Kecendrungan yang terjadi adalah pemerintah lebih mengutamakan pemanfaatan  SDA   oleh   pemodal  besar, ekspansi lahan   untuk   perusahaan perkebunan, pembiaran pemerintah atas rusaknya sarana produksi pertanian.
             Fenomena diatas dapat dilihat pada desa pertanian pangan di Kecamatan Percut Sei Tuan dengan total lahan sawah produktif sekitar 4.600 hektar. Wilayah ini merupakan salah satu lumbung beras bagi Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Total produksi gabah petani di daerah itu dalam setiap panen minimal rata-rata 6 ton per hektar. Para petani di kecamatan yang berbatasan langsung dengan kota Medan itu dalam satu tahun mampu melaksanakan dua kali panen.
            Sentra produksi pangan terbesar di Percut Sei Tuan tersebar di Desa Pematang Lalang, Cintai Damai, Tanjung Selamat, Tanjung Rejo, Percut dan Desa Cinta Rakyat. Selama ini lahan sawah di enam desa itu mengandalkan air irigasi dari Bendungan Bandar Sidoras. Namun sejak Maret 2011, sebagian bangunan fisik bendungan tersebut jebol dan tidak mampu mengairi lahan sawah petani setempat.
            Selain ancaman kekeringan, pasca-kerusakan bendungan tersebut, sekitar 4.000 hektare lebih areal sawah petani di Kecamatan Percut sei Tuan telah dua kali direndam banjir. Kerusakan bendungan itu membuat cemas para petani setempat, terutama saat menjelang musim panen.  Selama ini bendungan itu berfungsi sebagai penyediaan air bersih, irigasi untuk mengairi sawah dan pengendali banjir.
Faktor lain yang sangat mempengaruhi kesinambungan lumbung pangan ini adalah adalah rencana besar pemerintah Sumatera Utara menjadikan Percut Sei Tuan sebagai kawasan yang masuk dalam 10 proyek pembangunan Medan-Binjai-Deliserdang-Karo (Mebidangro). Sesuai dengan rencana itu, kawasan Percut Sei Tuan akan dijadikan kawasan ekonomi terpadu. Rencana ini tentu saja tidak memperhatikan posisi Percut Sei Tuan sebagai kawasan lumbung  pangan bagi Deli Serdang.
Kawasan ekonomi Percut Sei Tuan direncanakan dalam bentuk kawasan industri dan pergudangan untuk memanfaatkan potensi yang ada sesuai dengan rencana perluasan Kawasan Industri Medan (KIM). Perluasan kawasan industri ini telah menyebabkan berubahnya peta kepemilikan tanah dan meningkatnya alih fungsi lahan menjadi pergudangan dan
lokasi pabrik di kawasan Percut Sei Tuan, terutama desa Tanjung Selamat.
Luas lahan persawahan di desa ini awalnya mencapai 600 hektar, sekarang tinggal 200 hektar
Disamping rusaknya sarana produksi dan ekspansi industrialisasi, persoalan alih fungsi hutan mengrove di pesisir Percut Sei Tuan tentu tidak boleh dilupakan. Kawasan mangrove atau hutan bakau amatlah penting artinya bagi masyarakat pesisir Percut Sei Tuan. Saat ini terdapat sekitar 500 hektar hutan mangrove di pesisir Pantai Labu dan Percut Sei Tuan telah beralih fungsi menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Alih fungsi lahan diperkirakan terjadi sejak tahun 2008. Padahal sebagian besar status lahan yang sudah beralih fungsi itu sebelumnya ditetapkan sebagai jalur hijau dan hutan mangrove.
Konversi mangrove menimbulkan permasalan baru bagi nelayan dan masyarakat pesisir Percut Sei Tuan. Terdapat 53 kelompok nelayan yang menerima dampak alih fungsi hutan mangrove ini. Dampak tersebut antara lain abrasi pantai akibat konversi ekosistem mangrove, hilangnya sebagian tempat mencari nafkah masyarakat, hilangnya kesempatan memanfaatkan lahan darat untuk pertanian dan menurunnya pendapatan nelayan akibat tangkapan berkurang. Selain itu, musnahnya produktivitas perikanan dan hilangnya habitat pesisir lainnya serta kian meningkatkan kerentanan masyarakat pesisir atas badai dan gelombang tinggi.
Alih fungsi hutan mangrove ini tidak saja memberikan dampak buruk bagi nelayan, tetapi juga bagi petani. Tertutupnya saluran pembuangan air hujan menuju laut menimbulkan kekhawatiran petani akan banjir. Saluran ini tertutup oleh perkebunan sawit yang dibuka diatas hutan mangrove yang selama ini dipergunakan sebagai jalur pembuangan air hujan menuju laut.
            Realita diatas menunjukkan ketidaksinkronan rencana pemerintah dengan kebijakan yang dikeluarkan. Disatu sisi, pemerintah mengkampanyekan penghentian alih fungsi lahan pertanian, namun disisi lain pemerintah memberikan kemudahan perizinan pembangunan  industri  yang mengambil lokasi di wilayah pertanian. Kondisi demikian diperburuk dengan minimnya perhatian pemerintah terhadap rehabilitasi sarana pendukung produksi pertanian pangan. Pemerintah perlu menyadari bahwa ketahanan pangan sebagaimana yang sering didengungkan tidak akan bisa diwujudkan tanpa adanya perlindungan terhadap lahan pertanian pangan.
Lebih jauh, wujud desa semakin hilang bersamaan dengan kapitalisasi yang masuk ke   ranah   desa,   bersama   dengan  pembangunan yang   berorientasi   pada   pertumbuhan   dan industrialisasi.  Sumberdaya ekonomi   yang tumbuh di kawasan  desa diambil  oleh negara    dan pemilik  modal, sehingga  desa kehabisan  sumberdaya  dan   menimbulkan   arus urbanisasi penduduk desa ke kota. Harus diingat bahwa, desa sebenarnya merupakan basis penghidupan sebagian  besar  rakyat  Indonesia,   mengingat  lebih  dari    60%   penduduk Indonesia   tinggal   di desa. Tetapi  selama  ini  kebijakan  pembangunan tidak berpihak terhadap desa, sehingga yang terjadi desa hanya menjadi obyek  pengaturan demi kemajuan kota.
            Ketika pertanian sebagai basis ekonomi digantikan oleh industrialisasi, maka hal yang berubah bukan hanya corak produksi, tetapi juga aspek kepemilikan tanah. Pada akhirnya, sebagian besar pemilik atau pihak yang dapat memanfaatkan sumber daya pedesaan, adalah mereka yang justru berada di luar wilayah desa itu sendiri. Desa kemudian menjadi  wilayah penyedia alat produksi semata (tenaga kerja), sementara  masyarakatnya tidak memperoleh manfaat dari pengolahan sumber daya alam di atas tanah itu sendiri. 


*Dimuat di Harian Medan Bisnis 30 Agustus 2012